• Login
  • Register
Kamis, 3 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Pernak-pernik

Maknai Isra Mi’raj dalam Bingkai Toleransi

Dari sikap-sikap yang diajarkan Rasulullah tersebut, mari kita maknai Isra’ Mi’raj dalam bingkai toleransi dengan semangat memberikan kemudahan kepada siapapun

Yulinar Aini Rahmah Yulinar Aini Rahmah
07/11/2022
in Pernak-pernik, Rekomendasi
0
Maknai Isra Mi’raj dalam Bingkai Toleransi

Maknai Isra Mi’raj dalam Bingkai Toleransi

216
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Isra Mi’raj sebagaimana masyhur di kalangan umat Islam merupakan peristiwa bersejarah diperintahkannya shalat. Sebab nilainya yang bersejarah, Isra Mi’raj selalu diperingati setiap tahun oleh umat Islam. Dalam setiap momentum peringatan Isra Mi’raj, para tokoh ulama selalu mengajak umat Islam untuk merefleksikan nilai keteladanan dalam peristiwa Isra’ Mi’raj sebagai nilai luhur yang sesuai dengan situasi zaman. Artikel ini akan membahas maknai Isra Mi’raj dalam bingkai toleransi.

Yang menarik dari peringatan Isra Mi’raj adalah rentetan peristiwa-peristiwa yang bersumber dari hadis-hadis dan dinarasikan secara apik oleh para mubaligh. Rentetan peristiwa tersebut diantaranya meninggalnya paman dan isteri Rasulullah, diperlihatkannya Rasulullah terhadap situasi surga neraka, pertemuan Rasulullah dengan nabi-nabi terdahulu dan lain sebagainya.

Dari peristiwa Isra Mi’raj tersebut, pertemuan Rasulullah dengan Nabi Musa menjadi salah satu yang menarik. Pertemuan ini digambarkan sebagai proses negosiasi yang selanjutnya menghasilkan keputusan 5 waktu shalat.

Proses negoisasi merupakan salah satu strategi untuk menyelesaikan berbagai kepentingan atau setidaknya dua kepentingan yang berbeda. Tujuan dari penyelesaian ini adalah terciptanya harmonisasi atau rasa nyaman dari berbagai pihak. Rasa nyaman inilah yang akan mengantarkan pada kedamaian. Untuk menuju suasana yang damai, diperlukan adanya sikap toleran.

Dalam definisi yang diungkap oleh Buya Husein Muhammad, makna toleran adalah saling menghargai eksistensi yang lain sekaligus saling menyambut, menyediakan tempat dan memudahkan yang lain (mubadalah.id). Toleran setara dengan kata samahah dalam bahasa arab yang arti dasarnya adalah mudah, membuat orang mudah, nyaman (fahmina.or.id). Dengan begitu, memudahkan yang lain menjadi salah satu syarat yang perlu digarisbawahi sebagai syarat menumbuhkan sikap toleran.

Baca Juga:

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

Asma’ binti Abu Bakar Ra : Perempuan Tangguh di Balik Kesuksesan Hijrah Nabi Muhammad SAW

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

Saat Menyelesaikan Masalah dengan Sang Istri, Nabi Muhammad Saw Memilih Negosiasi

Lebih lanjut dalam keterangannya tersebut, Buya Husein menunjukkan dasar kuat dari Rasulullah dalam semangat memerintahkan untuk memberikan kemudahan bagi yang lain. Hal ini sebisa mungkin dipraktikkan Rasulullah dalam segala aspek kehidupan. Dalam peristiwa Isra Mi’raj salah satunya.

Dikisahkan dalam hadits:

قَالَ ابْنُ حَزْمٍ وَأَنَسٌ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ اللَّهُ عَلَى أُمَّتِي خَمْسِينَ صَلاَةً ، فَرَجَعْتُ بِذَلِكَ ، حَتَّى آتِيَ عَلَى مُوسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ ، فَقَالَ مُوسَى : مَاذَا افْتَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ ؟ قُلْتُ : فَرَضَ عَلَيَّ خَمْسِينَ صَلاَةً ، قَالَ : فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ ، فَإِنَّ أُمَّتَكَ لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ ، فَرَاجَعْتُ رَبِّي ، فَوَضَعَ عَنِّي شَطْرَهَا ، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى , فَأَخْبَرْتُهُ ، فَقَالَ : ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ ، فَإِنَّ أُمَّتَكَ لاَ تُطِيقُ ذَلِكَ , فَرَاجَعْتُ رَبِّي ، فَقَالَ : هِيَ خَمْسٌ وَهِيَ خَمْسُونَ ، لاَ يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ ، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى ، فَقَالَ : ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ ، فَقُلْتُ : قَدِ اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّي.

Diriwayatkan dari Ibn Hazm dan Anas: Rasulullah bersabda: ” (Dalam Isra Mi’raj) Allah mewajibkan kepadaku 50 shalat sehari semalam. Kemudian aku turun menemui Musa. Lalu dia bertanya: “Apa yang diwajibkan Tuhanmu atas ummatmu?” Aku menjawab: “50 shalat”. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan, karena sesungguhnya umatmu tidak akan mampu mengerjakannya.”

Maka aku-pun kembali kepada Tuhanku seraya berkata: “Wahai Tuhanku, ringankanlah untuk ummatku.” Maka dikurangi dariku 5 shalat. Kemudian aku kembali kepada Musa dan berkata: “Allah mengurangi untukku 5 shalat.” Dia berkata: “Sesungguhnya umatmu tidak akan mampu mengerjakannya, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan.”

Maka aku-pun kembali kepada Tuhanku. Maka Tuhan berfirman: “Wahai Muhammad, sesungguhnya ini adalah 5 waktu yang nilainya sama dengan 50 waktu dan Kalam-Ku tidak dapat berubah lagi.” Kemudian saya turun bertemu dengan Musa. Dia berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”, maka aku-pun berkata: “Sungguh aku telah kembali kepada Tuhanku sampai aku-pun malu kepada-Nya.” (HR. Imam Nasa’i)

Dalam narasi hadis tersebut, terlihat dua praktik sikap toleran yang ditunjukkan Rasulullah. Pertama, sikap toleran dalam menghargai pendapat Nabi Musa yang memberikan masukan kepada Rasulullah. Rasulullah memiliki kedudukan yang tinggi diatas nabi-nabi dan semua makhluk Allah yang lain. Namun hal ini tidak lantas membuat Rasulullah menutup telinga atas masukan yang datang kepadanya.

Kedua, sikap toleran dalam memberikan kemudahan bagi umatnya. Dengan mengupayakan negosiasi dari 50 menjadi 5 waktu merupakan bukti bahwa Rasulullah memiliki sikap toleran yang tinggi terhadap umatnya.

Sebagai hamba yang telah dijamin Allah atas surga, tidak menjadikan Rasulullah semena-mena dengan taklif (beban) yang diberikan Allah. Rasulullah bisa saja mengiyakan perintah shalat 50 waktu tersebut karena bagi Rasulullah, tidak ada ibadah yang berat baginya.

Semua dilakukan  sebagai perwujudan hamba yang bersyukur. Hal ini dijelaskan dalam hadis yang sudah masyhur dari Mughirah bin Syu’bah yang menyatakan bahwa Rasulullah melakukan ibadah hingga tungkak kakinya bengkak.

Namun sekali lagi, ini tidak membuat Rasulullah menetapkan standarnya sebagai standar yang harus dikerjakan orang lain. Rasulullah selalu mengajarkan untuk menetapkan sesuatu sesuai kadar kelompok yang dihadapi dengan semangat memudahkan.

Dari sikap-sikap yang diajarkan Rasulullah tersebut, mari kita maknai Isra Mi’raj dalam bingkai toleransi dengan semangat memberikan kemudahan kepada siapapun. Jangan biarkan jargon “kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah” mengakar dalam diri kita. Percayalah, konsisten mempermudah orang lain akan mengantarkan seseorang menemukan kemudahan-kemudahan bagi diri kita sendiri. []

Tags: Isra mi'rajNabi Muhammad SAWSejarah Nabishalattoleransi
Yulinar Aini Rahmah

Yulinar Aini Rahmah

Terkait Posts

Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Laki-laki dan Perempuan dalam fikih

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

3 Juli 2025
Perceraian untuk

Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

2 Juli 2025
Boys Don’t Cry

Boys Don’t Cry: Membongkar Kesalingan, Menyadari Laki-laki Juga Manusia

2 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Perceraian dalam

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

1 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID