Mubadalah.id – Menurut Laporan IPCC 2022, bila dunia meningkatkan upaya dekarbonisasi dengan ambisius, gas rumah kaca (GRK) yang sudah ada di atmosfer dan tren emisi saat ini membuat dampak perubahan iklim yang signifikan menjadi tidak terhindarkan hingga tahun 2040.
Kesehatan dan kesejahteraan manusia di seluruh dunia pun dalam bahaya. Skenario emisi medium ke tinggi akan menyebabkan 250.000 kematian akibat malnutrisi, malaria, diare, dan tekanan panas (heat stress). Dampak ini kita perkirakan lebih parah di Asia Selatan, Timur, dan Tenggara.
Asia Selatan dan Tenggara merupakan wilayah dengan risiko tertinggi untuk pengurangan asupan zat besi pada wanita usia subur dan balita akibat peningkatan CO2. Di Afrika Selatan, angka kematian balita akibat stunting diproyeksikan meningkat sebesar 20.700 pada 2030.
Di Cina, angka kematian karena peningkatan partikel halus akibat gelombang panas diperkirakan bertambah sebanyak 8.900 pada 2030. IPCC juga memprediksi bahwa perubahan iklim akan mendorong 32-132 juta orang di seluruh dunia ke dalam kemiskinan parah pada tahun 2030. Krisis lain, seperti guncangan harga pangan dan wabah penyakit dapat memperburuk angka tersebut.
Dampak Perubahan Iklim Saat Ini
Kenaikan suhu sebesar 1,1° Celcius telah menyebabkan kerusakan di seluruh penjuru bumi. Berita tentang kekeringan panjang, cuaca ekstrem, dan banjir yang parah pun semakin sering terdengar. Sebenarnya, seberapa parah dampak perubahan iklim saat ini?
Sejak 2008, 20 juta orang di berbagai negara terpaksa mengungsi dari rumahnya akibat badai dan banjir setiap tahun. Sejak 1961, pertumbuhan produktivitas pertanian di Afrika menyusut sebanyak 1/3, mengancam ketahanan pangan dan mata pencaharian penduduk.
Saat ini, setengah dari populasi dunia menghadapi kerawanan air setidaknya selama satu bulan setiap tahun. kebakaran lahan melanda area yang semakin luas sehingga mengubah bentuk landskap di banyak wilayah.
Kenaikan permukaan air laut terus berlanjut. Di Asia, kenaikan permukaan laut akan segera melampaui rata-rata global. Ditambah lagi, risiko badai dan gelombang tinggi akibat siklon tropis semakin meningkat. Negara-negara dengan populasi pesisir terbanyak, yaitu Cina, India, Bangladesh, Indonesia, dan Vietnam adalah yang paling rentan akan kematian akibat bencana. Perubahan iklim pun membuat beragam spesies dalam bahaya dan terancam punah akibat luas hutan yang semakin menyusut.
Memaksimalkan Peran Hutan
Hutan yang lestari memiliki banyak manfaat bagi kita karena dapat memenuhi sekitar 25% dari target pengurangan emisi global pada tahun 2030. Mencegah pandemi di masa depan, karena deforestasi dapat menyebabkan penyakit zoonosis. Serta menyediakan makanan dan mata pencaharian bagi 1,6 miliar orang. Negara harus memiliki peran strategis dalam melestarikan hutan.
Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa delapan anggota G20 termasuk di antara 10 negara dengan hutan terluas, tentunya salah satunya adalah Indonesia. Pada tahun 2021, G20 juga telah mendeklarasikan komitmen untuk menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati pada tahun 2030.
Untuk sepenuhnya menyadari peran hutan sebagai solusi berbasis alam untuk mencegah perubahan iklim, pemulihan pandemi yang tangguh, dan mewujudkan ketahanan pangan. Langkah kongkret apa saja yang perlu di adopsi negara untuk mewujudkan hal tersebut, di antaranya dengan mendorong komitmen hukum untuk meminimalkan deforestasi hutan.
Penguatan Hukum Pemanfaatan dan Perlindungan Hutan
Negara harus mendorong penguatan hukum terkait pemanfaatan dan perlindungan hutan untuk menghentikan deforestasi. Sebagai contoh, Argentina yang telah kehilangan 10% Kawasan hutan Gran Chaco selama 20 tahun terakhir masih berencana memperluas lahan untuk meningkatkan produksi ternak mereka. Keputusan-keputusan seperti ini harus dipikirkan ulang oleh pemerintah agar deforestasi bisa dikurangi.
Selain itu menegaskan kembali target untuk menanam jutaan pohon secara kolektif di setiap daerah. Target restorasi kolektif akan memperkuat upaya global untuk meningkatkan pohon dan hutan sebagai solusi perubahan iklim berbasis alam.
Beberapa negara yang telah melakukan kegiatan restorasi berskala besar, seperti Indonesia yang berkomitmen merestorasi 600.000 hektare hutan mangrove selama 2020-2024. Afrika Selatan menargetkan penanaman 3,6 juta hektare kawasan hutan dan lahan sejak 2017. Serta Tiongkok berencana mewujudkan 30% tutupan hutan pada 2050.
Sistem Pangan yang Selaras dengan Perlindungan Sosial dan Lingkungan
Pentingnya mempromosikan transformasi sistem pangan yang selaras dengan perlindungan sosial dan lingkungan dalam kaitannya dengan ekosistem hutan. Panel Ahli Tingkat Tinggi tentang Ketahanan Pangan dan Gizi pada tahun 2017 menegaskan pentingnya mengaitkan upaya untuk melestarikan hutan dan mewujudkan ketahanan pangan.
Di Indonesia, sebagian masyarakat lokal memanen buah dan ubi jalar dari hutan sebagai sumber makanan alternatif. Lalu mengadopsi sistem agroforestri untuk mengurangi erosi tanah. Sementara itu, inisiatif seperti Food and Land Use Coalition berupaya mendorong transformasi sistem pangan untuk mengatasi tantangan iklim dan kemiskinan di banyak negara termasuk Indonesia.
Tidak kalah penting menjamin hak serta partisipasi masyarakat adat dan lokal dalam ekosistem hutan. Masyarakat adat dan lokal dapat membantu menekan peningkatan perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati. Peran penting mereka dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan, sudah diakui di beberapa platform, seperti Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat.
Perlindungan hak-hak mereka dapat kita lakukan melalui alokasi izin Kawasan hutan untuk konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan, serta penerapan kerangka hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak lingkungan adat.
Di lain sisi, meningkatkan nilai dan permintaan pasar dari hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa hutan bukan kayu. Sebagian besar potensi HHBK masih belum dimanfaatkan, sehingga kontribusinya terhadap pendapatan masih terbatas. Padahal, HHBK merupakan kunci mendukung ketahanan pangan serta mata pencaharian pedesaan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah seperti Indonesia.
Sebuah penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa HHBK menyumbang 53% pendapatan masyarakat di sekitar hutan. Oleh karena itu, pemerintah dapat mempromosikan beberapa langkah bersama untuk meningkatkan rantai nilai HHBK dan permintaan pasar. Selain itu juga menerapkan mekanisme pemanenan produk secara berkelanjutan untuk menghindari eksploitasi yang berlebihan.
Komitmen G20 terhadap Konservasi dan Restorasi Hutan
Terakhir adalah dengan menetapkan kebijakan kredit karbon berbasis alam yang menjunjung tinggi perlindungan lingkungan dan sosial. Indonesia dengan potensi kredit berbasis alam dari hutan yang besar tentunya dapat menggunakan kredit berbasis alam untuk pengimbangan karbon.
Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan kredit berbasis alam berkualitas tinggi, kita perlu membuat beberapa kebijakan yang mendorong terciptanya kredit karbon dari hutan di Indonesia. Guna melestarikan keanekaragaman hayati, memberikan manfaat sosial ekonomi yang merata bagi masyarakat lokal, serta memastikan integritas lingkungan hidup.
Sebagai bagian dari penduduk bumi, serta bagian dari masyarakat Indonesia kita dan orang yang membaca tulisan ini menaruh harapan besar bagi Indonesia. Yakni untuk berkomitmen menghentikan laju deforestasi dan memulihkan hutan.
Sementara itu, sebagai tuan rumah G20 tahun ini, kita perlu menggunakan momentum ini untuk meningkatkan komitmen G20 terhadap konservasi dan restorasi hutan, sekaligus memberikan contoh melalui penguatan tata kelola hutannya sendiri. Indonesia pasti bisa !! []