• Login
  • Register
Kamis, 17 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Maraknya Kekerasan Simbolik Netizen di Media Sosial

Kekerasan simbolik ialah tindakan yang memanfaatkan berbagai sarana (media) untuk menyakiti hati dan merugikan kepentingan orang lain

Halimatus Sa'dyah Halimatus Sa'dyah
06/12/2022
in Personal
0
Kekerasan Simbolik

Kekerasan Simbolik

780
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu di perhelatan G20 Bali, ada salah satu pengguna Twitter yang menyandingkan foto Ibu Negara Iriana dengan Ibu presiden Korea Selatan, lalu menulis komentar:

“Bik, bikinkan tamu kita minum”

“Baik, Nyonya”

Pemilik akun berdalih itu hanya lucu-lucuan dan tidak bermaksud untuk merendahkan ibu negara, istri dari presiden Indonesia.

Begitu pula saat mantan menteri yang men-share foto wajah presiden pada patung stupa. Suatu bentuk kekerasan simbolik, karena perilaku tersebut menyakiti pihak lainnya. Mari kita bahas lebih mendalam, apa itu kekerasan simbolik.

Baca Juga:

Ahmad Dhani dan Microaggression Verbal pada Mantan Pasangan

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

Membincang Kekerasan Simbolik

Kekerasan simbolik merupakan istilah Pierre Bourdieu yaitu suatu perilaku yang sifatnya laten. pelaku tidak menyadari dan merasakan telah melakukan kekerasan. Kekerasan simbolik ialah tindakan yang memanfaatkan berbagai sarana (media) untuk menyakiti hati dan merugikan kepentingan orang lain. Akibat dari kekerasan simbolik memang tidak langsung mengenai fisik korban namun sangat menyakiti hati dan berlangsung sangat lama.

Kekerasan simbolik adalah kekuasaan yang di mana pelaku mewujudkan tujuannya untuk mendapatkan pengakuan. Artinya, pelaku memiliki kemampuan (baik ekonomi, politik, budaya, atau lainnya) yang memiliki kemampuan untuk melakukan kesewenang-wenangannya.

Kekerasan simbolik adalah kekerasan wacana (discourse) yang lebih merupakan aktivitas intelektual untuk mengondisikan olah pikir pihak lain.  Berbagai bentuk kekerasan menjadi sah, karena bekerja pada level olah pikir. Korban dan pelaku bahkan tidak merasa menyadari kekerasan tersebut sebagaimana kekerasan fisik.

Konstruksi realitas media berbeda dengan realitas yang ada di masyarakat. Manakala hakikatnya telah terjadi kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik bisa mewujud melalui penggunaan bahasa penghalusan, pengaburan, atau bahkan pengasaran fakta. Kekerasan simbolik tidak hanya beroperasi lewat bahasa. Namun juga terjadi pada isi bahasa (language content) yakni pada apa yang ucapan, penyampaian, ekspresi.

Kebebasan Berekspresi yang Nir Etika

Pengunggah menilai bahwa menaikkan stiker lucu-lucuan adalah bentuk dari kebebasan berekspresi. Jika ada orang lain yang tidak terima akan hal tersebut dan bersikap kritis, maka mereka anggap sensitif atau terbawa perasaan.

Padahal dalam media sosial ada etika yang harus menjadi pedoman. Konstruksi realitas sosial secara terus menerus, kemudian menjadi  habitus melakukan kekerasan melalui bahasa yang berakibat menormalisasi sikap yang sesungguhnya menyalahi etika.

Biasanya pembaca tidak sadar telah menjadi korban, begitu juga pelaku merasa itu adalah bentuk kebebasan berekspresi. Masyarakat yang khususnya anggota grup tersebut tidak menyadari bahwa telah melakukan habitus berupa bahasa atau simbol, contohnya membiarkan hal-hal yang saru terdapat di grup tersebut.

Dengan kekuasaan dan dominasinya, pelaku mampu memberikan labelling, stigma, dan fear of crime terhadap seseorang atau kelompok yang menolak perilaku tersebut. Hal ini sudah menjadi kegiatan rutin dan menganngap peristiwa tersebut sah. pada akhirnya berdampak bahwa budaya malu atau dalam tradisi Jawa saru, sungkan, dan isin, benar-benar bergeser dan terabaikan.

Penggunaan kata-kata, kalimat, bahasa, sering menggunakan opini “Alah cuma guyon, sampean saja yang menganggap itu sebuah pornografi”. Dalam statement lainnya bahkan mengatakan, “Kalau tidak suka ya keluar grup saja”, suatu saran yang tidak memberikan solusi bahwa etika digital sudah tidak lagi kita pegang.

Perundungan di Media Sosial

Opini-opini anggota grup dalam bentuk teks akan menambah penggunaan kekerasan simbolik. Ketika anggota mayoritas melakukan suatu konstruksi realitas terhadap suatu kejahatan hingga menimbulkan kekerasan simbolik, maka sesungguhnya timbul kejahatan baru. Kejahatan berupa kekerasan simbolik tersebut menjadi sesuatu yang dianggap sah dan sebagai bentuk guyonan.

Peristiwa perundungan tersebut marak terjadi dalam percakapan setiap hari  di media sosial.  Salah satunya pada aplikasi WhatsApp. Misalnya saja gambar yang bentuknya sticker, meme atau apapun yang menggiring orang pada asumsi porno.  Baik itu dalam bentuk barang, atau anggota tubuh sebagian ataupun seluruhnya.

Setiap hari, setiap waktu, pikiran pengguna media sosial dicekoki hal-hal yang tabu atau “saru” namun anggota lainnya mendiamkan. sikap tersebut secara tidak langsung membiarkan atau mengizinkannya. Hal tersebut masuk pola pikir sehingga menormalkannya, menganggap wajar dan sah.

Saat ini kata “saru”  dalam tradisi Jawa sudah terabaikan. Apabila salah satu atau sebagian anggota grup yang tersinggung dalam memaknainya, justru dianggap meributkan perkara sepele. Hal kecil dibesar-besarkan. Hal ini bertolak belakang dengan budaya bangsa kita yang mengedepankan budaya sopan-santun, dan menjunjung tinggi tata krama.

Persepsi Setiap Orang tak Sama

Sederhananya, kita tidak boleh menyamakan persepsi semua orang sama dengan persepsi pribadi kita. Bahwa apa yang kita lakukan itu dianggap biasa, benar dan wajar oleh pihak lainnya. Hal yang dianggap sederhana oleh seseorang, bukan berarti sama sederhananya anggapan pada orang lain. Karena kebebasan dalam bermedia sosial ada aturan yang harus kita pegang.

4 pilar patokan itu adalah safety digital. Contohnya kita tidak boleh asal mengunggah data pribadi kita, misal upload foto KTP yang bisa disalah gunakan oleh pihak lain. Pilar lainnya adalah digital skill, digital culture dan digital ethic.

Digital culture adalah era digital semua culture menyatu, artinya kebenarannya bersifat dan bernilai universal. Begitu pun terkait digital etik, bahwa norma atau tata krama dalam media sosial yang bersifat universal. Saat mengunggah foto, flyer atau brosur, maka harus berpikir ulang. Apakah mengandung unsur SARA, pornografi atau menyalahi nilai dan norma masyarakat yang sudah ada.

Saat konstruksi ini terus merajalela dalam penggunaan media, maka telah terjadi habitus.  Apakah kita akan mendiamkannya saat budaya kita ini hampir sirna? []

 

Tags: Digital EthicKekerasan Simbolikmedia sosialPierre BourdieouPornografi
Halimatus Sa'dyah

Halimatus Sa'dyah

Penulis adalah  konsultan hukum dan pengurus LPBHNU 2123038506

Terkait Posts

Love Bombing

Love Bombing: Bentuk Nyata Ketimpangan dalam Sebuah Hubungan

16 Juli 2025
Disiplin

Ketika Disiplin Menyelamatkan Impian

15 Juli 2025
Inklusivitas

Inklusivitas yang Terbatas: Ketika Pikiran Ingin Membantu Tetapi Tubuh Membeku

15 Juli 2025
Kesalingan

Kala Kesalingan Mulai Memudar

13 Juli 2025
Harapan Orang Tua

Kegagalan dalam Perspektif Islam: Antara Harapan Orang Tua dan Takdir Allah

12 Juli 2025
Berhaji

Menakar Kualitas Cinta Pasangan Saat Berhaji

11 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Representasi Difabel

    Dari Layar Kaca ke Layar Sentuh: Representasi Difabel dalam Pergeseran Teknologi Media

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sound Horeg: Antara Fatwa Haram Ulama’ dan Hiburan Masyarakat Kelas Bawah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Love Bombing: Bentuk Nyata Ketimpangan dalam Sebuah Hubungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Zakat Profesi Dipotong Otomatis, Apakah Ini Sudah Adil?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Siapa Sebenarnya Sumber Fitnah: Perempuan atau Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Merendahkan Perempuan adalah Tanda Pikiran yang Sempit
  • Ketika Zakat Profesi Dipotong Otomatis, Apakah Ini Sudah Adil?
  • Siapa Sebenarnya Sumber Fitnah: Perempuan atau Laki-laki?
  • Love Bombing: Bentuk Nyata Ketimpangan dalam Sebuah Hubungan
  • Trafficking adalah Wajah Baru dari Perbudakan

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID