Jumlah kasus KDRT akhir-akhir ini terus meningkat. Dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pada 29 Februari-10 Juni 2020 terdapat 787 kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan 523 kasus KDRT. Adanya kasus-kasus tersebut mengafirmasi bahwa kekerasan dalam rumah tangga berkaitan erat dengan persoalan gender dan diskriminasi terhadap perempuan.
Merujuk pada pemikiran kritis Pierre Bourdieu (dominasi maskulin), dominasi maskulin dalam banyak aspek tidak saja menggerus keberadaan perempuan sehingga perempuan rentan dengan kekerasan. Di balik itu, dominasi maskulin sebetulnya menandakan ada perampasan hak-hak dasar perempuan yang mudah diselewengkan.
Direktur Womans Crisis Center (WCC) Jombang Ana Abdillah angkat bicara terkait lonjakan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di masa Covid-19 di Kabupaten Jombang dalam beberapa bulan terakhir. alasan sulitnya perempuan memutuskan rantai KDRT antara lain pertimbangan kesehatan mentalitas anak. Alasan lainnya karena perempuan dihadapkan dengan stigma masyarakat dengan menyandang status sebagai ‘janda’.
Status janda kadang dianggap aib, bisa juga dianggap tidak pandai menjadi ibu rumah tangga. Belum lagi persoalan harus menjadi Perempuan Kepala Rumah Tangga (Pekka) sebagai orangtua tunggal yang menanggung beban pemenuhan nafkah anak pasca-putusan cerai. Karena seringnya mantan suami abai dalam menjalankan putusan pengadilan untuk memenuhi pemenuhan nafkah anak.
Tidak menutup kemungkinan penyebab perceraian adalah kombinasi tekanan sosial dan ekonomi di lingkup rumah tangga. Namun demikian penyebab perceraian yang terjadi tidak selalu ditengarai karena abainya suami dalam pemenuhan nafkah. Hal ini menyebabkan pola relasi yang tidak setara di dalam keluarga yang berujung terjadinya gelombang KDRT dalam massa pandemi.
Berdasarkan catatan WCC Jombang, sejak Maret-Juni 2020 ada 16 kasus KDRT dilaporkan ke WCC. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, di bulan yang sama yakni 2019 ada 13 kasus dan 2018 berjumlah 7 Kasus. Sementara itu sepanjang 2020 terdapat 26 kasus KDRT diadukan ke WCC Jombang. Dari jumlah itu, 23 di antaranya tidak dinafkahi oleh suami.
Perempuan sangat rentan dengan kekerasan semacam ini sehingga tak pelak selalu menjadi korban. Persoalan kita hari ini mengapa kekerasan terhadap perempuan masih tetap berlanjut serta perempuan tidak diakomodir dengan baik dalam memanfaatkan fasilitas umum.
Hal itu disebabkan proyeksi kebijakan yang dibuat selama ini belum berdasarkan pada apa yang menjadi kebutuhan mendasar perempuan. Seharusnya, proyeksi kebijakan dibuat harus berpangkal pada apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan perempuan, sehingga pemenuhan terhadap hak-hak perempuan betul-betul diakomodir dan dilindungi.
Proyeksi kebijakan yang kita canangkan tidak pernah memikirkan apa yang menjadi kebutuhan, melainkan lebih berupaya menerapkan aturan yang terkesan bahwa kita berpihak pada mereka. Ini tentu sangat keliru sehingga tidak heran lanskap politik, hukum, ekonomi sosial, pendidikan sulit bahkan hampir tidak memperhatikan kebutuhan perempuan.
Sehingga tidak jarang kita menemukan gap dalam masyarakat modern. Di satu sisi pihak laki-laki diunggulkan sementara di pihak lain perempuan terdegradasi dari aspek di mana seharusnya semua pihak sama-sama mendapatkan fasilitas secara layak.
Maka, kita perlu sedikit merenungkan hal yang demikian ini, di mana banyak nilai-nilai patriarki tanpa sadar ditanamkan secara turun-temurun, dari orangtua kepada anak, dan seterusnya. Bukan malah terus membudayakan partriarki di Indonesia. Sehingga, salah satu tantangan utama dalam mengatasi masalah kesetaraan gender di Indonesia berasal dari faktor budaya patriarki yang kuat. Meski tidak selalu buruk, ia mengatakan kondisi tersebut menambah beban perempuan untuk bisa maju dan berkontribusi lebih optimal.
Pendidikan karakter berkelanjutan diperlukan agar anak-anak, khususnya anak perempuan, memiliki kepercayaan diri yang kuat dan bersemangat. Selain itu, kesetaraan gender bukan hanya menjadi urusan perempuan, tetapi juga lelaki. Maka dari itu, sudah semestinya para lelaki lebih banyak yang berpartisipasi dan mendengarkan pembahasan tentang isu tersebut, khususnya untuk mencegah terjadinya perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak. Harapan lebih luasnya, isu kesetaraan gender menjadi arus utama dalam pola pikir masyarakat. Dengan demikian, yang menyuarakan masalah kesenjangan tidak hanya datang dari kaum perempuan tetapi juga laki-laki. []