• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Melindungi Perempuan dari Terorisme

Fatikha Yuliana Fatikha Yuliana
20/12/2022
in Publik
0
Dian Yulia Novi merupakan contoh dari keterlibatan perempuan dalam merencanakan bom bunuh diri di Istana Negara

Ilustrasi: Rappler

53
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp
Mubadalah.Id– Melindungi Perempuan dari Terorisme . Masih teringat dengan kasus bom yang terjadi pada 2016 silam, di mana perempuan sebagai pelaku dari kasus bom tersebut. Dian Yulia Novi merupakan contoh dari keterlibatan perempuan dalam merencanakan bom bunuh diri di Istana Negara pada tahun 2016. 
Kasus-kasus yang melibatkan perempuan dalam aksi teror menunjukan adanya pergeseran peran pelaku teror. Di Indonesia, perempuan banyak menjadi korban sekaligus aktor yang berperan aktif dalam melakukan aksi teror dengan dalih menjadi jihadis.

Perempuan dianggap telah unjuk gigi, tidak lagi sebatas bayang-bayang di belakang layar, bukan lagi menjadi figuran membantu kaum laki-laki, melainkan bertransformasi menjadi pemeran utama dalam aksi ekstremisme agama. Aksi-aksi tersebut tidak lagi hanya menggenggam semangat maskulinitas dan patriarki, melainkan telah berkamuflase ke dalam pendekatan feminin. Yang mana peran aktif perempuan sebagai aktor di balik aksi-aksi teror tersebut.

Keterlibatan perempuan dalam ekstremisme bukan perkembangan baru, kehadirannya sebagai propagandis, aktivis garis depan, dan juga perekrut menjadi meningkat di seluruh dunia. 

Bersumber dari Tirto.id, jika melihat sejarah akar keterlibatan perempuan dalam ekstremisme sudah terjadi sejak lama. Di Rusia pada 1878, seorang perempuan bernama Vera Zasulich melancarkan senapan dengan menembaki Gubernur Jenderal Fedor Trepov, Gubernur St. Petersburg yang saat itu memperlakukan tahanan politik Rusia secara semena-mena. Perempuan tersebut mengaku bangga dengan menyebut dirinya sebagai teroris, “Saya adalah teroris, bukan pembunuh”, ucapnya dalam sebuah kesaksian di pengadilan. 

Mengutip Musdah Mulia dalam Perempuan dalam Gerakan Terorisme di Indonesia, “Walaupun perempuan dalam aksi terorisme merupakan pelaku, namun secara hakiki mereka tetaplah korban dari ketidaktahuan dan ketidakberdayaan yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki niatan untuk melakukan tindakan keji dan sistematis dengan tujuan terorisme.”

Wacana feminisme yang melekat pada posisi perempuan, yang tersubordinasi atas kontrol yang telah dibebankan pada peran seksualitas, reproduksi, dan peran sosial lainnya seperti mengerjakan pekerjaan rumah, mendidik anak, mengurus suami, dan lain-lain menjadi strategi utama untuk menggiring mereka ke pusaran ekstremisme.

Baca Juga:

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

Tradisi Ngamplop dalam Pernikahan: Jangan Sampai Menjadi Beban Sosial

Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

Perekrutan dan pernikahan menjadi awal masuknya perempuan dalam ekstremisme. Para suami yang menikahinya menjajah pikiran mereka dengan pemahaman Islam radikal. Kelompok radikal menyentuh ranah psikologis perempuan dengan menawarkan alternatif solusi untuk kehidupan mereka yang sedang mengalami amarah, kekecewaan, dan sakit hati akibat dari tindakan diskriminatif, kekerasan fisik, dan lain-lain yang diterimanya.

Perempuan merupakan kelompok rentan (the vulnerable groups) yang dianggap mudah untuk diselami kehidupannya hanya dengan iming-iming memberikan arti kehidupan yang sebenarnya.

Keterlibatan mereka dalam aksi teror tidak terlepas dari sebuah bentuk kesetaraan gender yang semu, dengan dalih akan mendapatkan pahala yang setara dengan para “jihadis” laki-laki. Padahal keterlibatan mereka dalam aksi ekstremisme, dimanfaatkan dan dieksploitasi kemampuannya oleh “jihadis” laki-laki. 

Legitimasi agama membuat wacana patriarki semakin terlegitimasi tanpa adanya resistensi dari perempuan. Rasa percaya dan kepatuhan yang dimiliki perempuan kepada suami, membuat proses indoktrinasi ideologis dapat dengan mudah diterima.

Singkatnya, ekstremisme mengajak kembali kepada agama. Selain itu, perempuan dianggap dapat mengecoh aparat keamaan, dengan tidak mudah untuk dicurigai. Perempuan dianggap memiliki hidden potential yang tidak dimiliki oleh laki-laki.

Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1325 menyatakan bahwa perempuan memegang peranan penting sebagai agen perdamaian. Pentingnya keterlibatan perempuan dalam pencegahan konflik bersenjata atau konflik lainnya.

Yang dapat kita lakukan untuk mencegah keterlibatan perempuan dalam aksi ekstremisme dengan memberikan ruang kepada perempuan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan akses yang sama terhadap sumber daya yang ada.

Dengan kata lain, membagi peran antara laki-laki dengan perempuan secara proporsional baik dalam ranah domestik maupun publik. 

Pencegahan keterlibatan perempuan dalam pusaran ekstremisme tidak hanya menjadi tugas bagi pemerintah, melainkan seluruh elemen masyarakat. Upaya memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mencegah intoleransi dan radikalisme di Indonesia dengan mencabut Peraturan Daerah yang mengandung aturan diskriminatif dan memfasilitasi intoleransi dengan memberikan kekhususan kepada kelompok tertentu yakni perempuan, serta yang bertentangan dengan prinsip dasar negara dan demokrasi.

Selain itu, narasi-narasi perdamaian dan ajaran Islam moderat juga perlu diciptakan secara konsisten serta kolaborasi antara pemerintah, akademisi, masyarakat sipil, dan sebagainya dalam sebuah forum atau ruang diskusi untuk menghasilkan sebuah rencana aksi strategis pencegahan kekerasan ekstrim (PVE).

Demikian penjelasan terkait melindungi perempuan dari terorisme. Semoga bermanfaat. []

Tags: agamaekstremismefeminismeislamkekerasankonservatismemaskulinitaspatriarkiperempuanpernikahan
Fatikha Yuliana

Fatikha Yuliana

Fatikha Yuliana, terlahir di Indramayu. Alumni Ponpes Putri Al-Istiqomah Buntet Pesantren Cirebon. Berkuliah di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon. Jatuh cinta pada kopi dan pantai.

Terkait Posts

Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Feminisme di Indonesia

Benarkah Feminisme di Indonesia Berasal dari Barat dan Bertentangan dengan Islam?

28 Juni 2025
Wahabi Lingkungan

Wahabi Lingkungan, Kontroversi yang Mengubah Wajah Perlindungan Alam di Indonesia?

28 Juni 2025
Patung Molly Malone

Ketika Patung Molly Malone Pun Jadi Korban Pelecehan

27 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID