Senin, 8 Desember 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Bencana di Aceh dan

    Dr. Faqih Bongkar Gagalnya Kontrol Agama dan Negara atas Bencana di Aceh dan Sumatera

    Bencana Sumatera

    Ketika Rakyat Membayar Kerusakan, Korporasi Mengambil Untung: Kritik WALHI atas Bencana Berulang di Sumatera

    Bencana di Aceh

    WALHI Desak Evaluasi Total Izin Usaha di Aceh dan Sumatera untuk Hentikan Siklus Bencana

    Bencana di Aceh

    WALHI Tegaskan Banjir dan Longsor di Aceh dan Sumatera adalah Akumulasi Kebijakan Buruk

    Kerusakan Ekologi

    Ini Pola, Bukan Bencana: WALHI Ungkap Akar Kerusakan Ekologi Aceh dan Sumatera

    Energi Bersih

    Dakwah Energi Bersih Umi Hanisah: Perlawanan dari Dayah di Tengah Kerusakan Ekologis Aceh Barat

    Kerusakan Hutan Aceh

    Kesaksian Umi Hanisah atas Kerusakan Hutan Aceh dalam Tadarus Subuh

    Kekerasan Perempuan

    16 HAKTP di Majalengka: Membaca Ulang Akar Kekerasan terhadap Perempuan dari Ruang Domestik dan Publik

    Muliakan Perempuan

    Kampanye 16 HAKTP dengan Mengingat Pesan Nabi Saw: Muliakan Perempuan, Hentikan Kekerasan

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Manusia dan Alam

    Alam Bukan Objek: Nyatanya Manusia dan Alam Saling Menghidupi

    HAKTP

    Praktik HAKTP dalam Jurnalisme Algoritmik

    Teodise

    Di Tengah Bencana, Di Mana Tuhan? Teodise dan Hikmah Kemanusiaan

    Ekoteologi Islam

    Ekoteologi Islam: Membangun Etika Lingkungan di Era Antroposen

    Suara Korban

    Ketika Suara Korban Terkubur oleh Kata ‘Asusila’

    Hukum Perkawinan Beda Agama

    Ketidakpastian Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia

    Seyyed Hossein Nasr

    Jejak Islam Wasathiyah dan Kearifan Seyyed Hossein Nasr di Amerika

    Keadilan Tuhan bagi Disabilitas

    Keadilan Tuhan bagi Disabilitas

    Krisis Iklim

    Krisis Iklim dan Beban yang Tak Setara

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Mimi Monalisa

    Aku, Mama, dan Mimi Monalisa

    Romantika Asmara

    Romantika Asmara dalam Al-Qur’an: Jalan Hidup dan Menjaga Fitrah

    Binatang

    Animal Stories From The Qur’an: Menyelami Bagaimana Al-Qur’an Merayakan Biodiversitas Binatang

    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Bencana di Aceh dan

    Dr. Faqih Bongkar Gagalnya Kontrol Agama dan Negara atas Bencana di Aceh dan Sumatera

    Bencana Sumatera

    Ketika Rakyat Membayar Kerusakan, Korporasi Mengambil Untung: Kritik WALHI atas Bencana Berulang di Sumatera

    Bencana di Aceh

    WALHI Desak Evaluasi Total Izin Usaha di Aceh dan Sumatera untuk Hentikan Siklus Bencana

    Bencana di Aceh

    WALHI Tegaskan Banjir dan Longsor di Aceh dan Sumatera adalah Akumulasi Kebijakan Buruk

    Kerusakan Ekologi

    Ini Pola, Bukan Bencana: WALHI Ungkap Akar Kerusakan Ekologi Aceh dan Sumatera

    Energi Bersih

    Dakwah Energi Bersih Umi Hanisah: Perlawanan dari Dayah di Tengah Kerusakan Ekologis Aceh Barat

    Kerusakan Hutan Aceh

    Kesaksian Umi Hanisah atas Kerusakan Hutan Aceh dalam Tadarus Subuh

    Kekerasan Perempuan

    16 HAKTP di Majalengka: Membaca Ulang Akar Kekerasan terhadap Perempuan dari Ruang Domestik dan Publik

    Muliakan Perempuan

    Kampanye 16 HAKTP dengan Mengingat Pesan Nabi Saw: Muliakan Perempuan, Hentikan Kekerasan

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Manusia dan Alam

    Alam Bukan Objek: Nyatanya Manusia dan Alam Saling Menghidupi

    HAKTP

    Praktik HAKTP dalam Jurnalisme Algoritmik

    Teodise

    Di Tengah Bencana, Di Mana Tuhan? Teodise dan Hikmah Kemanusiaan

    Ekoteologi Islam

    Ekoteologi Islam: Membangun Etika Lingkungan di Era Antroposen

    Suara Korban

    Ketika Suara Korban Terkubur oleh Kata ‘Asusila’

    Hukum Perkawinan Beda Agama

    Ketidakpastian Hukum Perkawinan Beda Agama di Indonesia

    Seyyed Hossein Nasr

    Jejak Islam Wasathiyah dan Kearifan Seyyed Hossein Nasr di Amerika

    Keadilan Tuhan bagi Disabilitas

    Keadilan Tuhan bagi Disabilitas

    Krisis Iklim

    Krisis Iklim dan Beban yang Tak Setara

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Mimi Monalisa

    Aku, Mama, dan Mimi Monalisa

    Romantika Asmara

    Romantika Asmara dalam Al-Qur’an: Jalan Hidup dan Menjaga Fitrah

    Binatang

    Animal Stories From The Qur’an: Menyelami Bagaimana Al-Qur’an Merayakan Biodiversitas Binatang

    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Lampu Sirkus, Luka yang Disembunyikan

Perbudakan modern tidak selalu datang dalam bentuk borgol dan rantai. Kadang ia hadir dalam bentuk tenda megah, lampu sorot, dan tawa penonton.

Ibnu Fikri Ghozali Ibnu Fikri Ghozali
17 Juli 2025
in Publik
0
Sirkus

Sirkus

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kita semua mungkin pernah tertawa saat menonton sirkus. Anak-anak bersorak, orang tua ikut bertepuk tangan. Badut berjalan dengan sepatu besar, pemain sirkus memutar tubuh di udara, atau berdiri di atas punggung gajah. Di balik tenda megah, semua tampak menyenangkan, gemerlap, lucu, menegangkan, dan menghibur.

Tapi belakangan, muncul kabar yang membuat banyak dari kita tercekat. Di balik semua itu, ternyata ada cerita yang sangat jauh dari menyenangkan. Cerita tentang anak-anak yang tak pernah punya pilihan. Tentang kerja paksa, penyiksaan, dan kehidupan yang terampas sejak usia dini.

Kasus dugaan perbudakan modern di Oriental Circus Indonesia (OCI), yang disebut-sebut beroperasi di bawah naungan atau afiliasi dengan Taman Safari Indonesia, membuka luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh. Sejumlah mantan pemain sirkus, sebagian besar kini sudah dewasa akhirnya memberanikan diri bersuara.

Mereka bercerita bagaimana sejak kecil hidup di dalam kompleks sirkus, tanpa KTP, tanpa sekolah, tanpa tahu siapa orang tuanya. Mereka hidup dan bekerja di bawah pengawasan ketat, tanpa upah, dengan ancaman kekerasan setiap hari. Ada yang mengaku disetrum, ada yang dipukul, ada yang terkurung di ruang bawah tanah bila dianggap “melanggar perintah”.

Tak Ada Proses Hukum yang Tuntas

Kesaksian-kesaksian ini bukan isapan jempol. Komnas HAM mengonfirmasi bahwa laporan serupa sudah masuk ke lembaga mereka sejak 1997, kemudian kembali pada 2004, dan yang paling mutakhir di awal 2025. Tapi semua laporan sebelumnya seperti menguap.

Tak ada proses hukum yang tuntas, tak ada pelaku yang benar-benar kita tindak. Kita bertanya-tanya: bagaimana mungkin kasus yang begitu besar dan menyangkut hak asasi manusia ini bisa luput dari perhatian publik selama puluhan tahun? Bisa saja kasus ini kita sebut dengan perbudakan modern.

Menurut definisi International Labour Organization (ILO), perbudakan modern adalah situasi di mana seseorang tidak bisa menolak atau meninggalkan pekerjaan mereka. Alasannya karena ancaman, kekerasan, penipuan, atau penyalahgunaan kekuasaan.

Pada tahun 2022, ILO mencatat ada lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia yang menjadi korban perbudakan modern, dan 12 juta di antaranya adalah anak-anak. Angka itu mencakup banyak sektor: perikanan, rumah tangga, pertambangan, hingga dunia hiburan. Termasuk sirkus. Dan ya, Asia adalah salah satu kawasan dengan angka tertinggi.

Perbudakan dalam Narasi Sejarah

Dalam konteks Indonesia, kita sering kali hanya mengenal perbudakan dalam narasi sejarah: masa penjajahan, kerja paksa zaman kolonial, atau romusha. Tapi kenyataannya, praktik semacam ini belum hilang. Ia berubah bentuk, menjadi lebih halus, tersamar, dan sering kali tersamarkan dalam nama-nama yang terdengar indah: pelatihan, konservasi, warisan budaya, atau seni pertunjukan.

Padahal, jika anak-anak terambil dari keluarganya, tidak mereka beri pendidikan, terpaksa bekerja tanpa upah, hidup tanpa identitas, dan tidak bisa meninggalkan lingkungan kerja karena takut atau terisolasi, maka itu sudah memenuhi semua unsur perbudakan modern.

Bertambah lagi, pengakuan bahwa mereka terkurung dan tersiksa ketika melanggar perintah, menjadikan kasus ini bukan hanya pelanggaran ketenagakerjaan, tapi juga pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Termasuk kemungkinan terjadinya penyiksaan (torture), yang dilarang dalam hukum internasional maupun nasional.

Negara kita seharusnya tidak kekurangan perangkat hukum untuk menindak kasus seperti ini. Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang secara jelas menyebut kerja paksa sebagai bentuk eksploitasi.

Konvensi Hak Anak, yang sudah diratifikasi sejak 1990, mewajibkan negara untuk melindungi anak dari eksploitasi ekonomi dan kekerasan. Pasal 28I UUD 1945 menjamin perlindungan terhadap anak dan hak bebas dari perlakuan yang tidak manusiawi. Tapi mengapa semua perangkat hukum itu terasa tumpul ketika berhadapan dengan nama besar, reputasi “tempat wisata keluarga”, dan dunia hiburan?

Menikmati Hiburan Tanpa Bertanya Asal-usul

Yang lebih mengecewakan lagi, adalah sikap masyarakat. Kita terlalu lama menjadi penonton pasif. Kita menonton pertunjukan sirkus, berfoto dengan badut, bertepuk tangan untuk pemain trapeze, tapi lupa bertanya: siapa mereka? Apakah mereka di sana karena pilihan?

Apakah mereka tahu bahwa di luar sana ada sekolah, ada keluarga, ada kehidupan yang layak? Selama kita terus menikmati hiburan tanpa bertanya dari mana asal-usulnya, kita secara tidak langsung ikut melanggengkan praktik yang mungkin melanggar hak asasi manusia.

Kasus serupa juga pernah terjadi di negara lain. Di India, misalnya, pada 2016 aparat membongkar praktik eksploitasi anak dalam pertunjukan keliling. Anak-anak diambil dari keluarga miskin, dilatih keras, tidak dibayar, dan hidup dalam tekanan. Pemerintah India waktu itu bergerak cepat: menyelamatkan anak-anak, menindak pelaku, dan memberi rehabilitasi.

Di Ghana, sekelompok anak dijadikan musisi jalanan oleh lembaga budaya semu. Begitu terbongkar, negara menutup operasional lembaga itu dan mengembalikan anak-anak ke keluarga mereka. Indonesia seharusnya bisa belajar dari itu: bahwa reputasi lembaga tidak boleh jadi alasan untuk membiarkan kekerasan terjadi.

Perbudakan Modern

Dan yang sering luput dari pemberitaan adalah nasib korban setelah keluar dari sistem ini. Banyak dari mereka tidak punya KTP, tidak punya ijazah, tidak punya akses kerja formal. Mereka terputus dari dunia luar sejak kecil.

Bahkan identitas keluarga mereka pun sering kali hilang. Ini bukan hanya soal menyembuhkan luka fisik, tapi juga soal mengembalikan martabat. Korban butuh pendampingan psikologis, bantuan hukum, rehabilitasi sosial, dan dukungan ekonomi. Mereka butuh pemulihan, bukan hanya belas kasihan.

Negara harus bertindak cepat, tidak hanya memproses laporan, tapi memastikan adanya tim independen untuk menyelidiki, menindak, dan memulihkan. Sementara itu, kita sebagai masyarakat juga harus mengubah cara kita memandang hiburan. Hiburan yang baik tidak lahir dari penderitaan. Kita harus lebih kritis, lebih peduli, dan lebih berani bertanya. Siapa yang bekerja di balik tenda? Siapa yang tersakiti agar kita bisa tertawa?

Perbudakan modern tidak selalu datang dalam bentuk borgol dan rantai. Kadang ia hadir dalam bentuk tenda megah, lampu sorot, dan tawa penonton. Tapi luka yang tertinggal tetap sama dalamnya. Dan selama kita memilih untuk diam, luka itu takkan pernah sembuh. []

Tags: Eksploitasi AnakHak BekerjahamPerbudakan ModernSirkus
Ibnu Fikri Ghozali

Ibnu Fikri Ghozali

Saat ini sedang menempuh pendidikan Pascasarjana di Prince of Songkla University, Thailand.

Terkait Posts

Isu Disabilitas
Publik

Isu Disabilitas dan Pergeseran Paradigma Sosial dan HAM: Dari Belas Kasihan ke Keadilan

8 Oktober 2025
Kopi yang Terlambat
Publik

Jalanan Jogja, Kopi yang Terlambat, dan Kisah Perempuan yang Tersisih

11 Juli 2025
Vasektomi untuk Bansos
Publik

Vasektomi untuk Bansos: Syariat, HAM, Gender hingga Relasi Kuasa

9 Mei 2025
Debat Anak
Publik

Melihat Lebih Dekat Debat Anak dengan Gubernur Jawa Barat

30 April 2025
Hak Asasi Manusia
Hikmah

Maqashid Asy-Syari’ah sebagai Fondasi Hak Asasi Manusia dalam Islam

4 April 2025
Film Bhakshak
Film

Film Bhakshak: Bicara Eksploitasi Anak dan Keberanian Jurnalis

26 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Manusia dan Alam

    Alam Bukan Objek: Nyatanya Manusia dan Alam Saling Menghidupi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Ibadah dalam Bayang Ritualitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Rakyat Membayar Kerusakan, Korporasi Mengambil Untung: Kritik WALHI atas Bencana Berulang di Sumatera

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • WALHI Desak Evaluasi Total Izin Usaha di Aceh dan Sumatera untuk Hentikan Siklus Bencana

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • WALHI Tegaskan Banjir dan Longsor di Aceh dan Sumatera adalah Akumulasi Kebijakan Buruk

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Dr. Faqih Bongkar Gagalnya Kontrol Agama dan Negara atas Bencana di Aceh dan Sumatera
  • Alam Bukan Objek: Nyatanya Manusia dan Alam Saling Menghidupi
  • Ketika Rakyat Membayar Kerusakan, Korporasi Mengambil Untung: Kritik WALHI atas Bencana Berulang di Sumatera
  • Makna Ibadah dalam Bayang Ritualitas
  • WALHI Desak Evaluasi Total Izin Usaha di Aceh dan Sumatera untuk Hentikan Siklus Bencana

Komentar Terbaru

  • Refleksi Hari Pahlawan: Tiga Rahim Penyangga Dunia pada Menolak Gelar Pahlawan: Catatan Hijroatul Maghfiroh atas Dosa Ekologis Soeharto
  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID