Mubadalah.id – Berbagai pendekatan dalam diskursus kajian Al-Qur’an selalu menarik diperbincangkan. Salah satunya adalah konsep mubadalah yang dicetuskan oleh seorang pemikir asal Cirebon yakni Dr. Faqihuddin Abdul Kodir. Dalam buku Qira’ah Mubadalah karya Kiai Faqih, singkatnya, mubadalah adalah sebuah perspektif terhadap isu-isu gender yang mencoba mendudukan teks Al-Qur’an atau pun hadis ramah terhadap perempuan.
Ini penting karena selama ini perempuan selalu diposisikan pada second people (objek) sedangkan laki-laki adalah subjek. Sehingga terhadap kenikmatan surga pun perempuan sangat sedikit, bahkan bisa dibilang tidak ada, tafsir yang memasukkan kesadaran perempuan sebagai subjek penikmat surga.
Salah satu contohnya adalah ketika Al-Qur’an berbicara tentang bidadari. Para pembaca dan penafsir teks-teks sumber keislaman tidak memasukkan manusia perempuan sebagai subjek yang berhak memperoleh nikmat surga sebagai mana laki-laki. (Qira’ah Mubadalah, 2019: 311)
Padahal, lanjut Kiai Faqih, ulama sepakat bahwa perempuan masuk sebagai subjek untuk ayat-ayat keimanan, amal salih, dan ganjaran surga. Sayangnya, kesadaran ini tidak kentara dalam deskripsi mengenai pelayan, pendamping dan bidadari surga untuk para perempuan mukmin. Salah satu kata dalam Al-Qur’an yang berarti bidadari adalah hur (حور). Berikut beberapa ayat yang berbicara hur (حور) :
مُتَّكِـِٔينَ عَلَىٰ سُرُرٍ مَّصْفُوفَةٍ ۖ وَزَوَّجْنَٰهُم بِحُورٍ عِينٍ
Mereka bersandar di atas singgasana-singgasana yang diatur berbaris, dan kami nikahkan mereka dengan bidadari-bidadari yang bermata jelita. (QS. Ath-Thur [52]: 20)
كَذٰلِكَ وَزَوَّجۡنٰهُمۡ بِحُوۡرٍ عِيۡنٍؕ
Demikianlah (kami memberi balasan) dan kami nikahkan (sandingkan) dengan bidadari-bidadari yang bermata jelita. (QS. Ad-Dukhan [44]: 54)
وَحُوۡرٌ عِيۡنٌۙ
Dan bidadari-bidadari bermata jelita. (QS. Al-Waqi’ah [56]: 22)
Ayat-ayat di atas, kalau kita secara cermati fraa hurun’in/hurin’in adalah balasan dari orang-orang yang bertakwa di dunia, yang takut kepada Allah, dan berbuat kebaikan adalah surga yang penuh kenikmatan, di antaranya ialah dinikahkan dan dilayani oleh bidadari bermata jelita (QS. Ad-Dukhan [44]: 54, QS. Ath-Thur [52]: 20 dan QS. Al-Waqi’ah [56]: 22), yang sopan dan selalu menunduk, dan tidak pernah disentuh seseorang, baik manusia ataupun jin (QS. Ar-Rahman [55]: 57).
Pembacaan Mubadalah
Dari ayat di atas, secara struktur bahasa, ketakwaan yang dimaksud di atas diperuntukkan untuk orang laki-laki, dan karena itu maka balasan bagi mereka adalah bidadari. Jika penggalan pertama (mengenai keimanan dan amal saleh) mencakup perempuan, maka penggalan berikutnya (mengenai balasan surga) juga harus sesuai untuk perempuan.
Sehingga, menurut Kiai Faqih, jika laki-laki mendapatkan bidadari yang jelita, rupawan, dan menyenangkan, maka perempuan juga mendapatkan bidadara yang tampan, menawan, menyenangkan, yang sopan dan selalu menunduk (patuh melayani), dan memang hanya diciptakan untuk mereka yang bertakwa di surga (belum pernah disentuh siapa pun, manusia maupun jin). (Qira’ah Mubadalah, 2019: 319)
Kiai Faqih mengutip beberapa sumber hadis sebagai pendukung dan penjelas bahwa surga itu akan menjadi tempat bagi orang beriman baik perempuan maupun laki-laki, dan mereka memperoleh kenikmatan yang paripurna dalam segala bentuknya.
Abu Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah saw. Bersabda, Allah berfirman, ‘Aku persiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang salih (beriman dan berbuat baik: kenikmatan surga) yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga dan belum juga terlintas dalam hati manusia siapa pun. (Sahih Bukhari no. 3280)
Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi r.a. berkata, ‘Aku mengikuti sebuah pengajian Rasulullah saw., baginda mendeskripsikan surga sampai selesai, kemudian diakhiri dengan pernyataan: ‘Di dalam surga itu, ada (kenikmatan) yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga, dan belum juga terlintas dalam hati manusia siapa pun. (shahih Muslim, no.7313)
Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad SAW., yang bersabda, “Barangsiapa yang masuk surga, maka akan memperoleh kenikmatan yang tiada henti, bajunya tidak akan memburuk, dan (tubuh dan jiwa) mudanya tidak akan pernah memudar. Di surga itu, ada segala (kenikmatan) yang belum pernah dilihat mata, didengar telinga dan belum juga terlintas dalam hati manusia siapa pun”. (Musnad ahmad, no. 9515).
Hadits di atas mengenai nikmat surga tersebut, tentu saja, tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki, melainkan juga perempuan-perempuan yang beriman, bertakwa, dan beramal salih. Sebab secara prinsip, Islam hadir dengan segala ajaran dan janji-janji kepada laki-laki dan perempuan.
Dari penjelasan Kiai Faqih di atas, kita dapat mengambil sebuah benang merah bahwa surga atau pun kenikmatan yang berada di dalamnya tidak hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Kalau laki-laki mendapat bidadari, bukankah perempuan juga akan mendapatkan kenikmatan surga yang sama, bidadara? Tentu saja kepastian deskripsi surga yang seperti apa untuk perempuan kelak di akhirat, itu hanyalah urusan Allah SWT.
Yang jelas, dalam Al-Qur’an baik laki-laki atau pun menyandang predikat yang sama dihadapan Allah yakni hamba. Sebagai hamba, tentu saja tidak bisa hanya dipandang dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama untuk beribadah kepada Allah. Akhirul kalam, semoga kebaikan-kebaikan yang kita lakukan di dunia (laki-laki dan perempuan) mendapatkan balasan yang setimpal diakhirat. Wallahu’alam bish-showab. []