• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Melihat Lebih Dekat Debat Anak dengan Gubernur Jawa Barat

Tugas kita sebagai orang dewasa di era digital adalah untuk memastikan, dalam situasi apa pun, anak tidak boleh menjadi sasaran perundungan publik.

Halimatus Sa'dyah Halimatus Sa'dyah
30/04/2025
in Publik
0
Debat Anak

Debat Anak

1.4k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Anak yang saat ini viral karena berdebat dengan Gubernur Jawa Barat yaitu Kang Dedi Mulyadi, cara berpikir anak tersebut boleh kita katakan “salah”. Tanpa berdalih dengan kalimat, “Namanya juga anak-anak”. Remaja tersebut masih anak-anak karena baru lulus SMA.

Meski saat debat anak tersebut terlihat tidak sopan, karena ngeyel dan kritis namun mari melihat sisi lain dari kacamata remaja tersebut sebagai anak. Maka kita akan melihat, justru sisi Kang Dedi-lah sosok yang melanggar prinsip kepemimpinan.

Penyebabnya tentu karena merekam  dan mempublikasikan debat anak dengan Gubernur Jawa Barat tersebut. Terlihat dari sesi musyawarah dan pembicaraan penuh narasi penekanan sehingga berdampak si anak mendapat hujatan di media sosial.

Hak Anak yang Terabaikan

Ketika ada pemilihan politik seperti kepala daerah, isu anak tidak pernah muncul sebagai isu strategis pada sebuah narasi untuk menjadi jargon kampanye. Isu tentang anak  muncul saat seseorang menjadi orang tua, kemudian baru kita anggap penting.

Diskursus tentang anak tidak mendapatkan atensi dan advokasi seperti kita membahas tentang gender atau isu perempuan. Kita terkadang abai dengan suara anak. Tidak melihat permasalahan dari kacamata anak.

Baca Juga:

Film Bhakshak: Bicara Eksploitasi Anak dan Keberanian Jurnalis

Pro Kontra Konten Anak di Media Sosial dalam Perspektif Islam

Mengapa Sulit Memenuhi Hak yang Ramah Anak?

Kesadaran Global tentang Kesehatan Mental Anak Pasca-Pandemi

Pernah kita melihat berita viral, di mana seorang anak menggambar beberapa manusia seolah gantung diri, ternyata maksud anak adalah sekelompok orang sedang senorkling.

Anak-anak memiliki keunikan, anugerah luar biasa dengan segala tingkah lakunya. Kita selalu berpikir bahwa anak tidak tahu sebagaimana dalamnya pengetahuan kita. Anak sering kali sebagai objek untuk kita atur semau kita, tanpa melihat apa yang sebetulnya anak inginkan.

Kita pernah mendapatkan cerita kisah Ismail dan Kan’an, keduanya adalah putra Nabi. Namun tumbuh berbeda dalam kesalehannya. Kita tidak boleh melihat sisi anak dengan cara pandang male dominated, age patriarki, sosial construction. Karena anak bukan biological of human being.

Kalau berbicara feminisme, banyak sekali hal yang bisa kita angkat isunya, para aktivis yang memperjuangkannya pun marak. Namun untuk menyuarakan isu tentang anak, kita sering kali tidak mendapatkan kesempatan tersebut.

Perlindungan Hak Anak

Kita tidak pernah benar-benar menyuarakan suara dan debat anak, karena harus menunggu secara sadar advokasi pada anak. Bentuk dari tidak sadarnya kita adalah memberikan solusi dari kaca mata manusia dewasa. Gerak mereka bahkan kita kontrol dengan dalih sebagai orang tua, Children grooming.

Children is being fundamentally opressed. We never have equel power. Children did not have a vocabulary their own, but shared.

Hak anak untuk mengeluarkan pendapat diatur dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC). Khususnya: Pasal 12 CRC: Menyatakan bahwa anak yang mampu membentuk pandangan sendiri berhak untuk menyatakan pendapatnya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi diri. Dan pendapat anak tersebut harus kita perhatikan sesuai dengan usia dan tingkat kematangannya.

KDM mengatakan “udah mau lulus SMA bukan usia anak-anak”, padahal Menurut Konvensi Hak Anak PBB (CRC, 1989) yang sudah diratifikasi Indonesia melalui Keppres No. 36/1990, anak adalah setiap manusia di bawah usia 18 tahun. Kematangan seseorang tidak kita tentukan hanya dengan usia setelah kelulusan sekolah. Banyak anak muda yang secara umur sudah 18–20 tahun, tapi secara psikologi dan lingkungan, mereka belum mendapatkan fondasi berpikir kritis yang kuat.

Sebagai pemimpin, tugasnya bukan sekadar menilai usia, tetapi membaca kondisi mental dan sosial mereka serta bertindak dengan prinsip perlindungan, bukan penghukuman.

Perlindungan terhadap hak anak untuk berpendapat secara hukum Nasional terjamin dalam beberapa peraturan: Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002).

Selain itu terdapat pada UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) juga bisa kita terapkan pada pelaku yang menyebarkan konten atau ujaran kebencian terhadap anak. Anak-anak berhak mendapatkan perlindungan dari eksploitasi atau penyalahgunaan oleh media.

Eksploitasi Anak di Dunia Digital

Anak memiliki hak hukum yang jelas untuk mengemukakan pendapatnya, dan pendapat tersebut harus kita pertimbangkan sesuai tingkat kematangan anak. Anak yang tereksploitasi di dunia digital karena opininya, miisal saat wawancara kemudian terpublikasikan videonya, atau kita libatkan dalam konten yang memicu perdebatan publik, sangat rentan terhadap dampak negatif.

Perundungan daring (cyberbullying), hujatan netizen, dan tekanan psikologis. Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap hak anak atas perlindungan dan privasi. Meskipun awalnya dilakukan dengan dalih memberikan ruang berpendapat.

Anak mendapatkan dorongan untuk berbicara atau tampil di media sosial demi keuntungan di tema moneter, popularitas, agenda politik, iklan pinjol.  Anak bahkan tidak diberi pemahaman atau persetujuan yang sesuai tentang konsekuensi digital jangka panjang, tidak memiliki kontrol atas bagaimana berpendapat.

Menyebarluaskan video anak jelas melanggar prinsip best interest of the child (kepentingan terbaik anak) sebagaimana aturan dalam Pasal 3 Konvensi Hak Anak. Apalagi dalam konteks di mana si anak akan dihujat, jelas melanggar prinsip ini.

Hujatan netizen bisa menyebabkan trauma, kehilangan kepercayaan diri, bahkan depresi bagi anak yang sedang bertumbuh. Jejak digital sulit terhapus, dan dapat berdampak pada masa depan anak. Rasa bersalah dan bingung jika anak merasa dirinya menjadi pusat konflik atau kontroversi.

Prinsip Kepemimpinan Inklusif

Memfasilitasi anak untuk berpendapat harus kita lakukan dengan tanggung jawab tinggi. Ketika anak menjadi sasaran hujatan akibat pendapatnya di ruang digital, itu adalah indikasi kegagalan orang dewasa dalam melindungi hak dan kesejahteraan anak.

Pemimpin seharusnya mengajak anak berbicara dengan pendekatan yang ramah anak, menghormati martabat anak, dan menjamin bahwa suara anak terdengar dalam pengambilan keputusan. Pemimpin seharusnya memastikan anak, bahwa pendapat mereka bernilai. Tanpa nada menggurui atau merendahkan (tidak patronizing).

Bahasa yang kita pakai selaku orang dewasa pun harus ramah anak, sesuai usia dan pemahaman mereka. Pemimpin harus menciptakan lingkungan aman dan inklusif. Sehingga anak tidak merasa terhakimi, atau diejek karena opininya, karena latar belakangnya, karena gendernya, disabilitas, suku, atau latar belakang ekonominya. Supaya anak terlibat secara aktif, bukan sekadar diskusi secara simbolik dalam sebuah forum kebijakan.

Etika Kepemimpinan

Mengajak debat anak dan berbicara bukan soal merendahkan standar diskusi. Apalagi pejabat publik sekelas Gubernur seharusnya memahami perbedaan ruang koreksi pada wilayah privat dan perihal mana yang pantas diumbar ke publik.

Dalam kasus ini ada prinsip fundamental etika kepemimpinan dan hak asasi manusia yang dilanggar terkait prinsip non-maleficence. Seorang pejabat publik berposisi sebagai figur otoritas, wajib memastikan bahwa tindakannya, tidak boleh merugikan dan membahayakan. Baik kerugian psikologis, sosial, atau reputasional terutama terhadap anak.

Anak tersebut tidak tumbuh di lingkungan ideal, bentuk nyata akan potret anak Indonesia pada umumnya. Mereka tumbuh di tengah nilai yang bias, kebijakan yang berpihak pada kaum kapitalis. Sementara anak-anak adalah produk lingkungan, rentan menjadi lemah dan dilemahkan. Tugas seorang pemimpin adalah memperbaiki lingkungan menjadi lebih baik untuk tumbuh kembang anak, bukan mempermalukannya.

Terlepas akan anggapan ini adalah setingan sebagai konten semata, namun anak tetap anak. Hak perlindungan tetap berlaku. Tugas kita sebagai orang dewasa adalah memastikan, dalam situasi apa pun, anak tidak boleh menjadi sasaran perundungan publik. []

Tags: Eksploitasi AnakHak-hak anakKarakter KepemimpinanKebijakan Digitalkebijakan inklusifKonten AnakKonvensi Hak Anak
Halimatus Sa'dyah

Halimatus Sa'dyah

Penulis adalah  konsultan hukum dan pengurus LPBHNU 2123038506

Terkait Posts

Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Inses

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

17 Mei 2025
Kashmir

Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Pengertian dan Hadits Larangan Melakukan Azl
  • Rahasia Tetap Berpikir Positif Setiap Hari, Meski Dunia Tak Bersahabat
  • KB dalam Hadits
  • Ulama Perempuan sebagai Puser Bumi
  • Menyusui Anak dalam Pandangan Islam

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version