“Zahra, kamu kalau sebelum nikah sudah jadi aktivis, pasti bakal banyak pertimbangan untuk menikah.”
Mubadalah.id – Begitu pembuka obrolan singkatku dengan seseorang. Apakah benar demikian? Aku penasaran, lalu menemukan jawabnya dalam dua buku yang belum lama aku baca. Pertama, Kuasa Rahim dari penulis Barbara Watson Andaya yang memotret kehidupan perempuan Asia Tenggara pada masa abad 15-19, atau periode awal modern. Lalu buku mitos inferioritas Perempuan Evelyn Reed. Ketika membaca buku-buku ini, konsep Keluarga Maslahat yang baru saja kongresnya aku ikuti dua hari lalu, terasa sangat ideal sekali.
Singkat kata, melalui buku tersebut Barbara Watson Andaya dan Evelyn Reed mengatakan bahwa keluarga adalah bentukan sistem patriarki yang didukung kapitalisme dan diaminkan oleh agama. Karena sebelum datangnya kuasa ilmu pengetahuan dan agama, kehidupan perempuan dalam sistem matriarkal lebih mandiri dan berdaya.
Hidup perempuan tidak tergantung pada apapun dan siapapun. Kehidupannya berjalan dan bersifat komunal. Orang-orang di sekitar perempuan datang dan pergi biasa saja. Tidak ada yang tinggal dan menetap lama, sehingga tidak ada pelekatan emosi yang berarti seperti cinta, kasih sayang, rasa suka, duka, kemarahan dan kebencian itu nyaris tidak ada.
Lalu begitu masuk semua sistem dan bangunan ilmu pengetahuan, terutama agama, kita mengenal dosa asal yang selalu dilekatkan pada Hawa sebagai penyebab turunnya Nabi Adam dari surga. Bahkan hingga kini dogma agama terus melabeli perempuan sebagai pendosa dan sumber fitnah.
Problem Keluarga
Semakin ke sini, terutama di era digital, tantangan bagi keluarga di Indonesia juga semakin kompleks. Bahkan sejak merencanakan pernikahan, menjalin relasi, seringkali kita dihantui oleh banyak ketakutan. Maraknya kasus KDRT, Femisida, bunuh diri dan kasus kekerasan lainnya, di mana pelaku kekerasan adalah orang terdekat atau anggota keluarga sendiri, menjadi hantu yang terus membayangi kita.
Belum bertambah ketika sudah masuk dalam gerbang pernikahan. Kita akan disuguhkan dengan persoalan ekonomi keluarga, pembagian peran publik dan domestik. Lalu peran reproduksi yang menuntut perempuan untuk mampu menjalani proses kehamilan, persalinan hingga menyusui dengan beragam stigma yang bakal mengikuti. Ketika anak sudah lahir pun, problem stunting dan pengasuhan ideal akan turut menyertai.
Ini baru sekian hal problem keluarga yang nampak di permukaan. Bisa jadi, lebih banyak persoalan lain yang tidak kita ketahui. Bahkan di masyarakat sampai ada anggapan tidak ada keluarga ideal. Tidak ada keluarga yang anak-anaknya sukses semua, pasti salah satunya ada yang gagal.
Atau bagi pasangan suami istri yang sama-sama bekerja, dan menjadi aktivis seperti aku dan suami. Orang lain pun akan meragukan kualitas pengasuhan anak-anaknya. Seakan bagi perempuan yang masuk dalam kehidupan berkeluarga, harus tahan banting dengan sekian stigma.
Bangunan Keluarga Maslahat
Mungkin aku termasuk orang yang beruntung, sambil menemukenali kembali feminisme dan gerakan perempuan, aku juga intens membaca buku Qira’ah Mubadalah. Bahkan hampir setiap hari bertemu serta berdiskusi dengan penulisnya ketika kami sedang berada di kantor redaksi Mubadalah.id. Bertambah lagi, setiap satu minggu sekali ada kajian Tadarus Subuh, yang mengkaji isu-isu keluarga dalam perspektif Islam.
Betapa memang bagiku nilai-nilai keluarga harus selalu kita kuatkan sebagaimana bangunan keluarga maslahah An-Nahdliyyah. Di mana dalam definisi yang tertuang dalam buku Konsep Keluarga Maslahah An-Nahdliyyah menjelaskan bahwa keluarga maslahah adalah keluarga yang para anggotanya menjalankan kehidupan sesuai dengan pokok-pokok ajaran Islam dan nilai ke-NU-an dalam mengembangkan potensi masing-masing.
Hal itu bertujuan agar mampu menghadirkan kemaslahatan bagi seluruh anggota keluarga (Mashalihul Usrah) dan bagi masyarakat yang lebih luas (al-mashalihul ‘Ammah). Yakni dalam kehidupan umat Islam, bangsa Indonesia, peradaban dunia, dan alam semesta.
Tiga Fondasi Nilai
Bangunan keluarga maslahat sebagaimana definisi di atas ditopang oleh tiga fondasi nilai yang terdiri dari;
Pertama, ‘adalah (keadilan), yakni setiap anggota keluarga mesti menjunjung keadilan, baik sebagai suami istri, ayah dan ibu, orang tua dan anak. Bahkan dalam relasi keluarga besar dan relasi keluarga dengan masyarakat dan alam.
Kedua, mubadalah (kesalingan), yaitu seluruh anggota keluarga saling bekerjasama untuk mewujudkan kemaslahatan bersama, yakni kemaslahatan dirinya sekaligus pihak lain dalam keluarga. Keluarga juga perlu saling bekerjasama dalam kehidupan yang lebih luas.
Ketiga, muwazanah (keseimbangan), yakni seluruh anggota keluraga perlu menjaga kesiembangan dalam segala hal, baik antara hak dan kewajiban, antara kemaslahatan diri sendiri dan keluarga. Antara kemaslahatan keluarga inti dan keluarga besar, bahkan antara keluarga dengan masyarakat dan alam.
Selimut Hangat Keluarga Indonesia
Dengan mengikuti Kongres Keluarga Maslahat selama dua hari di Jakarta pada 31 Januari sampai dengan 1 Februari 2025, aku optimis keluarga maslahat bisa memberi harapan terwujudnya keluarga ideal di Indonesia. Sebagaimana pesan Ibu Nyai Hj Alissa Wahid, dalam sambutan pengarahan di akhir acara. Beliau mengatakan bahwa perubahan sosial tidak bisa kita dapatkan secara instan. Bukan pekerjaan yang cepat, atau hanya sekadar seremoni.
Perubahan sosial, kata Mbak Alissa, hanya bisa kita dorong dengan komitmen yang kuat, dengan impian yang jelas apa yang mau kita wujudkan. Dengan kemauan terus tumbuh dan berkembang mengikuti perjalanan dari gerakan tersebut.
“Dan kali ini saya ingin menyampaikan terima kasih secara pribadi kepada bapak ibu semua yang telah membantu saya mewujudkan gerakan keluarga maslahah ini. Semoga kongres ini menjadi batu lompatan kita untuk membangun gerakan yang lebih luas.” Imbuh Mbak Alissa.
Selain itu, Mbak Alissa menambahkan jika kemarin-kemarin teman-teman GKMNU mungkin bekerja sendirian, teman-teman LKKNU juga mungkin bekerja sendirian. Tapi sekarang menurutnya dengan mengumpulkan semua orang dalam ruangan itu, yang ia tahu juga bekerja di ruang masing-masing, harapannya semoga jahitan dari gerakan keluarga maslahat betul-betul bisa menjadi selimut hangat bagi keluarga Indonesia. []