Mubadalah.id – Minggu 3 April 2022 lalu, kita semua dikejutkan dengan meninggalnya seorang pelajar kelas XI SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta di Jalan Gedongkuning Yogyakarta. Sebagaimana telah diberitakan di banyak media, bahwa kematiannya disebabkan oleh alat seperti gir yang diikat dengan kain dan dihantamkan kepadanya. Kejadian yang mencederai semangat Pancasila inilah yang kemudian dikenal publik dengan “klithih” dimana pada aksinya, banyak melibatkan anak-anak usia SMA.
Menurut Arie Sujito, sosiolog Universitas Gajah Mada, makna asli dari istilah klithih adalah kegiatan keluar rumah di malam hari untuk menghilangkan kepenatan. Jika merujuk pada istilah ini, jelas klithih tidak berbahaya apalagi mencederai Pancasila. Namun, ternyata klithih mengalami pergeseran makna menjadi fenomena kejahatan yang identik dengan aksi kekerasan dengan senjata tajam. Umumnya klithih dilakukan oleh siswa usia SMA, tentu dengan ragam aksi seperti perundungan, penjarahan, perampokan hingga penyiksaan fisik.
Klithih yang melibatkan pelajar usia SMA tentu saja membuat banyak pihak harus mengelus dada, prihatin sekaligus kecewa. Perilaku yang jauh dari kata beradab dan berpendidikan sungguh mencoreng citra baik bangsa.
Padahal, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 tahun 2020 telah berupaya menjaga, memperbaiki dan mewujudkan karakter pelajar dalam profil pelajar Pancasila. Profil pelajar Pancasila adalah sebuah perwujudan pelajar Indonesia yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Urgensi dari profil pelajar Pancasila menjadi makin nyata pasca munculnya aksi klithih di Yogyakarta yang telah merenggut nyawa seorang penerus bangsa. Enam ciri dari profil pelajar Pancasila yakni (1) Bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia; (2) Berkebinekaan global; (3) Bergotong royong; (4) Mandiri; (5) Bernalar kritis; (6) Kreatif, diyakini mampu menghentikan aksi klithih jika dapat diajarkan secara intensif kepada seluruh pelajar di Indonesia umumnya, dan Yogyakarta khususnya.
Bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia, sebagai ciri profil pelajar Pancasila memiliki lima elemen kunci, yakni akhlak beragama, akhlak pribadi, akhlak kepada manusia, akhlak kepada alam dan akhlak bernegara. Aksi klithih jelas tidak mencerminkan takwa kepada Tuhan dan akhlak mulia, karena aksi klithih sarat akan kekerasan yang tidak jarang berakhir dengan penyiksaan fisik.
Dalam perspektif mubadalah pun, aksi klithih tidak mendapatkan pembenaran karena telah keluar dari visi besar Islam yang rahmatan lil alamin, dan misi besar kenabian Muhammad, yakni akhlakul karimah.
Ciri kedua dari profil pelajar Pancasila adalah berkebhinekaan global, dimana pelajar Indonesia diminta untuk terus mempertahankan budaya luhur, lokalitas, dan identitasnya, namun tetap berfikiran terbuka dalam berinteraksi dengan sesamanya.
Kekerasan yang terjadi dalam tiap aksi klithih sudah pasti bukan merupakan budaya luhur, lokalitas dan identitas bangsa Indonesia, karena Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi moralitas budaya, kearifan lokal bangsa, serta menjaga marwah identitas bangsanya.
Gotong royong dengan titik tekan pada kepedulian menjadi ciri profil pelajar Pancasila selanjutnya. Hal ini juga tidak tersirat dalam aksi klithih yang dilakukan oleh para pelajar. Bagaimana tidak, aksi kekerasan dengan menghantamkan gir kepada sesamanya hingga berujung maut jelas tidak mencerminkan sebuah sikap peduli antar sesamanya.
Disusul dengan mandiri yang menjadi ciri profil pelajar Pancasila keempat dengan titik tekan pada sikap tanggung jawab, kesadaran diri dan regulasi atas diri. Menurut hal inipun para pelaku klithih masih jauh dari sikap tanggung jawab baik kepada korbannya maupun terhadap dirinya sendiri.
Dua ciri terakhir dari profil pelajar Pancasila yakni bernalar kritis dan kreatif dengan titik tekan pada kemampuan memproses informasi dari tahap menganalisis dan mengevaluasi penalaran, merefleksi pemikiran dan proses berfikir, sehingga mampu mengambil keputusan untuk memodifikasi dan menghasilkan sesuatu yang bermakna, bermanfaat, dan berdampak.
Dalam hal inipun klithih tidak mencerminkan kemampuan para pelakunya dalam memproses informasi, sehingga keputusan yang diambilnya bukanlah merupakan hal yang bermakna, dan bermanfaat. Yang terjadi justru sebaliknya, keputusan yang diambilnya merugikan banyak pihak.
Urgensi profil pelajar Pancasila kian mendesak. Jika pemerintah sudah memulainya di hulu melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat Permendikbud sehingga kompetensi profil pelajar Pancasila masuk ke dalam kurikulum sekolah, maka inilah waktunya para pendidik bersama orang tua dan wali siswa untuk berjuang di hilir demi mewujudkan pelajar Pancasila, tumpuan harapan bangsa di masa mendatang.
Dengan menanamkan enam ciri profil pelajar Pancasila dalam diri setiap pelajar, diharapkan klithih dapat kembali ke makna awalnya, yakni sebagai salah satu sarana healing dari segala kepenatan di siang hari. []