Mubadalah.id – Dalam dunia dakwah kontemporer, fenomena pergeseran nilai-nilai adab dan etika menjadi masalah yang semakin mengemuka. Dakwah yang sejatinya bertujuan untuk membimbing umat menuju kebaikan, sering kali terjerumus ke dalam praktik yang kehilangan arah.
Salah satu aspek yang kini banyak terabaikan adalah adab, yang seharusnya menjadi pondasi dalam menyampaikan pesan-pesan kebaikan. Ironisnya, meskipun ilmu agama semakin berkembang, krisis etika dalam dakwah justru semakin kentara. Seperti yang terlihat dalam kasus Gus Miftah yang baru-baru ini menuai kontroversi akibat pernyataannya yang mengejek seorang pedagang minuman.
Fenomena ini bukan hanya mencerminkan krisis dalam dunia dakwah, tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya keseimbangan antara ilmu dan adab.
Etika dalam dakwah seharusnya menjadi landasan yang kokoh. Karena dakwah bukan hanya soal menyampaikan ilmu, tetapi juga tentang bagaimana menyampaikan ilmu tersebut dengan penuh kasih sayang, kelembutan, dan penghormatan terhadap sesama.
Adab dalam dakwah meliputi sikap menghormati, menghindari sikap merendahkan, serta menjaga etika berbicara yang sesuai dengan ajaran Islam. Sayangnya, dalam beberapa kasus, kita mulai melihat bagaimana adab ini terpinggirkan, tergantikan oleh sikap sombong, merendahkan, atau bahkan menghina orang lain.
Krisis Etika dalam Dakwah: Ketika Adab Terpinggirkan
Kasus Gus Miftah yang mengejek seorang pedagang minuman dalam sebuah video viral adalah contoh nyata dari krisis adab dalam dakwah kontemporer. Dalam video tersebut, Gus Miftah yang terkenal sebagai seorang ulama dan tokoh dakwah terkemuka, terlihat dengan sengaja mengejek pedagang tersebut dengan kata-kata yang merendahkan.
Meskipun ia mungkin bermaksud untuk memberi contoh atau menyampaikan pesan, cara penyampaiannya yang tidak beradab menciptakan kesan yang salah. Alih-alih memberikan contoh kebijaksanaan, Gus Miftah justru memberi dampak negatif, karena mengejek dan merendahkan orang lain bukanlah bagian dari ajaran Islam.
Dalam Islam, Rasulullah SAW sangat menekankan pentingnya menjaga adab dalam berbicara dan berinteraksi dengan sesama. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari). Hadits ini jelas mengajarkan kita untuk berbicara dengan penuh adab dan hati-hati, terutama ketika berbicara di depan publik atau menyampaikan pesan dakwah.
Namun, dalam konteks dakwah kontemporer, adab sering kali tergeser oleh semangat yang berlebihan untuk menarik perhatian atau tampil menonjol. Dalam beberapa kasus, bahkan ulama atau tokoh agama yang seharusnya menjadi contoh kebaikan, justru menjadi sumber kekeliruan dalam praktik dakwah.
Krisis etika ini semakin memperburuk citra dakwah Islam di mata masyarakat, dan justru menambah jurang pemisah antara ilmu yang tersampaikan dan adab yang harus kita jaga.
Ilmu Tanpa Adab: Ketika Dakwah Kehilangan Arah
Ilmu agama, tanpa kita sertai dengan adab, sering kali kehilangan kekuatan untuk membimbing umat. Dakwah bukan hanya tentang menyampaikan pengetahuan, tetapi juga tentang menyentuh hati umat agar mereka bisa mengubah perilaku dan menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai agama. Ilmu tanpa adab akan cenderung menjadi kaku, bahkan bisa kita gunakan untuk menjustifikasi perilaku yang merugikan orang lain.
Dalam kasus Gus Miftah, pernyataannya yang mengejek seorang pedagang minuman menunjukkan betapa ilmu yang ia miliki tidak disertai dengan pemahaman yang mendalam tentang adab.
Sebagai seorang ulama, Gus Miftah seharusnya mengajarkan kepada umat bahwa setiap orang, tak peduli profesinya, memiliki martabat yang harus kita hormati. Bahkan seorang pedagang kaki lima, yang mungkin dianggap rendah oleh sebagian orang, tetap layak kita hormati karena ia mencari nafkah dengan cara yang halal dan tidak merugikan orang lain.
Dalam perspektif Islam, ilmu agama seharusnya membawa seseorang pada sikap rendah hati dan menghargai martabat orang lain. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk tubuh dan rupa kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim).
Sebagai seorang ulama, Gus Miftah seharusnya mencontohkan kepada umat bagaimana ilmu yang ia miliki harus membentuk akhlak yang mulia dan menghargai setiap individu, tanpa pandang bulu.
Namun, dalam dakwah kontemporer, sering kali kita melihat bagaimana ilmu kita gunakan untuk menunjukkan superioritas diri atau merendahkan orang lain. Ini adalah salah satu bentuk penyalahgunaan ilmu yang harus segera kita koreksi. Tanpa disertai dengan adab yang baik, ilmu agama justru akan menciptakan jurang pemisah antara pemilik ilmu dan umat yang diajarnya.
Membutuhkan Rehabilitasi Etika dalam Dakwah
Menghadapi krisis etika dalam dakwah kontemporer, sudah saatnya kita kembali merefleksikan tujuan utama dari dakwah itu sendiri. Dakwah harusnya menjadi sarana untuk membangun masyarakat yang beradab, penuh kasih sayang, dan saling menghargai. Adab adalah cerminan dari kualitas dakwah yang tidak hanya mengedepankan pengetahuan, tetapi juga memberikan contoh yang baik dalam perilaku.
Kasus Gus Miftah menjadi sebuah peringatan keras bahwa dakwah yang hanya mengandalkan ilmu tanpa memperhatikan adab akan menimbulkan dampak negatif. Untuk itu, perlu ada rehabilitasi etika dalam dunia dakwah. Para ulama dan tokoh dakwah perlu kembali pada prinsip dasar ajaran Islam, yaitu mengedepankan adab dalam setiap tindakan dan perkataan.
Rehabilitasi etika dalam dakwah harus dimulai dengan pemahaman bahwa ilmu dan adab adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Ilmu tanpa adab bisa menyimpang dari tujuan sebenarnya, yaitu untuk mengarahkan umat kepada kebaikan. Sebaliknya, adab yang baik akan memastikan bahwa ilmu yang disampaikan diterima dengan hati yang terbuka dan memberikan dampak positif dalam kehidupan umat.
Dalam hal ini, Gus Miftah, sebagai seorang tokoh yang memiliki pengaruh besar, seharusnya bisa menjadi contoh bagi umat dalam menjaga keseimbangan antara ilmu dan adab. Dengan memperbaiki sikap dan perilaku dalam dakwahnya, ia bisa kembali menjadi sosok yang dihormati dan dijadikan teladan bagi umat.
Krisis etika dalam dakwah kontemporer merupakan masalah yang serius, yang harus segera kita atasi. Kasus Gus Miftah yang mengejek pedagang minuman menunjukkan betapa pentingnya adab dalam dakwah.
Tanpa adab, ilmu hanya akan menjadi alat untuk memperlihatkan superioritas, bukan untuk membimbing umat menuju kebaikan. Oleh karena itu, dakwah harus selalu mengedepankan adab sebagai fondasi utama, agar ilmu yang tersampaikan bisa memberikan manfaat dan membangun masyarakat yang lebih baik. []