Mubadalah.id – “No documents, no history.” Pandangan itu sangat memengaruhi wajah penulisan sejarah, termasuk sejarah di Indonesia. Penulisan sejarah perempuan (her-storiography) bisa-bisa menjadi kurang berkembang, jika kita terlalu mendewakan sumber dokumen dalam kerja penulisan sejarah. Hal itu sebab banyak sejarah perempuan yang tidak terdokumentasikan dalam arsip sejarah tertulis, namun tersimpan dalam sumber-sumber sejarah lisan.
Oleh karena itu, sejarah lisan menjadi satu jalan penting dalam kerja her-storiography Nusantara. Berikut tulisan ini membincangkan kelisanan dalam kerja penulisan sejarah perempuan Nusantara.
Para Perempuan yang Tidak Tercatat Dokumen
Saya mendengar cerita dari nenek, kalau pada masa pemberontakan Permesta (Pergerakan Rakyat Semesta), di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, para perempuan harus bersembunyi di langit-langit rumah. Harap-harap cemas, jangan sampai anggota Permesta menemukan para gadis di desa. Sesekali, mereka juga harus mengungsi ke kebun, bersembunyi di sana. Kala itu, sekadar bertahan hidup, mereka cukup makan umbi-umbian.
Cerita-cerita seperti itu, sering tidak terdokumentasikan oleh arsip sejarah. Terlalu remeh untuk terukir dalam dokumen yang umumnya mencatat kisah para elit di garis depan. Sementara, cerita mereka di garis belakang tersimpan dalam memori para perempuan yang menyaksikan atau mengalaminya.
Kenangan sosial–begitu term Kwa Chong Gwan dalam buku Sejarah Lisan di Asia Tenggara–yang tersimpan dalam memori masyarakat perlu untuk kita ungkap (tulisankan). Dalam hal ini, kenangan-kenangan sosial yang perempuan alami sepanjang sejarah Nusantara, yang tersimpan dalam sumber-sumber sejarah lisan; baik tradisi lisan maupun sumber sejarah lisan, merupakan data penting dalam kerja her-storiography Nusantara.
Akan ada banyak sejarah perempuan yang bakal terabaikan kalau kita terpakem pada pandangan “no documents, no history,” dan mengesampingkan sejarah lisan. Oleh karena itu, kerja-kerja her-storiography Nusantara perlu mengembangkan penulisan sejarah lisan. Kelisanan menjadi suara para perempuan Nusantara dari masa lalu tentang bagaimana perjuangan hidup mereka. Tentang seperti apa hidup mereka. Dan, dalam mengonstruksi sejarah perempuan, kita perlu mendengarkan suara-suara masa silam itu.
Sejarah Lisan dalam Kerja Her-storiography
Penggunaan sumber sejarah lisan sebenarnya bukan sesuatu yang baru dalam kerja penulisan sejarah. Sebagaimana Asvi Warman Adam, dalam mengantari buku Sejarah Lisan di Asia Tenggara, bahwa sekitar 2400 tahun yang lalu dengan menggunakan sejarah lisan, Thucydides menulis sejarah perang Peloponnesia. Artinya, sudah sejak lama sumber lisan menjadi data sejarah.
Dalam penulisan sejarah Nusantara, penggunaan sumber lisan juga bukan sesuatu yang baru. “Kata sahibul hikayat” atau “menurut yang empunya cerita,” yang dapat kita temukan dalam naskah-naskah tua Nusantara, itu menunjukkan kalau penyusunannya menggunakan sumber sejarah lisan.
Namun pada perkembangan metode sejarah di Eropa, abad 17-19 M, sejarah lisan mendapat kritik keras. Hingga muncul ungkapan kalau “no documents, no history.” Sebab, dalam perkembangan metode sejarah di Eropa, sejarawan bekerja berdasarkan dokumen sejarah. Jadi, sejarah yang dianggap ilmiah harus berdasarkan pada sumber tertulis. Sementara, suara dari masa silam, ya sebatas angin lewat saja.
Sejarah lisan kembali mendapatkan ruang pada abad 20 M. Ketika sekitar tahun 1930, di Amerika Serikat, ada upaya menuliskan sejarah para korban budak Hitam. Sejarah kekerasan yang tidak mau dicatat oleh elit dalam dokumen yang mereka tulis, namun membekas dalam kenangan sosial para korban. Sehingga, metode sejarah lisan pun berkembang dalam upaya menggali sejarah para korban itu. Hingga tahun 1948, Allan Nevins mendirikan pusat sejarah lisan yang pertama di Universitas Columbia, New York. Dan, selanjutnya, metode sejarah lisan terus berkembang.
Meski begitu pendewaan terhadap dokumen sejarah bukan serta merta hilang. Di Indonesia sendiri masih banyak sejarawan yang mengutamakan dokumen, dan meremehkan kelisanan. Ya, tinggal kita sendiri mau memilih paradigma sejarah yang berkembang di Eropa; no documents, no history, atau yang berkembang di Amerika; kelisanan termasuk sumber sejarah.
Jika kita ingin mendengarkan suara masa silam para perempuan Nusantara, maka kelisanan menjadi penting dalam kerja penulisan sejarah perempuan ini.
Bukan untuk Mengatakan Sumber Lisan Lebih Baik dari Sumber Tertulis
Penggunaan sejarah lisan dalam kerja her-storiography nusantara ini bukan untuk mempertentangkan kredibel mana antara sumber lisan dan sumber tertulis. Ini soal kerja menelusuri sejarah perempuan yang lebih luas lagi.
Kita tidak meninggalkan sumber tertulis dalam penulisan sejarah perempuan, namun juga tidak mengabaikan, lebih-lebih meminggirkan, sumber lisan.
Tetap ada kesadaran kalau masing-masing sumber punya kelebihannya sendiri, dan pada dasarnya juga dapat saling melengkapi. Namun, berbeda dengan paradigma yang mendewakan dokumen, dalam paradigma kelisanan her-storiography nusantara, sejarah lisan tidak mesti membutuhkan justifikasi dokumen untuk menjadi data sejarah yang kredibel–sebagaimana juga dokumen yang tidak mesti mendapatkan pembenaran sejarah lisan.
Sebab, sebagai kenangan sosial, suara dari masa silam memiliki berbagai keterdukungan data selain arsip sejarah; keterdukungan antarsumber sejarah lisan, ekspresi sosial-budaya masyarakat saat ini, benda-benda sejarah terkait, dan lainnya.
Mendengarkan Suara Perempuan dari Masa Silam
Lalu dari mana sumber sejarah lisan dapat kita peroleh? Dalam metode umum, data primer sumber sejarah lisan berasal dari pelaku dan saksi sejarah. Maka, dalam kelisanan her-storiography nusantara, yang menjadi sumber suara masa silam itu adalah para perempuan yang mengalami atau yang menyaksikan objek kajian sejarah. Mereka lah yang perlu kita cari untuk mendengarkan keadaan perempuan pada masa silam.
Jika pelaku atau saksi mata sudah tiada, ya beruntung jika kenangan sosial mereka sempat diceritakan pada anak-cucunya atau orang lainnya (sumber sekunder yang paling dekat). Kalau tidak, maka suara dari masa silam, yang tidak tercatat dokumen, itu menjadi terlupakan.
Suara perempuan dari masa silam juga dapat kita dengarkan melalui tradisi lisan. Kalau sumber sejarah lisan berasal dari pelaku dan saksi sejarah, maka tradisi lisan merupakan cerita turun-temurun baik yang membekas dalam memori kolektif masyarakat maupun yang telah tertuliskan sebagai kumpulan cerita rakyat atau tradisi lisan.
Umumnya, sejarah perempuan dalam tradisi lisan terkait sosok perempuan yang punya peran dalam masyarakat. Sehingga, kiprahnya sewaktu hidup terus dikisahkan, berulang-ulang, turun-temurun, hingga menjadi tradisi lisan masyarakat.
Pada contoh sebelumnya, cerita yang saya dengar dari nenek perihal keadaan perempuan di desanya pada masa Permesta, itu merupakan sumber sejarah lisan dari perempuan yang mengalami dan menyaksikan kejadian sejarah. Sebab, sebagai perempuan dirinya merasakan langsung apa yang perempuan alami kala itu, dan juga menyaksikan bagaimana keadaan perempuan secara umum saat itu.
Pengalaman dan kesaksian itu menjadi kenangan sosial dalam alam memorinya. Ketika kenangan itu terucapkan, maka suara perempuan dari masa silam mulai terdengar.
Sejarah Perempuan yang Lebih Menyeluruh
Paul Thompson dalam Suara dari Masa Silam: Teori dan Metode Sejarah Lisan, menjelaskan bahwa penggunaan sumber sejarah lisan dapat membuka wilayah-wilayah baru dalam penulisan sejarah. Hal ini sebab melalui penelusuran sejarah lisan kita mungkin mendapatkan kenangan sosial dari berbagai macam kalangan.
Dokumen yang merupakan sumber sejarah yang ditulis oleh kalangan elit, umumnya merekam sejarah versinya dan sekitar jangkauannya; tentang para pemimpin, intrik-intrik politik, upaya penguasaan, dan lainnya.
Pendewaan atas dokumen sebagai sumber sejarah paling otentik tanpa sadar membuat wajah sejarah menjadi maskulin. Sejarah kita seakan hanya tentang dari satu perang ke perang lainnya. Dari satu perebutan kekuasaan ke perebutan kekuasaan lainnya. Dari satu pendominasian ke pendominasian lainnya.
Mengapa? Sebab, itu yang umumnya banyak terekam dalam dokumen, seputar jangkauan lingkaran kekuasaan, dan sejarah banyak dikonstruksi melalui sumber demikian. Ya, tentu ada juga sejarah di garis belakang yang tertulis dalam dokumen, namun tidak banyak.
Bahkan sejarah perempuan juga seakan dipaksa menjadi maskulin. Melihat kesejarahan pahlawan dari kalangan perempuan, misalnya, kebanyakan yang dianggap penting dan dituliskan adalah tentang para perempuan yang ikut maju ke medan perang.
Sejarah Perempuan Akar Rumput
Kelisanan dalam her-storiography dapat memberi sarana rekonstruksi sejarah perempuan yang lebih berimbang dan realistis. Memungkinkan munculnya sosok pahlawan perempuan yang tidak hanya dari kalangan pemimpin, tetapi juga dari rakyat biasa. Membuat kita tidak hanya mencatat sejarah versi perempuan di kalangan elit, namun juga sejarah perempuan di akar rumput.
Cerita yang saya dengar dari nenek, misalnya, memberi gambaran bahwa sejarah Permesta bukan hanya tentang gerakan pemberontakan. Bukan hanya tentang siapa yang menjadi pahlawan berjuang melawan Permesta di garis depan. Namun, itu juga tentang perjuangan para perempuan mempertahankan ruang aman mereka. Para perempuan yang harus siap setiap saat sembunyi di langit rumah atau melarikan diri ke kebun. Tentang perjuangan para perempuan untuk tetap hidup di masa kritis. Mereka yang sekadar bertahan hidup dengan makan umbi-umbian.
Sejarah para perempuan di garis belakang ini, atau konstruksi sejarah perempuan di akar rumput, memungkinkan kita melihat sosok pahlawan perempuan dari perspektif lain. Bahwa, pahlawan tidak melulu tentang mereka yang mengangkat senjata. Mereka yang mengangkat belanga juga punya jasa besar dalam mempertahankan kehidupan rakyat kala kritis. Mereka juga adalah pahlawan rakyat.
Kelisanan her-storiography juga memungkinkan untuk melihat sejarah perempuan dengan lebih luas. Tidak hanya sejarah versi perempuan yang berada di sekitar arus kekuasaan yang dapat kita catat.
Namun, sejarah perempuan di akar rumput yang menggambarkan pola-pola kehidupan sosial masyarakat pada masa silam; tentang keadaan perempuan, budaya memasak dan makan masyarakat, pola kerja masyarakat, dan sejarah akar rumput lainnya, itu dapat kita konstruksi dengan mendengarkan suara masa silam para perempuan Nusantara. []