Mubadalah.id – Dalam perspektif mubadalah, memandang pemenuhan nafkah sebagai tanggung-jawab bersama suami dan istri. Baik suami maupun istri dianjurkan untuk sama-sama bekerja dan mencari penghasilan. Harta yang mereka peroleh menjadi milik bersama yang tidak termonopoli oleh salah satu pihak tertentu.
Menurut pemahaman Mubadalah, istri menjadi lebih berhak untuk memperoleh nafkah dari suami karena amanah reproduksi yang tidak dimiliki laki-laki. Terlebih ketika istri sedang menjalani proses kehamilan, melahirkan dan menyusui (Kodir 2019).
Kondisi di mana suami dan istri berkemampuan untuk memperoleh penghasilan dan secara bersama-sama menghidupi rumah tangga. Kiranya kenyataan ini merupakan suatu konsepsi ideal yang patut untuk kita cita-citakan. Untuk itu hukum sebagai suatu media perekayasa sosial (law as tool of social engineering) perlu menghadirkan norma-norma yang mendukung terwujudnya kondisi ideal tersebut.
Namun demikian di saat yang sama hukum juga perlu merespon kondisi faktual masyarakat. Di mana mereka masih menempatkan suami sebagai pencari nafkah tunggal dan istri sebagai pengurus rumah tangga.
Kondisi Rumah Tangga
Kita perlu menerima kenyataan bahwa saat ini masih banyak permasalahan yang mendorong pasangan suami istri untuk menerapkan pembagian peran dalam rumah tangga secara konvensional. Misalnya, kendala perawatan anak jika kedua orang tua sama-sama bekerja di luar rumah pada waktu yang bersamaan.
Bagi keluarga yang tinggal di kota-kota besar dan memiliki kelebihan harta, terdapat pilihan untuk menitipkan anak di daycare atau menyewa pengasuh anak selama kedua orang tua bekerja.
Sayangnya tidak semua keluarga memiliki kemewahan untuk menggunakan pilihan-pilihan tersebut. Bagi kebanyakan keluarga, pembagian peran suami menjadi pencari nafkah dan istri sebagai pengurus anak dan rumah tangga masih merupakan pilihan yang paling rasional untuk mereka ambil.
Sayangnya tidak dapat kita pungkiri bahwa peran sebagai pihak yang tidak mencari nafkah kerap mendudukkan perempuan pada posisi yang kurang menguntungkan di dalam rumah tangga. Tidak sedikit suami yang merasa menjadi pihak paling berkuasa karena perannya untuk mencari nafkah.
Kondisi ini seringkali menimbulkan kekerasan. Hingga pada akhirnya mendorong istri untuk pergi dari rumah atau melakukan tindakan-tindakan perlawanan terhadap sikap suami. Bahkan hingga mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.
Tindakan-tindakan perlawanan oleh istri tersebut tidak jarang suami dalilkan sebagai sebuah tindakan nusyuz. Dalam konsep fikih dan KHI, istri yang nusyuz kita anggap telah kehilangan haknya untuk memperoleh nafkah dari suami (vide Pasal 84 KHI).
Khususnya ketika terjadi perceraian dan istri menuntut terpenuhinya nafkah lampau serta nafkah untuk masa tunggu (iddah). Jika istri kita anggap nusyuz, maka hilanglah hak istri untuk memperoleh nafkah-nafkah tersebut.
Perlindungan Perempuan
Dahulu, istri yang megajukan gugatan cerai ke peradilan agama anggapannya seakan-akan telah nusyuz kepada suami. Misalnya dapat kita lihat dalam salah satu argumen Pemohon Kasasi Perkara 401 K/Ag/2012. Di mana pada pokoknya mendalilkan bahwa pembebanan nafkah iddah kepada pemohon kasasi selaku suami adalah tidak wajar karena perceraian istri yang mengajukan. Menurut pemohon kasasi, permintaan cerai oleh istri merupakan suatu sikap nusyuz yang mengakibatkan hilangnya hak istri atas nafkah.
Sebelum tahun 2018, belum terdapat aturan yang menjamin pemberian nafkah iddah dan mut’ah ketika istri mengajukan gugatan. Akibatnya mut’ah dan iddah seringkali hanya berlaku bagi perkara permohonan cerai atau cerai talak yang diajukan oleh suami. Berbeda dengan perkara cerai gugat, kewajiban pemberian mut’ah dan nafkah iddah dalam perkara cerai talak telah tersebutkan secara eksplisit dalam Kompilasi Hukum Islam (vide Pasal 149 KHI).
Kewajiban untuk memberikan nafkah iddah dan mut’ah dalam perkara cerai gugat baru secara eksplisit tersebutkan dalam Sema 3 Tahun 2018. Dalam sema tersebut menyatakan bahwa istri dalam perkara cerai gugat dapat kita berikan mut’ah dan nafkah ‘iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz. Rumusan ini sekaligus memberikan petunjuk bahwa pengajuan cerai oleh istri tidak serta merta membuat istri kita nilai nusyuz.
Rumusan Nusyuz
Kompilasi Hukum Islam sendiri mengkategorikan istri yang nusyuz ialah ketika Ia tidak mau melaksanakan kewajibannya untuk berbakti lahir dan batin kepada suami. Terutama di dalam hal yang benar menurut hukum Islam. Kecuali dengan alasan yang sah (vide Pasal 83 KHI).
Keluar rumah tanpa izin, bermuka masam kepada suami, hingga tidak menjawab panggilan suami dengan baik. Kiranya hal-hal tersebut merupakan contoh-contoh nusyuz yang sedikit banyak berasal dari konsepsi ini. Ketentuan di atas telah dikritik oleh banyak pihak dan mendorong untuk segera melakukan perubahan.
Menurut Hakim Agung Kamar Agama, Yang Mulia Dr. H. Imron Rosyadi, S.H., M.H dalam buku Rekonstruksi Epistemologi Hukum Keluarga Islam, kondisi sosio-kultur saat ini mendesak untuk melakukan nterpretasi kembali atas konsepsi nusyuz dalam konteks kekinian.
Salah satunya ialah dengan menerapkan konsepsi nusyuz secara berimbang (tawazun) antara suami dan istri. Nusyus perlu kita maknai sebagai bentuk ketidaksenangan salah satu pihak kepada pasangannya. Kemudian diikuti oleh keengganan melaksanakan kewajiban yang menjadi hak bagi pasangannya, sehingga nusyuz tidak lagi kita maknai sebatas pada ketikdakmauan istri untuk berbakti lahir dan batin kepada suami. Melainkan juga mencakup keengganan suami untuk melaksanakan kewajibannya kepada istri.
Menurut Yang Mulia Imron Rosyadi, memaknai nusyuz baru dapat terjadi jika tindakan tersebut timbul dalam kondisi di mana salah satu pasangan telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Sebagai contoh, istri yang berpisah tempat tinggal tanpa seizin suami, baru kita nyatakan nusyuz jika tindakan tersebut muncul pada kondisi di mana suami telah melaksanakan kewajibannya. Yakni untuk memperlakukan istri dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) dan mencukupi nafkahnya.
Jika keluar dan tinggalnya istri di luar kediaman bersama tanpa izin merupakan akibat dari terabaikannya kewajiban oleh suami. Maka tindakan ini tidak dapat kita kategorikan sebagai nusyuz. Artinya, tindakan nusyuz oleh salah satu pihak dapat menjustifikasi tindakan nusyuz yang pasangan lainnya lakukan sebagai bentuk protes atas nusyuz tersebut.
Tidak Selalu Memutus Nafkah
Jika memperhatikan uraian di atas, maka nusyuz yang istri lakukan tidak seharusnya serta merta kita anggap menghilangkan haknya atas nafkah. Terlebih ketika tindakan nusyuz tersebut istri lakukan sebagai bentuk protes atas perilaku nusyuz suami yang lebih dulu terjadi.
Tentu harus pula kita pertimbangkan keberadaan upaya damai/penasehatan oleh istri kepada suami/serta upaya istri untuk selalu sabar menghadapi suami, sebelum akhirnya menentukan bahwa nusyuz yang istri lakukan merupakan tindakan yang sah dan tidak memutuskan hak nafkah.
Perlu kita ingat pula satu kaidah kewajiban nafkah bahwa setiap orang yang terbatasi kewenangannya dan diambil manfaatnya oleh suatu pihak. Maka nafkahnya harus terjamin oleh pihak yang membatasi dan mengambil manfaatnya itu (Zein 2010). Maka sepanjang istri masih terbatasi gerak-geriknya karena status perkawinannya, maka suami masih berpotensi berkewajiban untuk memberikan nafkah. []