• Login
  • Register
Minggu, 5 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Film

Melihat Feminisme sebagai Panggilan Etis

Feminisme harus tetap menjadi nilai etis, menjadi feminis harus selalu berarti panggilan etis dan bukan teoritis.

Habibus Salam Habibus Salam
23/09/2020
in Film, Publik
0
Jolly Mohan

Jolly Mohan

215
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Film ‘Tilik’, yang sempat saya review satu bulan yang lalu, ternyata masih menyisakan diskusi dan silang pendapat yang cukup menarik hingga beberapa hari terakhir. Salah satu review yang cukup mengundang kontroversi adalah artikel yang ditulis oleh Julia Suryakusuma di The Jakarta Post dengan judul ‘Tilik’, sexist stereotypes and our collective insanity.

Saya membaca keseluruhan artikel di atas lengkap beserta komentar beberapa pembaca yang lain, yang hampir semuanya sepakat bahwa opini yang dibangun oleh Julia Suryakusuma ini tidak benar. Komentar-komentar seperti ‘not a proper writer’, atau bahkan komentar seperti ‘do you even watch the movie?’ memperlihatkan sekali bahwa sudut pandang feminsme yang coba diangkat oleh Julia, tidak disambut dengan baik.

Saya memutuskan menulis artikel ini ketika salah-satu teman saya mengirimi saya tautan artikel Aliurridha di Terminal Mojok yang berjudul ‘Opini Julia Suryakusuma Terhadap Film ‘Tilik’ Berbau Kolonialisme Gaya Baru’. Dari judulnya saja, tentu artikel ini dimaksudkan sebagai opini pembanding atau semacam kritik balik terhadap opini Julia dalam artikelnya. Aliurridha menjelaskan dengan sangat tegas bahwa opini Julia tersebut terlalu kebarat-baratan dan melupakan dimensi budaya yang menjadi latar film ini.

Yang menarik bagi saya justru bukan perdebatan yang dipicu oleh film ini, melainkan ‘kegagalan’ Julia menawarkan perspektif feminisnya sebagai penulis sekaligus seorang feminis. Ya, beberapa dekade terakhir feminisme memang selalu mendapat panggung dan atmosfer diskursus yang hangat di berbagai kalangan, entah itu dalam budaya, agama, atau dunia akademik.

Berbicara tentang feminisme, artinya kita membuka hamparan sejarah peradaban manusia yang diwarnai oleh budaya partiarkhi yang kuat selama berabad-abad. Feminisme lahir dari panggilan etis untuk menghasilkan keadilan bagi perempuan, yang selama berabad-abad diperlakukan tidak adil oleh separuh umat manusia yang kebetulan berjenis kelamin laki-laki. Dalam hampir setiap peradaban, perempuan selalu dilecehkan. Peradaban Yunani misalnya, St John Chrysostom, seorang Bapa Gereja bangsa Yunani mengangggap perempuan sebagai setan yang tidak bisa dihindari, suatu kejahatan dan dosa yang abdi.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Nizar Qabbani Sastrawan Arab yang Mengenalkan Feminisme Lewat Puisi
  • Tujuan Etika Menurut Socrates
  • Mufassir Perempuan dalam Khazanah Keilmuan
  • Gus Yahya Menolak Feminisme: Andai Ia bukan Ketum PBNU

Baca Juga:

Nizar Qabbani Sastrawan Arab yang Mengenalkan Feminisme Lewat Puisi

Tujuan Etika Menurut Socrates

Mufassir Perempuan dalam Khazanah Keilmuan

Gus Yahya Menolak Feminisme: Andai Ia bukan Ketum PBNU

Begitu pula dalam peradaban Eropa, tokoh sebesar Thomas Aquinas dalam Summa Theologia-nya pun sepakat dengan Aristoteles mengatakan bahwa perempuan adalah laki-laki yang cacat (defect male). Ini memperlihatkan betapa perempuan, dalam dua diskursus terbesar peradaban manusia (Agama dan Filsafat) pun, selalu dipandang sebagai ‘separuh’ manusia. Maka feminisme menjadi semacam panggilan etis untuk merekonstruksi kembali konsep keadilan bagi perempuan.

Poin yang sangat penting dan perlu digaris-bawahi adalah ‘feminisme sebagai panggilan etis’. Menjadi seorang feminis tidak cukup dengan hanya belajar secara akademis. Kita tidak bisa sekadar memproklamirkan diri “I am a Feminist” hanya berbekal abstraksi teoritis dan metodologi akademik, karena feminisme lahir justru untuk membalik konsep itu.

Bahwa keadilan bagi perempuan tidak bisa hanya dikonstruksi secara abstrak melalui moral universal seperti Utilitarian-nya Jeremy Bentham, atau The Ontology-nya Immanuel Kant misalnya, tetapi menjadi seorang feminis artinya Anda mengalami sendiri, dalam jarak tertentu, secara konseptual, jenis ketidakadilan yang tidak pernah dimengerti oleh teori-teori yang ada sebelumnya.

Tentu sebagai sebuah konsep, hal di atas akan sangat parsial dan subjektif. Tetapi karena subjektifitas itulah feminisme mampu menghasilkan jenis keadilan baru yang berbasis pengalaman, yang sebelumnya tidak bisa dihasilkan hanya dari hasil abstraksi teori. Setiap individu, terutama perempuan, mengalami jenis ketidakadilannya masing-masing. Saya sepakat dengan Aliurridha ketika mengkritisi artikel Julia Suryakusuma, bahwa instrumen budaya dari masyarakat tertentu, punya peran penting untuk menentukan sejauhmana sebuah opini dapat masuk di dalamnya.

Karena feminisme sebagai sebuah teori, sudah merupakan bentuk abstrak yang tidak bisa serta-merta diberlakukan kepada objeknya yang plural secara universal. Bahwa Bu Tejo, seperti kritik Aliurridha kepada Julia, bukan seorang aktivis yang berasal dari strata sosial tinggi dan memiliki privilege untuk berdiskusi, belajar teori lalu menulis artikel yang diterbitkan di media sekelas The Jakarta Post.

Kita bisa belajar dari tokoh feminis liberal seperti Audre Lorde dengan The Master’s Tools Will Never Dismantle The Master’s House-nya , ecofeminist seperti Gaura Devi dengan Chipko Movement-nya, atau jika dua nama ini terlalu asing dan ‘kebarat-baratan’, kita juga bisa belajar dari Ibu Sukinah yang berjuang untuk Gunung Kendeng. Ibu Sukinah ini tidak pernah belajar teori apapun, tidak pernah ikut forum feminis apapun, ia hanya tahu bahwa:

“Bumi niku kan wis nyuwun tulung sak jane. Anakku tulungono aku, aku iki lagi kesusahan aku nangis-nangis njaluk tulung. Kulo sebagai anake kan merasa terpanggil, dulur-dulur terpanggil. Kudu nyelametno gunung” (Bumi itu sudah minta tolong sebenarnya, anakku tolonglah aku, aku ini sedang kesusahan aku nangis-nangis minta tolong. Saya sebagai anaknya kan merasa terpanggil, saudara-saudara juga terpanggil. Harus menyelamatkan gunung).

Ungkapan Ibu Sukinah yang sedang memperjuangkan lingkungannya agar tidak dirusak oleh kepentingan kapitalis di atas, bukan berasal dari teori dan metodologi berpikir tertentu. Ia merupakan panggilan etis sebagai manusia, dan juga sebagai perempuan, untuk memperjuangkan apa yang menurutnya benar. Begitulah feminisme sebagai etika imperatif.

Memberlakukan feminsme hanya sebagai teori, sebagai sebuah moral universal yang dapat dijadikan panduan untuk menilai, sejatinya merupakan bentuk dari cara berpikir patriarkal. Feminisme harus tetap menjadi nilai etis, menjadi feminis harus selalu berarti panggilan etis dan bukan teoritis. Bukan teori atau metodologi yang menghasilkan keadilan, tetapi etika imperatif yang mendorong kita menemukan semacam metodologi untuk menghasilkan jenis keadilan baru. Ethical imperative detach theoretical methodology. Wallahu a’lam. []

Tags: agamafeminismeFilm Tilikfilsafat
Habibus Salam

Habibus Salam

Alumni Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STAI Al-Anwar dan Pondok Pesantren Al Anwar 3 Sarang, Penulis Lepas, Pegiat Literasi dan Kajian Keislaman, Dewan Pengurus Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (HEBITREN) Wilayah Jawa Tengah

Terkait Posts

Industri Halal

Pengembangan Industri Halal yang Ramah Lingkungan

4 Februari 2023
Hari Kanker Sedunia

Hari Kanker Sedunia: Pentingnya Deteksi Dini untuk Cegah Kanker

4 Februari 2023
Satu Abad NU

Satu Abad NU:  NU dan Kebangkitan Kaum Perempuan 

3 Februari 2023
Film Troll

Pertemuan Mitologi, Ekologi, dan Phallotechnology dalam Film Troll

1 Februari 2023
Pengelolaan Sampah

Bagaimana Cara Melakukan Pengelolaan Sampah di Pengungsian?

31 Januari 2023
Aborsi Korban Perkosaan

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

31 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perempuan Miskin

    Teladan Umar bin Khattab Ra Saat Bertemu Perempuan Miskin

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pengembangan Industri Halal yang Ramah Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merawat Optimisme Gerakan untuk Menghadapi Mitos Sisyphus

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Prinsip Mendidik Anak Ala Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lima Pilar Penyangga Dalam Kehidupan Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nizar Qabbani Sastrawan Arab yang Mengenalkan Feminisme Lewat Puisi
  • Teladan Umar bin Khattab Ra Saat Bertemu Perempuan Miskin
  • Merawat Optimisme Gerakan untuk Menghadapi Mitos Sisyphus
  • 5 Prinsip Mendidik Anak Ala Islam
  • Pengembangan Industri Halal yang Ramah Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Indonesia Meloloskan Resolusi PBB tentang Perlindungan Pekerja Migran Perempuan - Mubadalah pada Dinamika RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, yang Tak Kunjung Disahkan
  • Lemahnya Gender Mainstreaming dalam Ekstremisme Kekerasan - Mubadalah pada Lebih Dekat Mengenal Ruby Kholifah
  • Jihad Santri di Era Revolusi Industri 4.0 - Mubadalah pada Kepedulian KH. Hasyim Asy’ari terhadap Pendidikan Perempuan
  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist