Mubadalah.id – Wacana menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bansos (bagi masyarakat Jawa Barat) mendapat beragam respons. Respons pro dan kontra dibedah masing-masing pihak dengan perspektif yang berbeda-beda pula.
Di balik pro dan kontra, aspek baik yang penulis amati dari respon masyarakat media sosial adalah tumbuhnya kesadaran dan pengetahuan tentang alat-alat kontrasepsi apa saja yang dapat kita pilih dan pasangan suami-istri sepakati dalam merencanakan dan mengatur kelahiran.
Kendati kemudian wacana ini tidak sungguh-sungguh terimplementasikan sebagai syarat penerimaan bansos. Namun fatwa vasektomi yang MUI keluarkan kembali menjadi sorotan yang masyarakat perdebatkan.
Penulis melihat, fatwa vasektomi MUI pada paparan akhirnya menekankan tentang pentingnya edukasi kepada masyarakat untuk membangun keluarga yang bertanggung jawab, sehat dan unggul. Selain itu tidak melupakan tugas menyiapkan generasi selanjutnya. Akan tetapi, dalam mensosialisasikan fatwa tersebut, diksi “haram vasektomi” yang menjadi highlight dari semua narasi yang ada, sehingga menimbulkan banyak respons yang menarik juga untuk kita teliti.
Tanggapan terhadap Kebijakan Vasektomi
Respons-respons tersebut berasal tidak saja dari perempuan, tetapi juga laki-laki. Respon dari para perempuan misalnya: pertama, keharaman vasektomi, akhirnya membuat tubuh perempuan kembali menjadi jawaban atas masalah yang ada. Dengan terpaksa, para perempuan dan laki-laki menjadikan tubuhnya sebagai satu-satunya objek yang bisa menggunakan alat kontrasepsi.
Sedangkan alat kontrasepsi yang tidak permanen bagi laki-laki, seperti kondom dan azl, dianggap kurang efekti. Alasannya karena penolakan laki-laki yang merasa tidak nyaman ketika berhubungan seksual dengan istrinya. Fatwa ini diduga tidak mendengarkan suara-suara tubuh perempuan yang kerap menjadi korban dari alat kontrasepsi tanpa kesepakatan dan kesadaran.
Kedua, fatwa haram vasektomi dinilai tidak berkeadilan, karena hanya mempertimbangkan kemaslahatan dari perspektif laki-laki saja. Tidak mempertimbangkan kemaslahatan dari perspektif perempuan.
Respons serupa juga terlontarkan oleh masyarakat media sosial yang berjenis kelamin laki-laki. Fatwa haram vasektomi ini mereka nilai sebagai pengaturan atas tubuh laki-laki sebagaimana wacana pemaksaan vasektomi sebagai syarat penerimaan bansos. Dengan kata lain, melalui dekrit agama, hak atas tubuh diatur oleh sesuatu di luar diri. Sehingga, seorang laki-laki tidak bisa memilih sesuatu untuk tubuhnya tanpa intervensi apapun.
Bagaimanapun, mereka menganggap bahwa kebolehan vasektomi hanya dalam keadaan darurat sudah tidak relevan untuk saat ini. Mengingat kemajuan teknologi kedokteran mutakhir yang berbeda dengan kondisi di mana fatwa keharaman vasektomi yang lebih awal MUI keluarkan pada tahun 1979 dan 2012.
Selanjutnya, masyarakat media sosial juga keberatan akan fatwa haram ini, karena menyangkut atas kondisi mereka yang telah di-MOP (mendapat penanganan vasektomi). Selain itu juga mereka yang terhalang untuk memilih pilihan ini sebagai pilihan terbaik dalam kehidupan rumah tangganya.
Perspektif Mubadalah
Suara-suara masyarakat media sosial dalam kolom komentar perihal isu ini menarik penulis untuk bertanya kepada Kiai Faqih. Beliau adalah penggagas perspektif Mubadalah dalam kelas Isu Feminin yang Nuralwala selenggarakan pada Kamis, 15 Mei 2025. Pertanyaan mayor penulis adalah: “Bagaimana cara membaca fatwa vasektomi dari MUI dengan kaca mata Mubadalah, Kiai?”
Merespons fatwa vasektomi dari MUI ini, Kiai Faqih menyampaikan, bahwasanya kita perlu kemampuan untuk mengelola informasi dari tawaran fatwa yang MUI keluarkan tersebut. Atas hal ini, Kiai Faqih mengajak kita semua untuk membaca fatwa tersebut dengan perspektif Mubadalah. Khususnya pada aspek logika Mubadalah dalam fatwa dan subjek hukum (fatwa) nya.
Pertama, tentang logika Mubadalah dalam fatwa. Kiai Faqih menjelaskan,
“MUI sesungguhnya mau mengatakan begini, yang tidak boleh dalam (memilih) alat-alat kontrasepsi itu (adalah) yang bersifat final. Tidak bisa lagi sama sekali (untuk , apapun kontrasepsi yag final itu nggak boleh. Oleh karena itu, vasektomi nggak boleh. Cuma sayangnya, titik di sini (dalam fatwa ini) harusnya MUI bilang: mau laki-laki atau perempuan (yang) mau memutus kemungkinan punya anak maka nggak boleh, kalau tidak memutus itu (maka) boleh. Apakah vasektomi dan tubektomi adalah final? Kemajuan (ilmu kedokteran) sekarang, itu tidak final. Sehingga, kalau tidak final, maka tidak haram.”
Apabila logika Mubadalah seperti yang Kiai Faqih sampaikan ini juga terdapat dalam perumusan fatwa vasektomi. Berikut narasi dan clikbait yang banyak media gunakan. Penulis menilai, tujuan difatwakannya isu ini untuk mengedukasi kepada masyarakat agar membangun keluarga yang bertanggung jawab, sehat dan unggul.
Selain itu tidak melupakan tugas menyiapkan generasi selanjutnya, hingga kemudian akan sampai kepada masyarakat dengan minim pro dan kontra. Sehingga, tidak ada pihak yang merasa menjadi korban fatwa yang dirasa tidak adil bagi mereka.
Sebagaimana prinsip dalam Mubadalah, yakni sama-sama menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai subjek utuh yang merdeka dan sama-sama terpanggil sebagai diri yang saling bertanggung jawab dalam menjaga dan melindungi satu sama lain.
Mempertimbangkan Pengalaman Khas Perempuan
Bagi Kiai Faqih, isu ini (dan isu lainnya yang mungkin muncul di kemudian hari dan menimbulkan pro dan kontra), seyogyanya kita letakkan secara Mubadalah. Yakni perempuan dan laki-laki sebagai subjeknya. Sehingga, laki-laki dan perempuan sama-sama kita dorong untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab.
Apabila seorang perempuan yang notabenenya adalah istri. Di mana secara sosial dan biologis mereka mempunyai beban lebih besar daripada laki-laki. Dalam kehidupan rumah tangga bersama suaminya memiliki masalah ekonomi, sosial dan lainnya. Maka yang demikian harus kita imbangi dengan peran para suami/laki-laki, peran negara, dan institusi perumus fatwa secara tuntas.
Bagaimanapun, peran biologis yang perempuan alami itu dalam kurun waktu dari yang paling sebentar hingga yang paling panjang (hamil 9 bulan ditambah melahirkan dan menyusui). Dengan wahnan ala wahnin daripada pengalaman biologis laki-laki yang hanya sepersekian detik dengan rasa nikmatnya.
Untuk itu, peran laki-laki, negara, maupun institusi fatwa harus tuntas mengeksekusi isu alat kontrasepsi yang saling kait-mengait dengan kondisi hidup perempuan. Yakni dalam satu hayat hidup masing-masing dari mereka.
Berdasarkan paparan ini, maka fatwa dapat memiliki unsur Mubadalah apabila memenuhi perspektif Mubadalah yang kedua (dalam kasus ini), yakni perihal subjek hukum/fatwanya. Kiai Faqih memaparkan,
“Apabila vasektomi jangan (haram untuk) laki-laki, terus kalau perempuan hamil, apa tugasnya laki-laki? Apa jawaban MUI dan negara? Kalau laki-laki tidak bertanggung jawab dalam hubungan halalnya (perkawinannya), maka (dia bisa) dimasukkan penjara. Namun (sayangnya), MUI berhenti di (dalam memfatwakan bahwa vasektomi) haram.”
Menilik Peran Negara dan Otoritas Fatwa
Secara tidak langsung, Kiai Faqih mengidealkan peran negara, pengusaha dan institusi fatwa untuk memaksimalkan perannya. Tujuannya agar latar belakang/illah lahirnya fatwa dan kebijakan perihal vasektomi tidak harus terumuskan.
Secara tegas Kiai Faqih juga menyampaikan, “(Seyogyanya) yang harus kita fatwakan (menjadi subjek pelaksana isi fatwa) itu pemerintah, pengusaha; agar tidak (selalu) rakyat yang menjadi (menanggung) beban.”
Bagi Kiai Faqih, yang menjadi masalah adalah apabila penyelesaian kemiskinan dan tanggung jawab itu hanya kita solusikan dengan kebijakan atau fatwa vasektomi saja. Seharusnya dapat bisa lebih komprehensif. Karena, apabila divasektomi sekalipun, jikalau memang laki-laki itu tidak bertanggung jawab, maka ia akan tetap melakukan kekerasan dengan berbagai cara.
Sehingga, yang harus kita edukasi adalah tentang semua peran secara komprehensif secara bebarengan. Jika laki-laki tidak bertanggung jawab, menurut Kiai Faqih, laki-laki tersebut terkena hukum haram menikah baginya.
Menyusun fatwa maupun kebijakan dengan menggunakan perspektif Mubadalah perlu kita lakukan agar fatwa tersebut berdasarkan dari berbagai pengetahuan atas kondisi-kondisi yang ada secara komprehensif. Dengan demikian, fatwa tidak berpeluang menyesatkan.
Kebijakan dan fatwa yang selalu menggunakan perspektif kebutuhan dan kenyamanan laki-laki semata, akan membuat laki-laki menjadi jumawa. Selain itu membuat laki-laki mencecerkan spermanya secara halal, namun tidak bertanggung jawab.
Yupz, Kiai Faqih meminta kita sebagai rakyat, perumus kebijakan, perumus fatwa, dan media yang memberikan informasi, untuk senantiasa kritis dan mengedepankan kesadaran masing-masing untuk kemasalahatan bersama. (kesalingan). []