• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Mahasantriwa SUPI ISIF Belajar Keberagaman bersama Masyarakat Adat Sunda Wiwitan Cigugur

Aku menjadi sangat bangga kepada Penghayat Sunda Wiwitan. Mereka berhasil merangkul semua agama dengan penuh kasih sayang.

Fachrul Misbahudin Fachrul Misbahudin
29/12/2023
in Personal
0
Sunda Wiwitan

Sunda Wiwitan

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Belum lama ini, tepat pada hari Senin, 11 Desember 2023, teman-teman Mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) semester satu melakukan studi lapangan ke Sunda Wiwitan Cigugur Kuningan.

Studi lapangan yang diampu oleh Ibu Dosen Alifatul Arifiati itu diharapkan agar para mahasantriwa SUPI bisa membuka pemikiran, pengalaman dan pengetahuan mereka tentang bahwa ada loh masyarakat yang di dekat kita yang menganut sebuah kepercayaan.

Tentu saja, bagi sebagian besar para mahasantriwa SUPI yang pertama kali diajak ke sana, ia merasakan banyak hal baru. Terlebih dalam sebuah praktik keagamaan, tenyata ada juga yang menjadi penghayat Sunda Wiwitan.

Salah satu mahasantriwa SUPI yang aku temui dan diajak untuk ngobrol tentang pengalaman mereka saat studi lapangan di Sunda Wiwitan adalah Miranti.

Baru Mengetahui Ada Penghayat Sunda Wiwitan

Miranti merupakan mahasantriwa SUPI yang berasal dari Garut. Selama di Garut, ia sama sekali tidak mengetahui bahwa, selain enam agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu, ternyata ada juga yang menganut sebuah kepercayaan. Salah satunya adalah Penghayat Sunda Wiwitan.

Baca Juga:

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

Belajar dari Khansa binti Khidam Ra: Perempuan yang Dipaksa Menikah Berhak untuk Membatalkannya

Belajar dari Kehidupan Rumah Tangga Nabi: Menyelesaikan Konflik Tanpa Kekerasan

Bagaimana Sikap Masyarakat Jika Terjadi KDRT?

Bahkan sebelum berangkat untuk melakukan studi lapangan, Miranti terlebih dahulu mencari tahu apa itu Sunda Wiwitan. Ia baca-baca di Google. Sampai ia menemukan bahwa Sunda Wiwitan seperti yang ia kutip dari NU Online.

“Penghayat Sunda Wiwitan Cigugur merupakan kepercayaan lokal yang ajarannya mengikuti nilai-nilai tradisi leluhur. Jejak sejarah Sunda Wiwitan hingga saat ini, dapat dilihat melalui situs cagar budaya Paseban Tri Panca Tunggal yang telah ada sejak tahun 1840 dan hingga sekarang masih digunakan untuk kegiatan masyarakat adat.”

Dengan munculnya penjelasan tersebut, membuat Miranti agak sedikit takut, karena ada kata bahwa penghayat Sunda Wiwitan adalah kepercayaan lokak yang mengikuti ajaran dari tradisi para leluhur.

“Ini gimana sih, apa benar mereka itu sesat? Karena mereka masih mengikuti kepercayaan lokal, apalagi masih mengikuti tradisi para leluhur,” pikirnya.

Bahkan soal Sunda Wiwitan ini menganut kepecayaan juga sebelumnya sudah dijelaskan oleh Ibu Alif. Beliau menyampaikan, bahwa Sunda Wiwitan adalah penghayat. Karena penghayat, ia bukan agama seperti enam agama yang diakui pemerintah.

Dengan pengetahuan yang belum utuh itu, tentu saja membuat pikiran dan hati Miranti merasa takut yang cukup mendalam. “Duhh ini gimana, aku takut pulang dari sana, aku malah keluar dari Islam. Nanti bagaimana kata mamah dan bapakku nanti.”

Namun, karena ini tugas studi lapangan, Miranti mengaku mulai mengelola hati dan pikirannya agar tetap tenang. Sesampai di tempat Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan, Miranti dan teman-teman SUPI lainnya disambut hangat oleh Rama Anom Pangeran Gumirat Barna Alam (putra Pangeran Jatikusuma).

Setalah mendapatkan sambutan hangat dari Rama Anom, selanjutnya mereka dipersilahkan untuk masuk di ruangan Paseban Tri Panca Tunggal.

Ramah dan Baik

Dengan sikap yang ramah dan khas sekali orang Sunda membuat Miranti tiba-tiba menjadi tenang dan damai. Lho, ternyata mereka baik dan tidak semenakut yang ia pikirkan. Miranti merasa malu sendiri, karena sepanjang perjalanan ia selalu berpikiran buruk kepada penghayat Sunda Wiwitan.

Hingga akhirnya semua stigma negatif kepada penghayat Sunda Wiwitan ini runtuh. Karena yang muncul adalah jiwa Miranti merasa tenang, adem dan bahagia aja melihatnya.

