• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Khitan Perempuan: Pandangan Ulama Timur Tengah & Refleksi Tenaga Medis

Tindakan yang para bidan tempuh tersebut kiranya dapat kita anggap sebagai bentuk perlawanan terhadap kemapanan tradisi masyarakat. Di mana hanya berdasarkan pada asumsi keagamaan yang kurang komprehensif

Ahmad Asrof Fitri Ahmad Asrof Fitri
21/12/2022
in Featured, Publik
0
Khitan Perempuan

Khitan Perempuan

634
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Khitan perempuan menjadi salah satu topik penting yang dibahas dan dikaji dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2 di Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara. Kegiatan ini berlangsung selama 24-26 November 2022. KUPI sendiri membahasnya dalam Musyawarah Keagamaan pada tema perlindungan perempuan dari bahaya Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP). Persoalan khitan perempuan, masih kerap dipraktikkan di berbagai daerah. Bukan hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara lain.

Pembahasan khitan perempuan tidak hanya menjadi isu hangat di Indonesia, melainkan juga di berbagai negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Praktik ini masih banyak mereka lakukan karena munculnya persepsi dalam masyarakat bahwa terdapat doktrin fiqih yang menganjurkan pelaksanaan khitan tersebut.

Berbeda dengan khitan untuk laki-laki yang dihukumi wajib, bagi perempuan hukumnya “sunnah”. Praktik ini sebagian masyarakat yakini sebagai cara untuk mengurangi hasrat seksual (libido) pada perempuan. Harapannya, ketika kelak si bayi dewasa, dia tidak terjerumus ke dalam perbuatan dosa besar seperti zina.

Padahal, secara medis, berbagai penelitian menyebutkan, istilah khitan atau sunat bagi perempuan tidaklah tepat. Istilah yang lebih tepat adalah female genital mutilation atau mutilasi alat kelamin perempuan. Kita sebut demikian karena bukan hanya kulup atau lipatan kulit yang mengelilingi klitoris yang dihilangkan, tetapi bahkan bisa juga klitoris itu sendiri.

Pandangan Ulama Timur Tengah

Sebagian ulama dari Timur Tengah telah merumuskan fatwa berkenaan dengan problematika ini. Daarul Ifta Mesir pada 3 Juli 2007 mengeluarkan fatwa yang memberi penegasan tentang keharaman khitan bagi perempuan.

Bahkan, praktik tersebut mereka nilai sebagai tradisi yang diharamkan menurut syariat (‘adatan muharramatan syar’an). Hal ini berdasarkan pada hasil kajian para ahli medis yang menyatakan bahwa pemotongan atas bagian alat kelamin perempuan itu akan menghasilkan banyak dampak negatif.

Baca Juga:

Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Fatwa tersebut juga merujuk pada pendapat-pendapat ulama klasik, antara lain Ibnu Al-Mundzir dan Ibnu ‘Abd Al-Barr. Ibnu Al-Mundzir, misalnya, berpendapat bahwa tidak ada satu pun khabar maupun sunnah yang menjadi dasar pelaksanaan khitan bagi perempuan (laysa fil khitan ay lil inaatsi khabarun yarji’u ilayhi wa laa sunnatun tuttaba’). Dalam kitabnya, At-Tamhid, Ibnu ‘Abd Al-Barr berkata, “Yang sudah menjadi kesepakatan (ijma’) di kalangan umat Islam ialah khitan itu untuk laki-laki (Walladziy ajma’a ‘alayhil muslimun annal khitan lir rijaal).”

Syaikhul Azhar pada masa itu, Muhammad Sayyid Thanthawi, juga menyatakan pendapat yang senada. Ia berargumen, tidak ia temukan satu pun nash syariat yang sahih yang menjadi dasar hujjah atas praktik khitan perempuan. Dalam pandangannya, khitan bagi perempuan merupakan tradisi yang berlangsung dalam waktu lama dari generasi ke generasi, yang mestinya harus terhapus dan kita tiadakan.

Demikian pula Syaikh Yusuf Qaradhawi berdasarkan hasil kajiannya tentang khitan perempuan mengemukakan keharaman sunat bagi perempuan. Menurutnya, mengacu pada penetapan hukum asal yang telah ulama sepakati tentang tidak bolehnya mengubah ciptaan Allah. Maka khitan perempuan dengan cara memotong sebagian anggota tubuh perempuan dengan tanpa kita dasari oleh kondisi yang menuntut mereka melakukannya hal tersebut hukumnya tidak boleh dan terlarang menurut syariat.

Pemerintah Indonesia sendiri melalui Kementrian PPA, akhir-akhir ini, sedang gencar mensosialisasikan bahaya praktik pemotongan dan pelukaan genitalia perempuan (P2GP) dan pentingnya para pihak, terutama tenaga medis, untuk menghentikannya, demi kesehatan bayi perempuan.

Refleksi Tenaga Medis

Dalam merespons isu ini, saya cukup beruntung karena bisa berdiskusi dengan istri yang berprofesi sebagai bidan dan dulu sering bersinggungan dengan ihwal khitan. Istri saya bercerita, ketika dia kuliah di Jurusan Kebidanan dan magang beberapa kali di klinik bidan. Sering datang orangtua yang hendak mengkhitankan bayi perempuannya. Pada awalnya, saya menduga bidan akan melakukan praktik sirkumsisi sebagaimana yang orangtua bayi inginkan. Akan tetapi, menurut penuturan istri saya, ternyata tidak demikian.

Rupanya, si bayi ia bawa ke ruang praktik, lalu bapak-ibunya ia minta menunggu di luar. Yang terjadi berikutnya, ternyata sang bidan tidak benar-benar memotong kulit luar klitoris sebagai salah satu prosedur khitan perempuan, melainkan hanya mencubitnya sampai kelihatan agak merah dan membuat si bayi menangis. Setelah itu, anak bayi itu ia kembalikan kepada keluarganya.

Langkah yang para bidan ambil tersebut berdasarkan atas kesadaran penuh secara keilmuan akan bahaya medis dari tindakan sirkumsisi pada perempuan. Pasalnya, tindakan khitan perempuan dapat menyebabkan beragam permasalahan kesehatan. Di antaranya yaitu gangguan kesehatan mental, pendarahan, kista, abses, gangguan saat berhubungan seks, infeksi, dan sejumlah dampak negatif lain.

Tindakan yang para bidan tempuh tersebut kiranya dapat kita anggap sebagai bentuk perlawanan terhadap kemapanan tradisi masyarakat. Di mana hanya berdasarkan pada asumsi keagamaan yang kurang komprehensif. Mereka patut kita puji lantaran mampu melihat madharat dalam praktik khitan perempuan dengan lebih jeli. Lalu berinisiatif mengambil sikap. Oleh sebab itu, keberaniannya dalam “melawan” tradisi mainstream dan permintaan keluarga pasien harus kita apresiasi. []

 

 

 

 

 

Tags: Fatwa KUPIHasil KUPI IIKhitan PerempuanP2GPulama perempuanUlama Timur Tengah
Ahmad Asrof Fitri

Ahmad Asrof Fitri

Alumni Pesantren Mahasiswa Al-Muayyad Windan Sukoharjo. Saat ini, selain mengajar, juga aktif melakukan penelitian dan menulis buku. Aktivitasnya dapat diikuti di Instagram: @a.asrof.fitri

Terkait Posts

Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Nakba Day

Nakba Day; Kiamat di Palestina

15 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB dalam Pandangan Islam
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version