• Login
  • Register
Rabu, 1 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Kita Bisa Memilih Menjadi Perempuan tanpa Stigma

Mari, menjadi perempuan yang kita inginkan tanpa di stigma oleh masyarakat. Saling merangkul dan bergandeng tangan, menguatkan sesama perempuan yang sedang berjuang

Laila Fajrin Rauf Laila Fajrin Rauf
04/04/2022
in Personal
0
Menjadi Perempuan

Menjadi Perempuan

255
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Belakangan ini, aku sering merenung tentang curhatan teman-teman perempuan yang ternyata tanpa sadar juga aku alami. Pernah di satu kesempatan, temanku berkata, “Apa salahku sehingga dipaksa menikah sebelum usia 25. Aku dituntut menjadi perempuan yang menikah sebelum 25 tahun hanya karena aku perempuan. Usia benar-benar aniaya bagi perempuan”.

Secara bersamaan, temanku ada yang mengirim pesan via whatsapp, “Mbak, aku ingin melanjutkan kuliah ke jurusan otomotif. Tapi bapak melarangku. Katanya itu jurusan untuk laki-laki. Sebagai perempuan aku dipaksa memilih jurusan keperawatan atau jadi guru agama saja. Bapak bilang, menjadi perempuan jangan neko-neko. Anteng saja di rumah dan turuti kemauan bapak”.

Pernah juga di suatu malam, temanku menelepon sembari menangis, dia berkata, “Mbak, apa lagi yang harus aku lakukan? Sulit sekali menjadi perempuan di dunia ini. Aku hanya ingin bekerja mencari nafkah untuk anak-anakku yang sudah ditinggal bapaknya dari kecil”. Begitulah curahan hati teman perempuan yang menjadi buruh pabrik di tengah kota.

“Tetaplah tegak berdiri!”, jawabku singkat karena tidak tahu lagi harus berucap apa kepada perempuan tangguh yang setiap hari pulang malam demi mencari sesuap nasi untuk anak-anaknya tetapi mendapat stigma perempuan jalang dari masyarakat patriarki.

Sebagian dari kita mungkin pernah mengalami stigma negatif sebagai seorang perempuan. Stigma yang mungkin saja tidak dialami oleh para laki-laki. Bagi masyarakat patriarki, perempuan yang belum menikah di usia 25 dianggap sebagai perawan tua, bahkan yang lebih menyakitkan banyak yang menggunjing dan mengoloknya sebagai perempuan yang tidak laku. Sebenarnya sejak kapan menjadi perempuan menikah seperti dagangan yang dianggap laku dan tidak laku?

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender
  • Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja
  • Perempuan, Patah Hati, dan Krisis Percaya Diri
  • Kisah Saat Perempuan Menawarkan Diri Untuk Menikah Pada Masa Nabi Saw

Baca Juga:

Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender

Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja

Perempuan, Patah Hati, dan Krisis Percaya Diri

Kisah Saat Perempuan Menawarkan Diri Untuk Menikah Pada Masa Nabi Saw

Sedangkan laki-laki secara umum mendapat stigma yang positif. Bagi masyarakat patriarki, semakin laki-laki berumur maka kedewasaannya semakin matang dan karirnya sudah mapan. Tak ada stigma tidak laku atau jejaka tua misalnya.

Tulisan ini bukan bermaksud untuk membandingkan fenomena yang dialami laki-laki dan perempuan. Tetapi lebih dari pada itu. Masyarakat perlu untuk membuka mata bahwa tidak ada manusia yang layak mendapatkan stigma negatif untuk menghambat prosesnya bertumbuh dalam kebaikan, entah itu bagi laki-laki atau pun perempuan.

Kita, sebagai manusia tidak bisa memilih akan terlahir sebagai laki-laki atau perempuan. Kita juga tidak bisa memilih dari sperma laki-laki mana dan dari rahim perempuan mana kita akan dilahirkan. Tapi kita bisa memilih untuk tumbuh menjadi perempuan atau laki-laki berdaya dan terbebas dari kungkungan patriarki yang tumbuh subur di masyarakat.

Perempuan dan laki-laki bisa bergerak secara kolektif untuk saling berkolaborasi, saling menguatkan dan saling bertumbuh dalam kebaikan. Karena baik laki-laki ataupun perempuan berhak untuk menjadi apapun yang diinginkan tanpa ditekan oleh sikap dan nilai patriarki, baik di domain keluarga ataupun dalam masyarakat.