Dari sini juga membuat Miranti menjadi belajar bahwa dalam kehidupan ini, tidak boleh langsung memberikan stigma buruk kepada orang lain. Karena pikiran buruk ini memang sering kali muncul karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman kita pada keyakinan orang lain.

Oleh sebab itu, bagi saya hal seperti inilah yang mestinya kita buang jauh-jauh dalam kehidupan kita. Karena dalam Islam, kita dilarang untuk berburuk sangka kepada orang-orang yang belum kita kenal.

Termasuk pada agama maupun kepercayaan tertentu sekalipun, jangan pernah melabeli mereka dengan stigma yang buruk. Karena bisa jadi agama atau kepercayaan yang mereka anut bisa lebih baik dari kita. Bahkan bisa jadi juga ajaran mereka juga bisa lebih baik dengan kita.

Maka dalam hal ini, penting sekali untuk kita ingat, bahwa sebagai muslim penting untuk selalu berbaik sangka kepada siapapun, termasuk kepada mereka yang berbeda agama atau kepercayaan sekalipun.

Ilmu Baru

Kembali pada kisah Miranti, dalam pertemuannya dengan Rama Anom, ia mendapatkan banyak sekali ilmu dan pengetahuan baru.

Misalnya, Miranti menceritakan bahwa Sunda Wiwitan adalah ajaran agama dengan unsur monoteisme purba, yang memiliki konsep kepercayaan tertinggi terhadap Sang Pencipta Yang Maha Kuasa yang tak berwujud dan mereka sebut “Sang Hyang Kersa” yang setara dengan “Tuhan Yang Maha Esa” di dalam ideologi Pancasila.

Dalam ajaran Sunda Wiwitan, Miranti juga menyampaikan bahwa ini adalah sebuah kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur yang bersatu dengan alam, yang dianut oleh masyarakat asli suku Sunda. Bahkan kepercayaan ini sudah ada sejak sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.

Adapun kitab yang penghayat Sunda Wiwitaan pakai adalah kitab Sanghyang Siksa Kandang Karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti.

Dari situ lah, membuat Miranti menjadi lebih paham dan mengetahui lebih mendalam bahwa Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang ada di Indonesia jauh sebelum Islam dan Hindu. Artinya mereka merupakan penduduk asli Nusantara. Karena keberadaan mereka sangat lebih tua dari kita semua.

Oleh sebab itu, Islam sebagai agama pendatang, saya kira tidak patut untuk menghakimi mereka sebagai kepercayaan yang sesat. Apalagi sampai mengusir mereka dari tanah kelahirannya. Kita harus sadar diri kita sebagai umat Islam adalah agama yang baru dan pendatang di bumi Nusantara ini.

Sehingga yang harus kita lakukan dengan para penghayat Sunda Wiwitan adalah kita harus terus menghormati, melindungi dan menjaga mereka dari berbagai penyerangan, penggusuran dan lain sebagainya.

Paseban Tri Panca Tunggal: Wadah Keberagaman

Sementara itu, saat kami melakukan dialog di dalam Paseban Tri Panca Tunggal, Rama Anom menceritakan bahwa Peseban ini menjadi tempat untuk semua agama. Mereka dibolehkan untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaannya di Paseban ini.

Misalnya, dalam penuturannya, Rama Anom menyampaikan bahwa Paseban ini pernah menjadi tempat untuk perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw, Muharaman, Rajaban, Nyepi, Perayaan Natal, dan beberapa kegiatan keberagaman lainnya.

Bahkan Ibu Nyai Sinta Nuriyah Wahid (Istri Gus Dur) juga dulu sering berkunjung dan mengisi acara lintas agama di ruangan Paseban Tri Panca Tunggal ini.

Dengan mendengarkan cerita yang Rama Anom sampaikan, membuat Miranti semakin kagum dan terharu kepada mereka Penghayat Sunda Wiwitan. Kok bisa ya mereka merangkul semua agama dengan penuh suka cita. Bahkan mereka menyediakan tempat sendiri untuk semua agama dalam merayakan hari besarnya.

Aku menjadi sangat bangga kepada Penghayat Sunda Wiwitan. Mereka berhasil merangkul semua agama dengan penuh kasih sayang. Bahkan mereka bisa membuat wajah mini Indonesia, yaitu bagaimana dengan semua perbedaan ini kita harus tetap satu. []

Tags: adatbelajarCigugurisifkeberagamanMahasantriwa SUPImasyarakatSunda Wiwitan
Fachrul Misbahudin

Fachrul Misbahudin

Lebih banyak mendengar, menulis dan membaca.

Terkait Posts

Vasektomi

Vasektomi, Gender, dan Otonomi Tubuh: Siapa yang Bertanggung Jawab atas Kelahiran?

2 Juli 2025
Narasi Pernikahan

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Second Choice

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

30 Juni 2025
Tradisi Ngamplop

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

29 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Marital Rape

    Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID