• Login
  • Register
Rabu, 9 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Teror Bom dan Pelanggengan Konflik Abrahamic Faith

Tak berlebihan kiranya jika saya menyimpulkan bahwa aksi teror bom yang bertubi-tubi di awal 2021 menguatkan asumsi Samuel Huntington.

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
07/05/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Teror Bom

Teror Bom

163
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tak berlebihan kiranya jika saya menyimpulkan bahwa aksi teror bom yang bertubi-tubi di awal 2021 menguatkan asumsi Samuel Huntington. Dalam bukunya Clash of Civilization ia menyimpulkan bahwa ketiga agama samawi atau Abrahamic Faith (Islam, yahudi, Kristen) masing-masing percaya bahwa iman mereka adalah satu-satunya yang paling benar. Keyakinan inilah yang menyebabkan agama sebagai penyebab konflik di Dunia pasca Perang Dingin.

Kedua agama samawi di Indonesia ini meyakini bahwa orisinalitas kitab suci di luar agama yang mereka anut, diselewengkan oleh orang-orang terdahulu. Truth claim antar keduanya seakan mengobarkan teror bom dan api dendam tanpa berkesudahan. Memperjuangkan agama bagi kedua agama samawi ini sama-sama diyakini mendapat imbalan surga. Term jihad dalam agama Islam, dan holy war dalam agama Kristen.

Kita bisa membuka kembali bagaimana sejarah Perang Salib dan penaklukan Konstantinopel menjadi bukti nyata bagaimana perjuangan mereka sama-sama mengatasnakan perjuangan agama. Patung Bunda Maria (yang diartikan Maryam dalam ajaran Islam) sebagai penguat kaum Nasrani, dan haditsi nabi Muhammad SAW sebagai penguat perjuangan muslim.

Karena berasal dari warisan ketuhanan yang sama, maka truth claim  yang mereka lakukan akan selalu dibandingkan dengan agama samawi lainnya. Klaim Nasrani sebagai kebenaran tunggal dalam Injil, dilakukan dengan mencari kelemahan ajaran Islam. Pun demikian sebaliknya, klaim kebenaran Islam atas syariat Allah dengan perantara Nabi Muhammad juga dilakukan dengan mencari kelemahan ajaran Nasrani.

Klaim kebenaran tunggal Islam atas syariat Allah dengan perantara Nabi Muhammad saw dan juga tradisi didalamnya, akan selalu dianggap penistaan oleh Nasrani dan dianggap jihad dalam Islam. Pun demikian sebaliknya, klaim Nasrani sebagai kebenaran tunggal dalam Injil dan tradisi keagamannya, akan selalu dianggap penistaan oleh Islam dan dianggap holy war bagi Nasrani.

Baca Juga:

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

Belajar Nilai Toleransi dari Film Animasi Upin & Ipin

Dokumen Abu Dhabi: Warisan Mulia Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Tayyeb Bagi Dunia

Two State Solution: Solusi Perdamaian bagi Palestina-Israel atau Tantangan Integritas Nasional Terhadap Pancasila?

Kesadaran bahwa ketegangan antara Abrahamic Faith adalah kecelakaan sejarah yang belum menemukan titik temu seharusnya menjadi refleksi kita bersama. Di saat dunia secara global mulai merumuskan perdamaian International melalui pendekatan multi track diplomacy, dan projek besar 1000 Abrahamic Cicles Project, dengan mencoba memahami aspek sosial budaya antar Abrahamic Faith, justru kita di Indonesia memulai melanggengkan konflik yang pernah ada.

Cara Menyikapi Perbedaan Agama di Tengah Keberagaman

Indonesia dengan bermacam-macam ras, suku, dan budaya seharusnya lebih menekankan pada mencari persamaan antar keduanya. Bagaimanapun baik Islam maupun Nasrani sama-sama memiliki central monotheiems privat yang bebas dari ketidakpastian, Tuhan mereka dalam sejarah agama Tauhid adalah sama, namun dipisahkan oleh jurang tanpa batas.

Tuhan-lah hakim atas segala tindak manusia, dan menyampikan wahyu-Nya dengan perantara nabi. Kesadaran akan persamaan inilah yang seharusnya dibangun ditengah kondisi pluralitas Bangsa. Bukan malah semakin menekan dengan narasi-narasi provokatif, teror bom dan aksi-aksi ekstrimisme yang justru memicu konflik dan perselisihan.

Dogma perdamaian dari langit tidak bisa serta merta diwujudkan hanya dengan narasi, orasi, dan ekstrimisasi. Namun membutuhkan kesungguhan, kegigihan, dan kerja cerdas tanpa adanya kekerasan dan diskriminasi. Perilaku ekstrimisme justru bisa menjadi pemicu sebuah konflik jangka panjang.

Prof. Dr Quraish Shihab memberikan beberapa cara menyikapi perbedaan agama di tengah keberagaman. Pertama dengan menghindari sikap eksklusifitas dalam beragama. Yaitu individu yang tidak mau memahami perbedaan yang ada di sekelilingnya, mengunggulkan harga dirinya dan golongannya dengan menjatuhkan harga diri golongan yang berbeda dengan dirinya. Tidak mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan yang ada, dan senantiasa menomorsatukan dirinya dan golongannya dalam setiap aspek kehidupan.

Untuk menghindarinya, maka semua orang dari kita harus menanamkan keyakinan yang kuat akan kebenaran agama Islam. Mematri dengan kuat sekali sehingga tidak perlu khawatir iman goyah hanya karena simbol-simbol agama lain atau berdampingan dengan agama lain. Jika keimanan sudah terpatri dalam hati, maka seberapa banyaknyapun interaksi yang dilakukan dengan orang lain diluar agama kita, tak akan menggoyahkan iman kita.

Kedua, secara eksternal perlu menerapkan sikap inklusivitas dalam beragama. Yaitu mampu memahami bagaimana keadaan masyarakat disekelilingnya, dengan segala perbedaan yang ada. Dengan sikap ini, maka seseoramg tersebut senantiasa menjaga harga dirinya dan golongannya tanpa menjatuhkan harga diri golongan yang lain, karena baginya semua individu mempunyai perbedaan yang harus dihargai.

Masyarakat inklusif akan saling bertanggung jawab untuk mengupayakan dan menyediakan kemudahan berupa bantuan layanan dan sarana agar masing-masing diantara kita dapat terpenuhi keperluannya, melaksanakan kewajiban dan mendapatkan. Cara selanjutnya adalah dengan tidak mudah melakukan blaming atas sebuah kejadian. Karena pribadi yang sering blaming rata-rata adalalah mereka yang anti terhadap evaluasi, kritik dan introspeksi.

Jika cara tersebut diatas sudah dilakukan, maka akan sampai pada pemahaman bahwa semua agama pada dasarnya baik menurut penganutnya masing-masing. Setiap orang juga memiliki hak untuk mengekspresikan kebenaran agama dengan caranya masing-masing. []

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags: Abrahamic FaithKeberagamaanPerang SalibPerdamaianSejarah Duniatoleransi
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Melawan Perundungan

Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan

9 Juli 2025
Perempuan Lebih Religius

Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

9 Juli 2025
Nikah Massal

Menimbang Kebijakan Nikah Massal

8 Juli 2025
Intoleransi di Sukabumi

Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?

7 Juli 2025
Retret di sukabumi

Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak

7 Juli 2025
Sejarah Ulama Perempuan

Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

7 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pernikahan Tradisional

    Sadar Gender Tak Menjamin Bebas dari Pernikahan Tradisional

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kemanusiaan sebagai Fondasi dalam Relasi Sosial Antar Manusia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Pengalaman Biologis Perempuan Membatasi Ruang Geraknya?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengebiri Tubuh Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Melawan Perundungan dengan Asik dan Menyenangkan
  • Ketika Perempuan Tak Punya Hak atas Seksualitas
  • Relasi Imam-Makmum Keluarga dalam Mubadalah
  • Mengebiri Tubuh Perempuan
  • Mengapa Perempuan Lebih Religius Daripada Laki-laki?

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID