Mubadalah.id – Bulan Rabi’ul Awal selalu kita peringati sebagai bulan kelahiran atau maulid Nabi Muhammad. Hari ini, umat Islam di beberapa belahan dunia merayakan hari kelahiran Nabi. Perayaan tersebut dengan berbagai macam tradisi sesuai dengan kultur wilayah masing-masing.
Tentu saja perayaan ini kita lakukan dengan suka cita dan penuh dengan kebahagiaan karena memperingati sosok yang begitu istimewa. Beliau membawa misi kerahmatan bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin). Secara eksplisit, misi kerahmatan ini juga termasuk dalam hal membebaskan perempuan dari konstruk budaya patriarkhi di masyarakat. Di mana budaya ini berdampak pada marginalisasi, penindasan, kekerasan dan hal-hal lainnya. Sehingga membuat perempuan kehilangan hak dan martabatnya sebagai manusia.
Jika menilik kembali kondisi dunia sebelum kelahiran Nabi Muhammad, sebagaimana yang tergambarkan oleh Huston Smith dalam bukunya yang berjudul “Agama-Agama Manusia”, masyarakat hidup dalam kondisi yang kacau.
Peperangan, pesta mabuk-mabukan, perampokan, judi sepanjang malam, perempuan-perempuan menjadi budak seks dengan berpindah-pindah dari tenda yang satu ke tenda yang lain. Hal itu mereka lakukan untuk memuaskan hasrat seksual para saudagar dan bangsawan, dan beberapa perbuatan tak bermoral lainnya.
Kondisi Makkah Abad ke 6 Masehi
Kondisi yang demikian semakin parah dengan kebobrokan kehidupan politik dan lemahnya fungsi penegak hukum di Kota Makkah pada abad ke-6 M yang tak pernah sepi dari perkelahian dan pertumpahan darah di setiap harinya.
Sebelum Nabi Muhammad lahir, kondisi perempuan sangat menyedihkan. Sebagaimana yang tergambar dalam salah satu kitab yang Syeikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi tulis, yakni kitab “Fiqhu al-Mar’ah”, bahwa perempuan adalah sepenuhnya hak milik ayah dan saudara laki-lakinya ketika belum menikah.
Namun, setelah menikah, ia menjadi milik penuh suaminya. Artinya, perempuan tidak memiliki peran dalam hidupnya sendiri. Jika menilik kembali sejarah posisi perempuan di beberapa kerajaan dan bangsa yang besar saat itu, posisi perempuan sangat tidak menguntungkan.
Sebagai contoh, Bangsa Arab Jahiliyah yang membenci kelahiran perempuan karena dianggap sebagai makhluk yang hina, sehingga awal kelahirannya adalah sekaligus sebagai awal kematiannya. Karena seketika langsung mereka kubur hidup-hidup.
Kalaupun ada perempuan yang selamat, maka masa dewasanya kerap kali mereka lecehkan. Tidak mendapat warisan, dan dijadikan budak seks. Selain itu, laki-laki bebas menikahi banyak perempuan tanpa memperhatikan asas keadilan dan kemashlahatan dalam pernikahan.
Yunani, Romawi, dan Persia
Tidak hanya bangsa Arab, Bangsa Yunani yang konon dikatakan sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan kebudayaan yang sangat maju sekalipun saat itu, juga tidak memposisikan perempuan secara layak. Laki-laki Yunani meyakini bahwa perempuan adalah sumber bencana dan penyakit.
Saat makan bersama pun, perempuan tidak boleh semeja dengan laki-laki. Pada masa itu, perempuan banyak yang menjadi pelacur karena kebebasan yang diberikan kepada perempuan hanya sebatas seksual semata. Lebih parah dari Yunani, Bangsa Romawi yang terkenal sebagai bangsa yang kuat pun juga tidak memperlakukan perempuan secara baik.
Para lelaki Romawi memiliki kuasa penuh atas keluarganya, dan bebas melakukan apa saja terhadap perempuan. Para perempuan diperlakukan layaknya budak yang bisa diperjual belikan kapan saja dan di mana saja. Bahkan, dalam keadaan tertentu, suami boleh membunuh istrinya.
Sama halnya dengan Persia, meski bangsa ini termasuk bangsa yang berperadaban maju, tetapi diskriminasi terhadap perempuan tidak bisa terelakkan. Ketika perempuan dalam keadaan haidh, mereka diisolasi ke luar kota dan tidak boleh ada satu orang pun yang bergaul dengannya. Selain hanya para pelayan yang mengantarkan makan dan minum untuknya.
Masa Pra Islam
Secara umum, dari gambaran di atas menunjukkan bahwa masa Pra Islam sebelum kelahiran Nabi Muhammad bisa kita sebut sebagai masa kegelapan (dark age) bagi perempuan. Sehingga tidak heran jika masa ini kita sebut sebagai zaman jahiliyah, atau yang dalam bahasa Al-Qur’an penyebutannya dengan dhulumat (kegelapan).
Sebagaimana penjelasan Jalaluddin Rahmat, bahwa tiga bentuk kegelapan yang terjadi pada masa jahiliyah adalah tidak tahu syariat, melanggar syariat, dan penindasan. Atas tiga kegelapan ini, maka misi rahmatan lil ‘alamin yang Nabi emban, di antaranya adalah untuk menyampaikan syariat. Lalu, meluruskan pelanggaran syariat, dan membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan. Baik dalam hal ekonomi, sosial, politik, maupun dalam hal berkeyakinan.
Hadirnya Nabi Muhammad yang membawa ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin, tentu saja membawa angin segar bagi orang-orang yang lemah dan tertindas. Salah satunya adalah perempuan. Nilai-nilai egaliterianisme dan humanisme dalam ajarannya, tentu saja merombak tatanan jahiliyah yang tirani menuju kepada peradaban yang modern, dan lebih memanusiakan. Bahkan, bisa kita katakan terlalu modern untuk konteks Arab pada masa itu. Sebagaimana penjelasan Robert N. Bellah dalam bukunya, “Beyond Belief”.
Simbol Renaissance
Kelahiran Nabi Muhammad bisa kita katakan sebagai simbol renaissance bagi perempuan. Pasalnya, pada masa ini, perempuan mendapatkan hak dan kebebasannya kembali di segala sisi kehidupan. Maulid Nabi Muhammad saw sebagai simbol renaissance bagi perempuan bermakna perempuan terlahir untuk kedua kalinya.
Pertama, ia terlahir dari rahim ibunya dengan diberikan kebebasan oleh Tuhannya. Akan tetapi kebebasan mereka terenggut akibat penindasan dan marginalisasi selama berabad-abad oleh laki-laki dalam sistem tatanan sosial-budaya yang patriarkhi.
Kedua, perempuan terlahir kembali pasca Islam hadir dibawa oleh Nabi Muhammad yang membawa spirit pembebasan dari segala bentuk penindasan, marginalisasi, dan subordinasi terhadap perempuan. Hadirnya Nabi Muhammad yang membawa Islam membuat perempuan memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Melarang menjadikan perempuan layaknya harta benda yang dapat mereka wariskan. Menghormati dan menghargai perempuan sebagai sesamba hamba Tuhan, dan secara umum hadirnya Nabi Muhammad membuat perempuan mendapatkan kemanusiaannya kembali.
Maulid Nabi Muhammad yang kita peringati setiap tahun oleh umat Islam di berbagai belahan dunia, semoga menjadi spirit bagi kita untuk menebarkan sikap rahmatan lil ‘alamin. Yakni sikap yang penuh cinta dan kasih kepada semua yang ada di semesta, tak terkecuali untuk kaum perempuan.
Momentum Maulid Nabi Muhammad saw, semoga bisa kita kenang setiap tahun sebagai penanda bahwa perempuan tidak lagi menjadi makhluk kelas dua. Namun, sebagai penanda bahwa perempuan juga memiliki hak dan kebebasan yang sama layaknya laki-laki dalam mengembangkan dirinya, berkarya dan berdaya serta berkontribusi bagi peradaban dunia. []