Mubadalah.id – Meskipun secara medis khitan perempuan terbukti membahayakan kesehatan fisik dan mental perempuan, namun secara mengejutkan 51,2 % perempuan Indonesia mengalami khitan saat usia balita. (Komnas Perempuan, 2017) Dalam cara halaqoh Pencegahan P2GP Jaringan Kupi yang diselenggarakan pada 27 Agustus 2021 secara virtual, Asisten Deputi Peningkatan Partisipasi Organisasi Keagamaan KPPPA dihadirkan sebagai salah satu narasumber. Secara otoritatif, beliau menyajikan realitas di lapangan mengenai praktik khitan perempuan.
Khitan perempuan dilakukan dengan cara yang beragam, dari membersihkan daerah vagina secara simbolik, menusuk kulit vagina, menggores, mengiris, atau memotong klitoris perempuan. Sedangkan praktisinya berasal dari sektor medis baik bidan, perawat maupun dokter. Namun mayoritas dilakukan oleh dukun bayi yang ada di desa-desa, dan menjadi salah satu paket lengkap persalinan.
Tak ada landasan teologis maupun medis yang mendasari seorang ibu memutuskan untuk mengkhitan anak perempuan. Satu-satunya keseragaman alasan yang mereka miliki adalah keyakinan akan tradisi turun temurun. Agama seringkali dijadikan legitimasi atas keputusan khitan perempuan, namun tak banyak pula yang mampu menjelaskan dalil mana yang secara spesifik menyatakan perintah khitan bagi perempuan.
Mitos khitan bagi perempuan
Sebanyak 80% orang tua meyakini bahwa khitan kepada anak perempuan dilakukan karena keyakinan atas tradisi atau mitos yang berlaku di wilayahnya. Ketakutan masyarakat dalam melanggar tradisi lebih kuat dari landasan rasionalitas manusia. Beberapa mitos tersebut, antara lain:
Pertama, menekan nafsu syahwat perempuan. Dalam masyarakat patriarkis, perempuan kerap dijadikan sebagai objek pemuas nafsu laki-laki. Mitos tentang keperawanan diukur dengan keutuhan selaput dara. Sehingga hanya perempuan yang diminta untuk menekan nafsu syahwatnya. Menjadi korban maupun pelaku pelecehan seksual, ia akan tetap disalahkan dengan alasan preferensi busana, dan fisiknya sebagai sumber fitnah.
Maka agar tidak menjadi binal, klitoris yang merupakan titik syahwat perempuan dipotong. Dasar ini tentunya peyoratif terhadap perempuan. Karena berdasarkan lensa keadilan gender Islam sebagaimana disampaikan oleh Nyai Nur Rofiah, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki kewajiban untuk menahan syahwat dan menundukkan pandangan dari lawan jenis. Memotong klitoris dengan dalih agar perempuan tidak binal justru bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang diatur baik dalam al-Quran dan Hadits.
Kedua, bukti kesucian perempuan. Kesucian diri seorang gadis perempuan dilihat dari pernah atau tidaknya ia melakukan intercouse sebelum menikah. Gadis perempuan yang diketahui sudah tidak lagi perawan dianggap tidak mampu menjaga kesucian dirinya. Karena kesucian perempuan diidentikkan dengan moralitas perempuan. Sangat jarang kajian yang membahas mengenai keperjakaan laki-laki pra nikah, karena sekali lagi cara pandang yang berperspektif laki-laki memang hanya menggunakan sudut pandangnya saja untuk melihat realitas di lingkungan masyarakat.
Perempuan dianggap sebagai gender suci, karena memiliki peran yang vital dalam membina keluarga, dan mendidik anak-anak. Keberhasilan dalam membina keluarga, mendidik anak-anak, dimulai dari kemampuan perempuan dalam menjaga kesuciannya sebelum menikah. Maka untuk memastikan kesuciannya terjaga, klitoris perempuan harus dipotong dengan mekanisme khitan.
Ketiga, bukti kesempurnaan keislaman perempuan. Perempuan dianggap belum sempurna Islamnya, tidak diterima ibadahnya, dan sia-sia amal baiknya jika belum dikhitan. Mitos ini menganalogikan khitan perempuan dengan khitan laki-laki. Khitan pada laki-laki diawali dengan mimpi basah. Mimpi basah itu sendiri adalah tanda laki-laki telah memasuki fase baligh atau dewasa.
Padahal fase baligh perempuan ditandai dengan datangnya fase haid. Mimpi basah bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan adalah indikator kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik seseorang. Di usia inilah seseorang memiliki tanggung jawab secara moral, dibebani tanggung jawab seluruh hukum agama. Menganalogikan khitan laki-laki sebagai pertanda masuknya seseorang ke usia remaja dengan segala konsekwensinya, dan menerapkan hal serupa pada perempuan tentunya bertentangan dengan nilai keadilan.
Kritik terhadap mitos khitan perempuan
Khitan bagi laki-laki memang memiliki dampak positif baginya. Karena kulup yang dipotong saat khitan berisi kotoran bekas air seni yang menggumpal. Sehingga pemotongan kulup penis akan berdampak positif pada sistem reproduksi laki-laki. Namun memperlakukan hal sama kepada perempuan secara aple to aple harus dikaji lebih mendalam lagi.
Dari sesi medis, khitan bagi perempuan memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang yang cenderung merugikan sistem reproduksi perempuan. Dampak jangka pendek antara lain demam, dan pendarahan. Sedangkan dampak jangka panjangnya adalah ketidakmampuan perempuan dalam menikmati hubungan seksual ketika berkeluarga. Hal ini tentunya bertentangan dengan konsep mu’asyaroh bil ma’ruf dalam hubungan suami istri.
Keyakinan atas khitan perempuan yang hanya didasarkan atas mitos tanpa didasari pemahaman yang komprehensif terhadap hak perempuan tentu akan berdampak negatif. Apalagi jika mitos tersebut bermuatan peyoratif, akan menimbulkan beban ganda bagi perempuan. Mitos tersebut memperkuat posisi perempuan sebagai sumber fitnah sehingga nafsunya harus diatur agar tidak binal. Perempuan juga dianggap sebagai mesin reproduksi sehingga kesuciannya harus dijaga dengan menghilangkan syahwatnya agar melahirkan generasi terbaik. Bahkan keislamannya ditentukan dari sudah atau belumnya khitan yang ia lakukan.
Hal tersebut tentunya bertujuan baik, yaitu menyiapkan generasi unggul untuk perjuangan Islam dimasa mendatang. Yang menjadi masalah adalah hanya menempatkan perempuan sebagai satu-satunya komponen yang wajib menjaga kesucian dengan memberikan pemakluman kepada laki-laki. Jika memang yang diharapkan adalah semakin tertatanya kehidupan manusia, maka kedua gender harus dilibatkan sesuai dengan porsinya masing-masing. Tidak memaksakan suatu kebiasaan yang mungkin positif bagi satu gender namun merugikan gender lainnya. []