Jika terasa begitu sulit untuk merubah pandangan masyarakat yang patriarki dan misoginis, paling tidak kita memulai dari diri kita sendiri. Jangan sampai kita menganggap bahwa salah satu gender itu layak untuk mendapatkan stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi atau bahkan mengalami kekerasan.

Jangan sampai ada lagi sosok perempuan yang menangis dan mengaduh di tengah perjuangannya mencari nafkah sebagai single mom hanya karena dilabeli negatif oleh masyarakat sebab pulang malam. Kita tidak pernah tahu, perjuangan apa yang telah dia lakukan demi anak-anaknya. Jangan-jangan kitalah yang justru menghancurkan harapan-harapan yang dengan susah payah telah dibangun olehnya.

Jangan sampai juga ada perempuan yang kesulitan melanjutkan pendidikan di jurusan yang dikehendakinya. Bukan karena dia tidak pintar atau tidak layak memasuki jurusan tersebut. Tetapi dia tidak diperkenankan memasuki jurusan tersebut hanya karena dia seorang perempuan. Tidak ada jurusan dalam pendidikan yang berjenis kelamin perempuan ataupun laki-laki.

Jangan sampai ada juga, yang merasa galau dihari ulang tahunnya hanya karena dipaksa menikah sebelum usia 25 tahun. Menjadi perempuan berhak menentukan kapan dia siap untuk menjalin hubungan berumah tangga. Tidak ada yang salah jika ingin menikah di atas usia 25 tahun. Izinkan para perempuan untuk memilih secara sadar apa yang menurutnya terbaik bagi dirinya dan calon pasangannya.

Jangan juga ada perempuan yang merasa tidak memiliki ruang aman untuk berekspresi. Perempuan juga boleh menentukan pakaian ternyaman yang ingin dikenakan. Meskipun memakai pakaian terbuka atau tertutup bahkan bercadar, dia tetap perempuan yang harus dimanusiakan. Meskipun dia memilih menikah ataupun being single juga perlu dimuliakan. Meskipun dia memilih untuk berdandan atau tidak, gemuk atau kurus, berkulit hitam atau putih, semuanya tetap perempuan yang boleh memilih versi terbaik atas dirinya.

Mari, menjadi perempuan yang kita inginkan tanpa di stigma oleh masyarakat. Saling merangkul dan bergandeng tangan, menguatkan sesama perempuan yang sedang berjuang. Menebarkan kasih sayang dan cinta yang utuh bagi perempuan untuk mencapai harapan dan cita-citanya serta bergerak secara kolektif untuk saling berkolaborasi, bukan berkompetisi.

Kini, saatnya kita lawan pandangan patriarki yang kian hari kian mendiskreditkan perempuan, memojokkan perempuan dan membatasi perempuan. Kita bisa menjadi perempuan yang saling belajar, bertumbuh dan berkarya dalam kebaikan serta kebahagiaan. []

 

 

Tags: GenderkeadilanKesetaraanperempuanstigma
Laila Fajrin Rauf

Laila Fajrin Rauf

Penulis asal Jepara. Founder Komunitas Gerakan Kolektif Perempuan Feministic.id. Aktif di GUSDURian dan Duta Damai Yogyakarta. Bisa dihubungi via email ke [email protected] atau instagram @ubai_rauf

Terkait Posts

Wasiat Buya Husein

Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad

1 Februari 2023
Patah Hati

Perempuan, Patah Hati, dan Krisis Percaya Diri

31 Januari 2023
Refleksi Menulis

Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri, dan Menciptakan Keabadian

30 Januari 2023
Pengalaman Perempuan

Writing for Healing: Mencatat Pengalaman Perempuan dalam Sebuah Komunitas

28 Januari 2023
Kampus Cantik

Akun Instagram Kampus Cantik, Sebuah Bentuk Glorifikasi Seksisme Bagi Perempuan

27 Januari 2023
Budak Cinta

Budak Cinta, Bumi Cinta, dan Mubadalah Cinta

24 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • keluarga

    7 Prinsip Dalam Berkeluarga Ala Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Relasi Keluarga Berencana dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Melihat Keterlibatan Perempuan dalam Tradisi Nyadran Perdamaian di Temanggung Jawa Tengah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Saat Nabi Saw Tertawa Karena Mendengar Cerita Kentut dari Salma

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pandangan Abu Syuqqah Tentang Isu Kesetaraan Gender
  • Mematri Wasiat Buya Husein Muhammad
  • Kisah Saat Nabi Saw Apresiasi Kepada Para Perempuan Pekerja
  • Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll
  • Kisah Saat Nabi Saw Tertawa Karena Mendengar Cerita Kentut dari Salma

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist