• Login
  • Register
Rabu, 22 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Jebakan Kebisingan Suara yang Memerangkap Telinga

Pandemi ini mungkin bisa mengurangi suara petasan, namun bunyi tetap menyerang saya dan kita semua secara personal.

Dyah Murwaningrum Dyah Murwaningrum
19/05/2021
in Pernak-pernik, Rekomendasi
0
Suara

Suara

84
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Betapa girangnya saya saat mendengar suara petasan di waktu kecil. Petasan yang identik dengan momen-momen bahagia itu, ibarat ledakan perasaan kita yang tak terbendung. Sarat dengan rasa manusia sebagai individu yang merasa paling merdeka, dan sangat kuat.

Ledakan-ledakan kebahagiaan itu bukan hanya hadir pada perayaan besar yang dibiayai negara, namun juga euphoria yang terjadi kecil-kecilan di kampung-kampung. PON, Sea Games, Tahun baru, Ramadan, Lebaran atau bahkan malam tirakatan Tujuh Belasan.

Momen yang paling menyenangkan saat itu adalah Ramadan. Tidak ada satu malam pun yang kosong dari suara petasan. Bahkan saat petasan berbunyi dan saya sudah terbaring di kasurpun, saya masih menduga-duga “ini petasan siapa ya yang bunyi?” Kemudian paginya, saya bersama teman-teman saling memastikan petasan siapa yang semalam bunyi. Lalu kita terkekeh bersama.

Di pertengahan tahun 90-an, jika bukan di musim Ramadan warung seringnya hanya menjual mercon gepuk atau doblis yang dibunyikan tanpa api. Biasanya dibunyikan dengan digepuk batu atau dijepit pada mainan pistol kayu. Anak-anak yang penakut biasanya hanya meledakkan mercon banting. Petasan cabe atau mercon lombok yang pengangnya bukan main, bahkan telinga bisa berdengung setelahnya, biasanya diledakkan oleh anak-anak yang sudah berpengalaman.

Setelah dewasa, saya mulai peduli dengan pendengaran. Petasan di momen apapun menjadi terasa mengganggu. Untungnya, Ramadan 2020 serta tahun baru 2021 menjadi hadiah untuk telinga saya karena tidak perlu terbangun dan dikagetkan berulang-ulang oleh suara petasan.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Teladan Bersolidaritas dan Pesan Moral Untuk Masa Depan
  • Cara Mengatasi Polusi Udara Agar WFH Lebih Nyaman
  • 4 Kekuatan Indonesia Untuk Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat
  • Peran Anak Muda Dalam Mencegah Krisis Iklim

Baca Juga:

Teladan Bersolidaritas dan Pesan Moral Untuk Masa Depan

Cara Mengatasi Polusi Udara Agar WFH Lebih Nyaman

4 Kekuatan Indonesia Untuk Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat

Peran Anak Muda Dalam Mencegah Krisis Iklim

Baru-baru ini saya mengetahui bahwa satu meter dari petasan saja, telinga harus menampung bunyi sekeras 150 desibel. Desibel adalah satuan untuk ukuran keras lemahnya suara/volume. Sementara itu, suara yang lumrah didengar manusia hanya sekitar 60-85 desibel. Di atas 85 desibel, telinga sebenarnya hanya bisa memberi toleransi sekitar 15 menit saja. Lebih dari durasi tersebut, akan berdampak pada kerusakan telinga.

Pandemi ini mungkin bisa mengurangi suara petasan, namun bunyi tetap menyerang saya dan kita semua secara personal. Jika dulunya saya tidak pernah menggunakan headphone untuk rapat, dengan WFH saya menjadi sering menggunakan headphone berjam-jam.

Orang dewasa saja kewalahan untuk mengelola suara yang terus-terusan masuk ke telinga, apalagi anak-anak. Anak-anak adalah yang paling rentan dengan kerasnya bunyi. Pernah mendengar bahwa ada headphone khusus anak-anak yang dirancang oleh salah satu brand speaker ternama? Saya pernah mendapatinya di toko khusus headphone dan sempat menanyakan pada salesnya tentang perbedaan headphone anak dan dewasa.

Sebenarnya headphone anak-anak hanya membatasi volume agar tidak melebihi 85 decibel, karena di atas 85 decibel bunyi menjadi sangat berbahaya. Untuk mendeteksi seberapa keras suara di sekitar, biasanya saya gunakan aplikasi Sound Meter yang tersedia gratis di playstore android saya. Dalam aplikasi tersebut, saya juga mendapat informasi mengenai ukuran suara, misalnya bunyi perpustakaan yang tenang, bunyi percakapan, dan lainnya.

