Mubadalah.id – Konflik antara driver ojol dan seorang pria yang dijuluki “Mas Pelayaran” di Sleman, Yogyakarta, memicu sorotan publik karena mencerminkan persoalan yang jauh lebih besar dari sekadar keterlambatan pesanan kopi. Dalam kasus ini, seorang mitra ShopeeFood perempuan diduga menjadi korban kekerasan fisik berupa jambakan dan cakaran hanya karena mengantar kopi tidak sesuai waktu.
Aksi solidaritas ratusan driver ojol yang mendatangi rumah pelaku menjadi peristiwa sosial yang tak bisa terlihat hanya sebagai aksi spontan emosional. Ia adalah ekspresi kolektif dari kekesalan yang sudah lama terpendam dan sekaligus penanda bahwa ada persoalan struktural yang belum selesai. Ketimpangan sosial, kekerasan berbasis gender, dan kegagalan sistem melindungi kelompok rentan di ruang kerja informal.
Kekerasan terhadap perempuan dalam dunia kerja informal bukan hal baru. Data dari riset Konde.co tahun 2025 menunjukkan bahwa hanya sekitar 20 persen driver ojol di Indonesia adalah perempuan. Namun dari angka kecil itu, mayoritas di antaranya pernah mengalami pelecehan verbal, kekerasan fisik, hingga perlakuan diskriminatif.
Sebanyak 43 persen pernah mengalami pelecehan secara langsung, dan lebih dari 86 persen mengaku order mereka dibatalkan hanya karena mereka perempuan. Dunia kerja yang seharusnya menjadi ruang produktif, justru menjadi medan yang tidak aman. Mereka bekerja di tengah tekanan sistem algoritmik yang menuntut kecepatan, sambil menghadapi ancaman kekerasan dari konsumen maupun sesama pengemudi.
Tindakan kekerasan oleh “Mas Pelayaran” dalam kasus kopi yang terlambat ini bisa kita pahami lebih dalam melalui teori patriarki yang dikemukakan oleh Sylvia Walby. Patriarki bukan hanya sistem relasi dominasi laki-laki terhadap perempuan, tapi juga hadir dalam institusi-institusi seperti keluarga, tempat kerja, hingga media.
Pelanggaran Hak Dasar atas Rasa Aman
Dalam konteks ini, pelanggan laki-laki merasa berhak menghukum pekerja perempuan karena merasa “membeli” layanan. Padahal yang terjadi adalah pelanggaran hak dasar atas rasa aman. Kekerasan ini tak terjadi di ruang kosong. Melainkan dalam sistem sosial yang memungkinkan laki-laki merasa superior dan bebas dari konsekuensi.
Solidaritas yang muncul dari para driver ojol memang menunjukkan bahwa rasa keadilan masih hidup di akar rumput. Mereka bergerak sebagai bentuk pembelaan terhadap rekan sejawat, karena merasa tidak ada mekanisme formal yang mampu menjawab kekerasan yang terjadi.
Namun respons ini juga menggambarkan frustrasi yang meluas di kalangan pekerja informal. Terutama ketika saluran hukum terasa lambat dan perusahaan tempat mereka bernaung tak kunjung memberi perlindungan nyata. Aksi yang berujung kerusakan fasilitas publik, termasuk mobil polisi, menunjukkan bahwa protes bisa berubah menjadi ledakan ketika ketidakadilan dianggap dibiarkan terlalu lama.
Sayangnya, hingga saat ini, negara dan platform ride-hailing belum menunjukkan langkah konkret dalam membangun sistem perlindungan yang cepat, sensitif gender, dan efektif. Akses pengaduan masih rumit, proses perlindungan hukum minim, dan sering kali membiarkan korban menghadapi tekanan sosial sendiri.
Padahal, secara global, sudah ada acuan jelas melalui Konvensi ILO No. 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, yang mengikat negara untuk melindungi semua pekerja. Termasuk pekerja informal dan berbasis platform digital. Indonesia masih belum meratifikasi konvensi ini, padahal tekanan terhadap pekerja platform terus meningkat.
Pekerja Perempuan di Sektor Informal
Secara struktural, pekerja perempuan di sektor informal memang berada dalam posisi yang sangat lemah. Data dari Indonesia Investments mencatat bahwa 57,5 persen perempuan bekerja di sektor informal, daripada 48,8 persen laki-laki.
Di sisi lain, upah perempuan di sektor ini masih tertinggal jauh, dengan rata-rata selisih 20 hingga 23 persen untuk pekerjaan yang sama. Teori feminis tentang “double burden” menggambarkan dengan tepat kondisi ini. Perempuan harus menanggung beban kerja publik sekaligus tanggung jawab domestik. Ini membuat mereka tidak hanya kelelahan secara fisik dan mental, tapi juga lemah secara struktural dalam menuntut hak.
Beban ganda itu juga membuat mereka lebih rentan terhadap kekerasan. Studi ILO menunjukkan bahwa mayoritas pekerja perempuan sektor informal mengalami tekanan dari kombinasi beban rumah dan kerja, yang berdampak pada kesejahteraan dan daya tahan mereka terhadap perlakuan tidak adil. Dalam konteks ini, banyak korban yang enggan melapor karena khawatir dianggap merepotkan, menyusahkan, atau bahkan disalahkan.
Ini diperkuat oleh budaya victim blaming yang masih kuat di masyarakat, termasuk di ruang digital. Komentar-komentar publik sering kali malah menghakimi korban—sebuah cermin bahwa kesadaran kolektif tentang kekerasan berbasis gender masih belum mapan.
Perlindungan Hukum
Mengutip pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni budaya, nilai dan norma dominan sering kali tidak terlihat. Namun bekerja secara halus dalam mengontrol masyarakat. Dalam kasus ini, norma bahwa “perempuan harus cepat, ramah, dan tak boleh salah” menjadi semacam dogma. Jika kita langgar, dianggap pantas dihukum. Maka yang perlu kita ubah bukan hanya peraturan, tetapi juga cara berpikir masyarakat tentang relasi gender, kekuasaan, dan kerja.
Dari semua sisi, kita bisa melihat bahwa konflik di Sleman adalah puncak gunung es dari akumulasi persoalan yang kompleks. Ia bukan sekadar insiden viral, melainkan sinyal keras bahwa sistem sosial, hukum, dan ekonomi kita belum berpihak pada keadilan yang menyeluruh. Perempuan di sektor informal terus bekerja dalam sunyi, membawa risiko yang sering tak terhitung oleh negara maupun perusahaan.
Untuk itu, negara perlu segera meratifikasi ILO Convention No. 190. Memperluas perlindungan hukum untuk seluruh pekerja berbasis platform. Platform ride-hailing harus membangun sistem pelaporan yang cepat, mudah terakses, dan aman bagi korban. Selain itu memberi sanksi tegas kepada pelaku kekerasan. Masyarakat juga perlu kita dorong untuk tidak menormalisasi kekerasan dan berani berdiri bersama korban. []