Mubadalah.id – Hari ini menginjak hari keempat kehidupan setelah life after graduated. Jujur, rasanya sangat melegakan sekali setelah setahun terakhir berkutat dengan banyak kesibukan skripsi. Bagiku, masa-masa saat ini menjadi masa yang krusial. Sebab, life after graduated bertepatan dengan quarter life crisis. Sehingga, aku ngga betul-betul menikmati masa ini selain dengan menyusun ulang apa rencanaku selanjutnya.
Melihat teman-temanku yang satu persatu mulai berkarir dan melanjutkan pendidikan pasca sarjana membuatku sedikit galau untuk menentukan jalan hidup. Kalau ku pilih asal-asalan, takut nantinya aku ada di jalan yang salah. Kalau terlalu lama memutuskan, lebih takut lagi akan tertinggal. Jadi, harus bagaimana?
Dosen Pembimbing: Jangan Tidak Menikah!
Empat hari yang lalu, aku baru menjalani ujian komprehensif. Alhamdulillah seluruhnya berjalan sesuai dengan ekspektasiku. Ngga kutemukan kalimat “terbantai dosen penguji” karena aku betul-betul menyiapkan tugas akhirku secara matang. Sehingga, seluruh pertanyaan dapat aku jawab dengan mudah atas izin Allah. Sesaat sebelum meninggalkan ruang ujian, dosen pembimbing menanyakan apa rencanaku selanjutnya?
Aku berpikir sejenak, tepat dihadapanku ada dua profesor yang menguji tugas akhirku (dan dosen pembimbing yang mungkin saat ini sedang menuju profesor). Aku menjawab dengan percaya diri bahwa aku akan melanjutkan sekolah. Wajah beliau-beliau tersirat sumringah, begitu pula aku. Sempat beliau mendoakan aku agar rencana studi pasca sarjanaku berjalan lancar.
Terlebih lagi, beliau-beliau juga merekomendasikan aku untuk mengikuti beberapa beasiswa luar negeri yang bisa aku ikuti. Jujur aku senang sekali, rencana studiku disambut dengan baik oleh beliau-beliau, bahkan beliau-beliau juga berkenan membantuku jika aku membutuhkan bantuan mereka dalam perjalananku menyiapkan studi.
“Mbak Lala ada rencana menikah?” tanya seorang profesor laki-laki yang menjadi dosen penguji pertamaku. Aku sedikit terhentak kaget—karena ngga ku sangka pertanyaan itu akan muncul di ruang ujian. “Oh, tidak prof! Saya tidak akan menikah…” jawabku spontan.
Sontak jawabanku ditanggapi oleh dosen pembimbing perempuanku, “Loh, ya jangan bilang begitu! Bukan tidak menikah, tapi masih belum. Jangan sampe ngga menikah…” jawabnya dengan nada serius. Jujur, ini menjadi hal yang lucu, padahal aku berniat menjawab tidak akan menikah dalam waktu dekat. Tapi, ya sudahlah, aku menghargai bentuk kepedulian mereka.
Lagi-lagi, Kapan Menikah?
Dua hari setelahnya, Ibu bercerita. Bahwa saat Ibu bertemu dengan guru ngajinya—dulu sewaktu kecil, beliau menanyakan keberadaanku. Saat itu beliau bilang kenapa aku jarang terlihat? Katanya aku pendiam dan ngga banyak bersosialisasi. Yang lebih membuatku tertawa, Ibu bercerita bahwa beliau menanyakan kapan aku menikah?
Tentu Ibu masih menjawab sesuai permintaanku—bahwa siapa saja yang menanyakan kapan aku menikah ke Ibu, jawab saja masih lama dan aku masih ingin pergi ke sekolah. Namun, respon yang diterima sungguh sangat membuat kami bingung. Dengan mudahnya, beliau bilang “Kalau nanti ada laki-laki yang minta anakmu, segara dikasihkan. Biar segera dinikahkan dan nggak lama-lama melajang. Biar seumur hidup bisa jadi Ibadah,”
Saat mendengarkan cerita dari Ibu, kami berdua tertawa. Aku mencerna kata-katanya lagi, kenapa beliau jadi sibuk memberi advice kepadaku buat segera menikah? Saat ku ingat-ingat bagaimana anak-anak dari guru ngaji Ibuku, mereka memang menikah dalam kondisi yang masih muda—bahkan ada yang masih remaja.
Beberapa orang yang mengetahui bahwa aku baru saja menyelesaikan pendidikan sarjana, pertanyaan-pertanyaan kapan menikah? Kapan ibu mantu? Dan pacarku siapa? Jadi fase baru yang kuhadapi.
Sebetulnya aku santai aja menjawab pertanyaan mereka bahwa aku ngga akan menikah dalam waktu dekat dan masih ingin pergi ke sekolah. Namun, respon yang kuterima lebih banyak yang menyebalkan. Poin utama yang kudapatkan dari respon mereka adalah jangan sampai aku terlalu menghabiskan waktu hanya untuk sekolah atau jangan terlalu tinggi pendidikannya daripada calon suamiku nanti.
Ku maklumi bahwa mereka adalah masyarakat dengan kebiasaan menikahkan anak saat sudah memasuki awal dewasa. Sehingga yang kulakukan hanya mengangguk-angguk kepala aja untuk menyudahi dialog yang kurasa hanya membuang waktu.
Tolong, Aku Baru Saja Memulai Hidup!
Usia kepala dua sering membuatku pusing. Apalagi jika aku terlalu larut dalam konstruksi sosial—lebih tepatnya, konstruksi yang mendorong orang buru-buru menikah. Rasanya, pernikahan belum menjadi kebutuhan hidupku saat ini.
Masih banyak hal yang ingin kukejar: pendidikan yang perlu kutingkatkan, karier yang ingin kubangun, dan dunia yang menunggu untuk dijelajahi. Lagi pula, lingkungan sekitarku memang kerap memaknai hidup perempuan seakan lebih bermakna jika sudah menikah.
Tapi bagiku, itu adalah nilai yang biarlah menjadi milik mereka. Pengalaman pahit dan traumatis dalam membangun relasi sebelumnya telah membuatku kehilangan banyak kepercayaan terhadap laki-laki. Sejujurnya, itu terasa sangat menjijikkan jika boleh aku katakan.
Lagi pula, aku baru saja memulai hidup. Aku baru menikmati life after graduated dan menata karir. Ya, wajarlah kalau aku belum ada minat untuk menikah. Belum siap secara mental, fisik, dan finansial, jadi kenapa harus cepat-cepat? Waw, aku ngga lagi berlomba-lomba dengan yang lain. Sebagai penganut fastabiqul khairat, ya gapapa kan kalau aku lebih memilih sekolah?
Bagiku nilai ma’ruf untuk melanjutkan pendidikan lebih urgent daripada menikah. Kembali lagi ke pertanyaan, apa tujuan menikah? Kalau untuk beribadah, setiap hari aku juga beribadah (ngga menikah pun bukan berarti ibadahku hanya bernilai setengah karena kalimat “menikah dapat menyempurnakan separuh agama”. Ingat, ketika menikah dengan orang yang benar-benar tepat, maka itu berlaku. Jika dengan orang yang salah? Wallahu a’lam).
Kalau menikah hanya agar aku bisa mendapatkan uang secara gratis, menurutku itu ngga make sense. Aku perempuan yang mandiri dan berdaya. Sejak sebelum kuliah aku sudah bisa menghasilkan pendapatanku sendiri, membeli seluruh kebutuhanku sendiri, dan aku ngga pernah meminta-minta ke orang tua, teman atau saudara untuk membelikan sesuatu. Jadi, kalau hanya untuk mendapatkan uang secara gratis, aku sudah cukup menghasilkan uang dengan tanganku sendiri. Jadi, ya buat apa?
Refleksiku
Kadang aku jadi mikir, mengapa urusan hidup perempuan sering sekali menjadi urusan orang banyak? Seolah-olah, perempuan lahir hanya untuk menjadi istri seseorang secepat mungkin, tanpa sempat memerdekakan diri dan mengenal potensi yang dia punya.
Padahal, setiap orang memiliki garis start dan prioritas yang berbeda. Ada yang memutuskan menikah muda dan bahagia menjalaninya, ada yang menunda menikah karena ingin menuntaskan mimpi pribadi, ada juga yang mungkin memilih tidak menikah sama sekali.
Kenapa kita harus menyamakan semua pilihan itu seakan-akan hanya ada satu cara yang paling benar menjadi perempuan?
Hari-hari saat life after graduated ini bagiku seperti memasuki babak baru, banyak yang seharusnya ngga relevan malah muncul bergantian. Jika dulu orang bertanya “kapan lulus?”, sekarang berubah menjadi “kapan nikah?”. Nanti kalau aku menikah, barangkali akan ditanya lagi “kapan punya anak?”
Lalu setelah punya anak, “kapan nambah anak?” Siklus pertanyaan yang ngga akan pernah selesai, padahal setiap fase hidup semestinya cukup dijalani dengan kesadaran penuh, bukan atas dorongan penilaian orang lain.
Aku jadi sering ngelamun, sebetulnya ukuran keberhasilan hidup itu apa? Kalau kata orang-orang (terutama society di sekitarku), menikah muda itu hebat karena “sudah laku” lebih cepat. Sementara berlama-lama kuliah hanya mereka anggap sebagai bentuk membuang-buang waktu.
Tapi, kalo aku boleh jujur, ngga semua perempuan merasa terpanggil untuk segera menjadi istri, apalagi ketika masih ingin bertumbuh, belajar, dan memperluas cakrawala.
Bagiku saat ini, berpendidikan dan bekerja bukan sekadar aktivitas untuk mengisi waktu sebelum menikah. Keduanya adalah cara untuk memerdekakan diri secara ilmu, pengalaman, dan kemandirian finansial.
Kalau suatu saat aku menikah, aku ingin itu adalah keputusan sadar, bukan pelarian dari rasa takut sendirian, bukan sekadar formalitas agar dinilai “lengkap” sebagai perempuan dewasa. Aku ingin menikah ketika aku sudah tahu persis alasan kenapa aku memilih seseorang menjadi teman hidupku, bukan karena ingin membuktikan sesuatu pada orang lain.
Karena itu, kalau ada yang bertanya sekarang mana yang lebih penting: berpendidikan, berkarir, atau menikah? Bagiku ngga ada jawaban yang absolut. Semua itu punya porsi yang bisa beda-beda di tiap fase hidup seseorang terutama perempuan.
Jadi, tolong… aku baru saja memulai hidup! []