Mubadalah.id – Mungkin kita pernah mendengar kalimat ini “aku berpikir, maka aku ada”, bagi mereka yang menganut konsumerisme. Dikutip dari master Tim Garuda Eduka Tahun 2019, pengertian konsumerisme adalah paham yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan proses konsumsi atau pemakaian barang-barang hasil produksi secara berlebihan. Sehingga penting untuk membincang lingkungan berkelanjutan, dan bagaimana gerakan minimalis perempuan memiliki peran yang signifikan.
Karena secara tidak sadar konsumerisme menjadikan manusia sebagai pecandu dari suatu produk, sehingga ketergantungan tersebut tidak mudah untuk dihilangkan. Beragam produk menarik yang ditawarkan, kemudahan memilih barang dan bertransaksi, sampai pengiriman dalam waktu cepat, menjadikan perilaku gila belanja semakin menjadi-jadi. Maka menjadi tantangan tersendiri untuk menggerakan lingkungan berkelanjutan.
Berbelanja barang baru telah menjadi gaya hidup baru. Ditambah dengan semakin mudahnya orang memperoleh fasilitas kartu kredit, tanpa sadar akhirnya banyak pula yang terjebak pada tumpukan utang karena tidak sanggup membayar cicilan.
Fenomena ini merupakan salah satu cara atau trik yang digunakan kapitalis dengan memanfaatkan pola hidup masyarakat untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Tidak jarang ada orang yang membeli sesuatu bukan karena butuh, tapi sekadar mengejar gengsi dan gaya hidup mewah.
Objek utama kaum kapitalis dalam hal ini adalah perempuan yang menurut mereka memiliki hasrat beli lebih tinggi dibanding laki-laki. Bahkan menurut survey di Inggris, setiap enam puluh detik seorang perempuan memikirkan tentang produk fashion.
Atas dasar tersebut, rasanya kaum kapitalis sudah memiliki cukup alasan untuk memanfaatkan perempuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dominasi kapitalis dengan media shopping catalogue berkaitan erat dengan simbolik eksploitasi terhadap perempuan. Sehingga sudah saatnya gerakan minimalis perempuan mengambil peran.
Konsumerisme saat ini menjadi salah satu perwujudan berkembangnya teknologi. Menurut teori Baudrillard, kini logika konsumsi masyarakat bukan lagi berdasarkan use value melainkan hadir nilai baru yang disebut “symbolic value”. Maksudnya, orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan nilai tukar atau nilai guna, melainkan karena nilai simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi.
Hal ini disebabkan karena beberapa bagian dari tawaran iklan justru menafikan kebutuhan konsumen akan keunggulan produk, melainkan dengan menyerang rasa sombong tersembunyi dalam diri manusia, produk ditawarkan sebagai simbol prestise & gaya hidup mewah yang menumbuhkan rasa bangga yang klise dalam diri pemakainya. Bahkan semboyannya adalah “Aku belanja, maka aku ada”. Sikap ini tercermin dengan berbagai hal yang melekat dalam diri perempuan. Makanan dan fashion menjadi hal yang menarik bagi sebagian perempuan di era sekarang ini.
Membeli perlengkapan demi kepentingan fashion tak ubahnya membeli kebutuhan yang dikonsumsi sehari- hari. Tapi faktanya, masih banyak baju, sepatu dan tas yang masih bisa digunakan. Namun, pengaruh iklan membuat beberapa orang mudah membangun kesadaran untuk membelinya meskipun itu bukan barang pokok untuk di gunakan. Tren Fashion terbaru, diskon layanan belanja online turut menyumbang perilaku konsumtif masyarakat, terlebih bagi kaum perempuan. Namun perempuan sering mendapat stigma dengan adanya tren fasion itu, untuk mengikuti segala tren agar terlihat cantik, gaul dan fashionable.
Bukan persoalan fashion saja, makanan juga menjadi daya tarik sebagai gaya hidup. Makanan dengan merek ternama misalnya. Menjadi posisi teratas yang dianggap lebih kekinian, mewah dan mahal. Pilihan makanan juga menjadi status kelas bagi pembelinya. Bagi mereka yang makan makanan bermerek dan mewah digolongkan sebagai masyarakat kelas atas.
Fenomena lain yang sering kita lihat, beberapa orang lebih percaya diri memposting makanan mewah dan bermerek di cafe atau restoran, dibandingkan dengan makanan di warung di pinggir jalan. Dari hal itu tidak semua tubuh manusia bisa dan menerima makanan semacam junk food( makanan cepat saji). Mungkin saja tubuh kita lebih menyukai makan nasi, sayur kankung di lengkapi dengan tempe dan tahu. Namun kesadaran palsu yang dibangun demi setatus sosial membuat kita mengada- ngadakan sesuatu yang tidak perlu ada.
Erich Fromm yang merupakan seorang psikologi sosial, sosiologi, humanisme, berkebangsaan Jerman mengomentari fenomena tersebut dengan menyebutnya sebagai, “keterasingan diri pada manusia modern”. Gaya hidup seolah menjadi kebutuhan utama untuk seseorang mengikuti trend zaman. Fenomena ini seharusnya menjadi refleksi bersama sebagai perempuan yang memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, agar bagaimana gerakan minimalis perempuan dapat menemukan momentumnya.
Seni hidup minimalis menjadi solusi bagi lingkungan berkelanjutan untuk dilakukan sebagai cara mengurangi potensi ketidakbergunaan benda yang kita gunakan. Hidup sederhana dengan mengurangi hal-hal konsumtif yang bisa memberikan banyak manfaat untuk kita menjadi hidup lebih hemat, lebih mulai bersyukur pada yang kita miliki, lebih fokus pada hal-hal yang kita perintahkan, sehingga hidup menjadi lebih tenang dan tertata.
Gerakan minimalis perempuan memaksa kita merenung sebelum berkeinginan. Kita dilatih untuk menimbang berkali-kali sebelum mendata daftar belanjaan, atau memilih barang yang perlu dan tidak perlu dimiliki sekalipun gratisan. Kita terlatih memilih seminar atau kelas-kelas online mana yang perlu kita ikuti. Mau tak mau, hasrat akan sedikit demi sedikit terfilter.
Pola pikir dan gaya hidup dalam gerakan minimalis perempuan yang sebenarnya, adalah hidup yang penuh dengan kesadaran. Kesadaran akan kebutuhan yang benar-benar kita pesan, semisal kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan. Ketika kesadaran itu kita miliki, maka kesederhanaan dan aspek lainnya juga pasti akan tertanam dengan sendirinya.
Islam tidak membatasi kepemilikan, tapi ajaran agama ini menganjurkan hidup secukupnya. Yang terpenting kemudian adalah, gerakan minimalis perempuan akan membuat kita lebih menjaga keberlanjutan lingkungan, dan berbagi bumi dengan makhluk lain. Kesadaran semacam ini perlu kita rawat dan praktikkan.
Jangan sampai kehilangan diri dan kesadaran kita hanya karena trend dan mode. Bahkan da,pak perilaku konsumtif yang menimbulkan masalah lingkungan, sering kali terjadi akibat meningkatnya pola konsumsi masyarakat, baik itu terhadap makanan, pakaian, dan barang-barang lainnya. []