Mubadalah.Id- Ada kontroversi dari para penulis Kisah Cinta Abadi Layla-Qais ini. Siapakah yang lebih dulu mati, Layla atau Qais? Tetapi cerita yang populer menyatakan bahwa Layla lebih dulu meninggal dunia sebelum kemudian dalam bilangan hari, Qais, kekasihnya, menyusulnya. Berikut artikel yang akan memuat kisah Layla Majnun (6) yang akan mengulik kematian Layla.
Kisah Kematian Layla Majnun
Dikisahkan: Musim panas kembali tiba, ranting-ranting pepohonan meneteskan merah darah. Daun-daun berguguran diterjang angin kencang yang membawa panas. Taman-taman bunga tak lagi menebarkan aroma wangi bunga melati, tak lagi merekahkan senyum kegembiraan dari bibir-bibir merahnya. Taman itu menjadi sepi dan sunyi, bagai malam dini hari. Rembulan di langit biru beringsut kembali ke titik bulan hilal lalu lenyap, saat fajar mengintip bumi.
Malam itu Layla diserang demam. Tubuhnya panas. Embusan nafasnya terasa hangat. Tenaganya tak lagi kuat membawa barang meski secangkir berisi teh. Ia hanya bisa beristirahat di tempat tidurnya tanpa bisa ke mana-mana. Ia seperti merasa malaikat Izrail akan segera datang menjemput dirinya.
Ia ingin hanya bersama ibunya dan meminta tak ada orang lain masuk ke kamarnya. Ia ingin mengungkapkan seluruh isi hatinya kepada ibu yang mencintai dan yang dicintainya itu.
Katanya: “Ibuku, lihatlah, cahaya wajahku telah memudar, dan menjadi pucat-pasi, tak lagi bercahaya. Lilin-lilin di mataku tampak muram dan akan segera padam. Duhai Ibuku, aku mohon engkau mendengarkan wasiatku, sebelum aku pulang esok atau lusa; bilamana aku mati, kenakan aku baju pengantin yang paling bagus. Jangan bungkus aku dengan kain kafan.
Carilah kain berwarna merah muda, bagai darah segar seorang syahid (martir). Lalu riaslah wajah dan tubuhku secantik mungkin, bagaikan pengantin yang paling cantik di seluruh bumi. Alis dan bulu mataku ambillah dari debu yang melekat di kaki kekasihku, Qais. Dan jangan usapkan ke tubuhku minyak wangi kesturi atau minyak wangi apa pun. Usapkanlah dengan air mata Qais, kekasihku.
Sang ibu mendengarkannya dengan sepenuh jiwa, sambil matanya mengembang air hangat dan menetes air deras ke pipinya yang sudah layu. Meski berusaha keras agar tak menangis, tetapi tak bisa. Matanya menatap wajah anak perempuan yang sangat dicintainya itu.
Layla masih meneruskan pesannya: “Sesudah aku mengenakan baju pengantin itu dan menjadi sangat cantik dan anggun, aku akan menunggu Qais, sang pengembara yang luka itu datang.”
Usai mengucapkan semua itu, akhirnya Layla menghembuskan nafas terakhirnya. Wajah berbinar-binar, memancarkan cahaya dan dengan senyuman yang paling manis. Ia sangat yakin dirinya akan bertemu Qais dan menjadi pengantin di sampingnya, lalu menyatu dalam cinta tak terbatas.
Qais Menyusul Layla
Manakala Qais mendengar berita kematian kekasihnya itu, ia menjerit keras sekali, suaranya terdengar oleh para Malaikat di langit. Ia meraung-raung untuk waktu yang panjang. Kawan-kawan setianya, para binatang, juga ikut menangis tersedu-sedu. Mereka mengeliling dalam duka nestapa.
Qais pingsan, tak sadarkan diri untuk waktu yang cukup lama. Manakala kemudian siuman, dia bergegas menuju ke pemakaman Layla diiringi kawan-kawan setianya; para binatang itu. Di atas pusara Layla, ia merebahkan tubuhnya, mendekap tanah merah basah yang menggunduk itu, sambil menangis tak henti-hentinya. Teman-teman setia, para hewan itu menunguinya dengan mata yang basah.
Beberapa saat kemudian Qais sadar. Dia duduk menghadap arah wajah Layla, lalu berbicara kepada kekasihnya itu dengan wajah sendu :
كَيْفَ أَنْتِ تَحْتَ اَطْبَاقِ الثَّرَى ؟
وَكَيْفَ أَنْتِ فِى ظُلُمَاتِ الْقَبْرِ ؟
إِذَا غِبْتِ عَنِّى فَشَمَائِلُكِ مَلَآ رُوحِى .
وَإِذَا نَأَيْتِ عَنْ بَصَرِى فَأَنْتِ أَمَامَ عَيْنِ بَصِيرَتِى.
وَلَئِنْ رَحَلْتِ فَأَلَمُكِ فِى النَّفْسِ مُقِيمٌ “
“Duhai belahan jiwaku, duhai jiwaku, duhai cintaku, bagaimana keadaanmu di bawah tumpukan debu ini.
Bagaimana engkau di dalam kegelapan kubur ini.
Meski aku tak lagi bisa memandang wajahmu,
tetapi seluruh jiwamu memenuhi ruhku. Meski engkau jauh dari pandangan mataku, namun aku melihatmu dengan mata jiwaku, mata hatiku.
Dan meski engkau telah pergi, namun lukamu ada dalam jiwaku.”
Sesudah mengatakan itu, Qais diam untuk selama-lamanya. Tubuhnya tak lagi bergerak. Kawan-kawannya mencoba menggerak-gerakkan, tapi Qais yang mereka cintai itu diam membisu. Mereka serentak menangis dengan bahasa mereka masing-masing. Qais al-Majnun itu pulang menyusul Layla, belahan jiwanya dengan membawa cintanya yang abadi kepada Layla.
(Bersambung)