Anda juga bisa iseng menangkap seberapa keras bunyi di sekitar Anda. 60 desibel seperti suara kita bercakap-cakap. 85 desibel mungkin setara dengan bising jalanan. Sedang 110 desibel hampir sekeras konser musik rock. Sebuah berita di Health.harvard.edu mengatakan bahwa headphone dapat mengalirkan bunyi sampai 110 desibel, artinya itu sekeras konser musik rock. Sebenarnya handphone sudah memberi peringatan, saat kita gunakan untuk mode headphone.

“Apakah Anda akan menaikkan volume melebihi dari yang direkomendasikan? Mendengarkan suara melebihi batas pada durasi tertentu akan merusak telinga” kira-kira begitu bunyi peringatannya. Lalu kita pilih opsi “ya”, yang artinya kita mengizinkan volume masuk tanpa batas.

Ini kenyataannya bahwa suara  terus menyerang. Indera pendengaranlah yang sering dibiarkan menghadapi sendirian. Informasi dari situs resmi National Institute on Deafness and Other Communication Disorder bahwa satu dari empat orang yang berusia 20-69 tahun di Amerika Serikat mengalami gejala gangguan pendengaran.

Data tersebut dihimpun di tahun 2011 sampai 2012, saat manusia belum secara total beraktivitas di ruang digital. Apalagi saat ini, dimana kita suka nonton film, main game, menyetel musik online yang cenderung dinikmati secara personal dengan earphone.

Terlebih, fenomena menggunakan earphone juga berlangsung di luar ruangan. Di kemacetan lalu lintas, KRL atau untuk men-silent ocehan orang-orang di angkot, kita memerangkap telinga lagi dengan musik, podcast atau games tanpa mempertimbangkan volume.

Mendengarkan suara dari earphone di tengah kebisingan lingkungan, cenderung membuat kita menaikkan terus volume sampai melebihi batas. Telinga adalah pendengar yang diam. Inilah kenyataan, inilah ketidaksadaran.

Telinga tak perlu kaca seperti mata, tak perlu masker seperti hidung, tak perlu pelembab dan jaket seperti kulit. Namun, dia terus bekerja seperti indera yang lain. Petasan, kemacetan lalulintas, meeting online, semuanya tidak mampu saya tolak. Tapi setidaknya saya bisa memilih apakah saya akan menggunakan headphone atau tidak.

Berefleksi pada suara, pada dasarnya kebisingan juga muncul pada semua hal di hidup kita. Media sosial, keinginan, ajakan, semua hal memang tampak menarik. Namun dampaknya bisa saja mengganggu pikiran, menajamkan rasa iri dan menjadi racun di kehidupan kita. Dan, setidaknya kita pun bisa membatasi untuk tidak memperhatikan semua hal. []

Tidak semua yang terdengar, harus kita dengarkan.

Tags: BunyiPandemi Covid-19PetasanPolusi SuaraRamadan 1442 H
Dyah Murwaningrum

Dyah Murwaningrum

Dosen dan Aktif di Serat Pena Bandung.

Terkait Posts

Islam adalah Rahmat

Islam Adalah Agama yang Menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam Semesta

22 Maret 2023
Perayaan Nyepi

Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

22 Maret 2023
Kerja Istri

Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

21 Maret 2023
sejarah perempuan

Dalam Catatan Sejarah, Perempuan Kerap Dilemahkan

21 Maret 2023
Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil

Tips Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil dan Menyusui

21 Maret 2023
Perempuan Bekerja

Perempuan Juga Wajib Bekerja

21 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Menjadi Minoritas

    Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tips Aman Berpuasa untuk Ibu Hamil dan Menyusui

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Adalah Agama yang Menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam Semesta
  • Ramadan dan Nyepi; Lagi-lagi Belajar Toleransi
  • Nilai Inklusif dalam Perayaan Nyepi 2023
  • Pentingnya Pembagian Kerja Istri dan Suami
  • Refleksi: Sulitnya Menjadi Kaum Minoritas

Komentar Terbaru

  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Kemandirian Perempuan Banten di Makkah pada Abad ke-20 M - kabarwarga.com pada Kemandirian Ekonomi Istri Bukan Melemahkan Peran Suami
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist