• Login
  • Register
Senin, 2 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Figur

Konsep Feminisme Sunda Menurut Haji Raden Hidayat Suryalaga

Konsep Feminisme Sunda oleh Haji Raden Hidayat Suryalaga dengan melihat ketidakadilan gender melalui folklor lisan yang berkembang di masyarakat

Andri Nurjaman Andri Nurjaman
07/10/2023
in Figur
0
Feminisme Sunda

Feminisme Sunda

935
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Konsep etno-feminisme atau feminisme Sunda ala H.R Hidayat Suryalaga adalah berbasis pada folklore Sunda. Di mana banyak mengandung makna mengenai peran dan kedudukan perempuan Sunda yang begitu tinggi dan terhormat baik pada ranah domestik ataupun dalam ramah publik.

Profil Haji Raden Hidayat Suryalaga

Melansir dari ensiklopedia dunia, bahwa Haji Raden Hidayat Suryalaga adalah seorang budayawan Sunda sekaligus akademisi, lalu juga berperan sebagai penulis dan seorang guru. Pemikiran monumentalnya adalah mengenai Islam dan kesundaan yaitu sebuah kredo “Islam teh Sunda, Sunda teh Islam“.

Salah satu karya monumentalnya adalah Nur Hidayah Saritilawah. Yakni Al-Qur’an Basa Sunda dalam bentuk pupuh yang  berisi terjemah puitis Sunda Al-Quran 30 juz dengan penulisan kaidah pupuh (puisi Sunda buhun/lama) dengan aturan yang sangat ketat selama 18 tahun yaitu sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 1998.

Sebagai media untuk mendiskusikan karyanya tersebut, beliau mendirikan Majelis Malem Reboan yang merupakan majelis pengajian dan diskusi untuk mempublikasikan karya monumentalnya tersebut. Yaitu dengan penghayatan terhadap Al-Qur’an dengan bahasa Sunda.

Pendidikan, Karir dan Organisasi H.R Hidayat Suryalaga

Adapun karir beliau cukup banyak. Dalam buku Ajip Rosidi (2003) terinformasikan misalnya pada tahun 1954 beliau menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat. Lalu pada tahun 1961 di Sekolah Guru A (SGA), melanjutkan pendidikan pada tahun 1964 di Bimbingan dan Konseling untuk Tingkat III. Selanjutnya pada tahun 1986 melanjutkan belajar di Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Baca Juga:

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence Pada Ayat-ayat Shirah Nabawiyah (Part 2)

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

Herland: Membayangkan Dunia Tanpa Laki-laki

Dalam hal pekerjaan dan karir, Haji Raden Hidayat Suryalaga atau akrab kita panggil Abah Surya pernah menjadi guru SR pada rentang tahun 1958-1966, guru Sekolah Menengah Pertama dari tahun 1966-1978, guru SGA tahun 1978-1980, guru Sekolah Menengah Atas tahun 1980-1984, sampai pernah menjadi dosen di Fakultas Sastra Unpad tahun 1986-1998, dan dosen Ilmu Budaya Sunda di Unpas tahun 1992-2001.

Adapun dalam bidang organisasi, Abah Surya terbilang aktif dalam organisasi kesundaan. Contohnya beliau pernah aktif pada tahun 1966-1978 di Majalah Kalawarta dan Kudjang. Lalu sejak tahun 1996-1998 menjadi Ketua Yayasan Atikan Sunda (YAS), pada tahun 1994 menjadi Ketua Daya Mahasiswa Sunda, pada tahun 2000 sampai 2005 menjadi Pengurus Lembaga Bahasa dan Sastra.

Keaktifannya pada dunia organisasi, mengantarkannya menjadi pendiri dan penasihat Teater Sunda Kiwari sejak tahun 1975 sampai tahun 2010. Pernah juga menjadi Panasihat Yayasan Nur Hidayah sejak tahun 1992 sampai tahun 2010. Lalu menjadi Ketua Lembaga Kabudayaan Unpas sejak tahun 1992 sampai tahun 2000, Staf Ahli Kabudayaan Unpas sejak tahun 2000 sampai 2004. Terakhir pernah menjadi Pangurus Yayasan Daya Budaya Pasundan sejak tahun 2001 sampai tahun 2004.

Karya H.R Hidayat Suryalaga

Sebagai seorang akademisi, Abah Surya terbilang aktif dalam berkarya. Dalam buku Ajip Rosidi (2000) terinformasikan beberapa karya fiksinya, terutama naskah drama Sunda yang berjumlah sampai 36 judul, beliau juga menulis naskah gending karesmen, guguritan, dan sajak.

Selain itu, Abah Surya juga menulis non-fiksi, seperti menulis materi buku ajar untuk SMP. Lalu sebuah buku yang berisi bahan ajar Etika dan Sopan Santun (1994), Wulang Krama (5 jilid, 1994), Gending Karesmen & Dramaturgi (1995), Kiat MC Upacara Adat Sunda (1996), Rinéka Budaya Sunda I (1997), dan Wawacan Lutung Kasarung (1984).

Sebagai seorang pemikir Sunda yang religius, Abah Surya juga menghasilkan karya-karya keislaman melalui yayasan Nur Hidayah. Selain itu banyak karya lain juga termuat dalam Majalah Kalawarta, Kujang, dan Manglé. Salah satu karya fenomenalnya yang telah terinformasikan sebelumnya adalah Saritilawah Al-Quran Bahasa Sunda dalam bentuk Pupuh.

Konsep Feminisme Sunda dalam Pandangan H.R Hidayat Suryalaga

Pemikirannya mengenai konsep feminisme Sunda terdapat pada situs website Sundanet.com dengan judul “Wanita dengan perannya” yang termuat pada 24 Desember 2002. Sundanet.com adalah website yang ia buat untuk memperkenalkan budaya Sunda ke luar Jawa Barat dan Indonesia. Tulisan ini lahir untuk menanggapi isu mengenai persamaan hak dan gender.

Konsep feminisme Sunda atau kedudukan dan peran perempuan menurut Haji Raden Hidayat Suryalaga tercermin melalui folklor Sunda. Yang menjadi pembahasan utamanya adalah folklor lisan Sunda yaitu mitos atau legenda cerita pantun Lutung Kasarung, Munding Laya di Kusumah dan Dayang Sumbi dalam legenda Sangkuriang.

Berbasis Folklor Sunda

Tokoh bernama Sunan Ambu dalam mitologi urang Sunda atau masyarakat Sunda sangat terkenal. Sunan berasal dari kata “Suhunan” yang berarti disuhun pada atas kepala yang mengandung arti sangat terhormat. Sedangkan kata “Ambu” berasal dari kata embu yaitu ibu. Jadi posisi dan kedudukan ibu (perempuan) sangat tinggi dan terhormat.

Dalam cerita pantun Lutung Kasarung dan Munding Laya di Kusumah bahwa tokoh Sunan Ambu ini berada di Kahyangan. Kahyangan ini merupakan tempat yang tinggi dan suci penuh dengan kedamaian dan ketentraman. Lalu folklor dalam legenda Sangkuriang yang tokoh utamanya adalah perempuan bernama Dayang Sumbi. Hal ini menyiratkann bahwa posisi dan kedudukan perempuan sangat tinggi, terhormat dan berperan aktif baik dalam bidang domestik ataupun dalam bidang publik.

Teori Kritik Feminis dalam Feminisme Sunda berbasis Folklor

Konsep Feminisme Sunda oleh Haji Raden Hidayat Suryalaga dengan melihat ketidakadilan gender melalui folklor-foklor lisan yang berkembang pada masyarakat Sunda. Dalam teori ilmu sastra sebagai bagian dari ilmu humaniora adalah kritik sastra feminis.

Rutheven (1985) menyebutkan bahwa kritik sastra feminis bersifat revolusioner yang ingin menumbangkan wacana dominan yang sengaja terbentuk oleh budaya patriarki. Adanya tokoh utama perempuan dalam folklor Lutung Kasarung, Munding Laya di Kusuma ataupun tokoh Dayang Sumbi dalam legenda Sangkuriang menunjukan kesetaraan gender bukan hanya dalam ranah domestik. tapi juga dalam ranah publik.

Dalam pandangan kritik sastra feminis, adanya tokoh-tokoh perempuan dalam folklor tersebut menunjukan bahwa kesetaraan gender telah menjadi spirit bagi masyarakat etnis. Hal ini terkenal dengan istilah feminisme Nusantara, maka etno-feminisme atau feminisme-Sunda adalah bagian dari feminisme Nusantara. Karena juga banyak beberapa folklor pada masyarakat lain dari berbagai daerah di Indonesia (Nusantara) yang menunjukan ketokohan perempuan yang berkedudukan dan berperan penting dalam ranah publik.

Sebuah Penegasan

Sunan Ambu yang oleh masyarakat Sunda yang berasal dari Kahyangan lalu turun ke bumi membawa kedamain dan kesejahteraan. Hal ini menunjukan identitas gender yang setara dengan para dewa dan lebih unggul dari laki-laki bangsa manusia.

Dalam folklor Sunda tersebut menyiratkan bahwa perempuan mampu untuk menjalankan tugas penting dalam kehidupan. Menurut Sunarti (2018) hal ini merupakan sebuah upaya dari masyarakat tradisional untuk menaikan kehormatannya.

Jadi, dalam tulisan ini penulis hanya ingin menegaskan bahwa konsep feminisme Sunda yang terkonsepsi oleh Haji Raden Hidayat Suryalaga melalui folklor lisan yang berkembang pada masyarakat Sunda. Di mana menurut kaca mata kritik sastra feminis adalah bertujuan untuk menempatkan sosok perempuan dalam tempat yang paling tinggi dan terhormat.

Selain itu hal ini juga menunjukan dan membuka kembali identitas perempuan pada masa lalu sebagai subjek yang setara dengan laki-laki. Bahkan menjadi subjek penentu arah sejarah dan perkembangan peradaban manusia.

Di mana sebelum lahir dan berkembangnya feminis Barat, etno-feminisme sudah lahir dan berkembang pada masyarakat Nusantara yang memberikan peran, kedudukan dan haknya kepada perempuan dalam berbagai ruang dan kesempatan. []

Tags: etno-feminismefeminismefeminisme-sundaHidayat SuryalagaNusantarasejarah
Andri Nurjaman

Andri Nurjaman

Akademisi dan Pendidik Minat Kajian : Sejarah Islam, Peradaban Islam, Studi Agama

Terkait Posts

Hj. Biyati Ahwarumi

Hj. Biyati Ahwarumi, Perempuan di Balik Bisnis Pesantren Sunan Drajat

23 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Nyai Ratu Junti

Nyai Ratu Junti, Sufi Perempuan dari Indramayu

17 Mei 2025
Nyi HIndun

Mengenal Nyi Hindun, Potret Ketangguhan Perempuan Pesantren di Cirebon

16 Mei 2025
Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro

9 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jilbab

    Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab dan Jilbab dalam al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Makna Hijab dan Jilbab dalam al-Qur’an
  • Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan
  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)
  • Tren Mode Rambut Sukainah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID