• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Rekomendasi

Membaca Pemikiran Nawal El Shaadawi Melalui Perempuan di Titik Nol

Melalui novel ini, pembaca dapat melihat disposisi Nawal El Shaadawi sebagai pengarang dalam menyikapi isu-isu diskriminasi perempuan dan sistem patriarki di negara Timur Tengah.

Cut Novita Srikandi Cut Novita Srikandi
05/04/2021
in Rekomendasi, Sastra
0
Nawal El Shaadawi

Nawal El Shaadawi

226
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Nama Nawal El Shaadawi dapat dikatakan memiliki tempat tersendiri di hati saya. Berkat karyanya yang berjudul Perempuan di Titik Nol, saya mulai memahami dan empati terhadap persoalan-persoalan yang menimpa kaum perempuan. Melalui karyanya ini pula, saya juga semakin menyadari bahwa ada yang tidak beres pada sistem budaya dan masyarakat kita dalam menempatkan kaum perempuan. Hal inilah yang kemudian mendorong saya untuk tertarik mempelajari pemikiran feminisme dan perkembangannya.

Nawal El Shaadawi dalam novelnya Perempuan di Titik Nol initidak hanya membahas mengenai permasalahan ketidakadilan dalam hal fisiologi dan seksualitas perempuan semata, tetapi ia juga mengkritisi secara tajam mengenai ketidakadilan perempuan dalam perspektif ekonomi, sosial, dan politik.

Novel yang ditulis Nawal El Shaadawi ini memberi gambaran secara nyata mengenai penindasan yang berlangsung di masyarakat, khususnya menjelaskan status inferior perempuan dengan tujuan menentang struktur sosial yang ada, dan berusaha untuk mewujudkan sistem sosial yang lebih manusia dan lebih adil.

Melalui novel ini, pembaca dapat melihat disposisi Nawal El Shaadawi sebagai pengarang dalam menyikapi isu-isu diskriminasi perempuan dan sistem patriarki di negara Timur Tengah. Nawal El Saadawi menjadikannya medium untuk menyampaikan kritiknya terhadap sistem kapitalis dan sistem patriarki yang telah memunculkan adanya penindasan terhadap perempuan. Sistem nilai tersebut tidak bisa bisa dipisahkan dari praktik sosial tokoh utama Firdaus. Melalui tokoh Firdaus, Nawal menyatakan keberpihakannya terhadap kaum perempuan yang termarjinalkan.

Novel Perempuan di Titik Nol ini berisikan narasi perjuangan hidup tokoh Firdaus dari tindak diskrimimasi kaum lelaki dan berusaha keluar dari himpitan-himpitan, agama, sosial, dan budaya yang mengandung ketidakadilan terhadap dirinya sebagai seorang perempuan.

Baca Juga:

Lelaki Patriarki : Bukan Tidak Bisa tapi Engga Mau!

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

Dr Nahla Shabry: Qawwamun bukan Pemimpin yang Mendominasi Perempuan

Kritik tanpa Kesalingan: Ketika Patriarki Jadi Senjata Sepihak

Terlahir di keluarga yang miskin dengan kebudayaan Arab yang kental dan selalu memperlakukan wanita secara tidak adil, Firdaus tumbuh menjadi seorang perempuan yang membenci kaum laki-laki. Sejak kecil Firdaus telah mengalami diskriminasi yang dilakukan oleh orang terdekatnya yaitu ayah dan pamannya.

Kesulitan ekonomi di keluarganya membuat Firdaus kecil bekerja untuk orang tuanya. Firdaus kecil juga sering mengalami tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh paman dan teman laki-laki bermainnya. Perasaan yang bergejolak untuk memprotes segala ketidakadilan yang dialaminya sangat mempengaruhi kehidupan Firdaus di masa depannya.

Permasalahan yang dialami Firdaus tidak sampai di situ, Nawal El Shaadawi memasukkan masalah yang lebih pelik lagi di kehidupan Firdaus. Yaitu ketika ia dipaksa oleh paman dan bibinya untuk menikahi seorang yang berusia lanjut dan memiliki rupa dan kebiasaan yang jelek. Kapital ekonomi yang dimiliki istri pamannya membuat Firdaus terpuruk dan terpaksa menyanggupi permintaan mereka.

Pernikahan ia jalani merupakan bentuk dari diskriminasi ia sebagai perempuan yang memiliki kapital ekonomi yang rendah sehingga mau tidak mau ia harus menuruti keinginan pihak-pihak yang memiliki kapital ekonomi yang lebih tinggi yaitu pamannya yang notabene telah membesarkan dan menyekolahkannya.

Berbagai diskriminasi yang tejadi dalam hidup Firdaus telah mendorongnya menjadi seorang perempuan yang kuat, mandiri, dan ingin bebas. Firdaus ingin terbebas dari kungkungan kebudayaan dengan sistem patriarki yang menurutnya merugikan pihak perempuan. Selain itu, habitus masa lalunya membuat ia benci kepada laki-laki dan ingin terbebas dari mereka. Menjadi pelacur adalah dampak dari semua itu.

Menjadi seorang pelacur merupakan keputusan dan kemauan Firdaus bukan sebagai tuntutan hidupnya. Menurut Firdaus, semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk dan istri merupakan pelacur yang paling murah. Firdaus memilih menjadi pelacur karena menjadi pelacur lebih bebas ketimbang menjadi istri yang diperbudak (hlm.133). Firdaus memberikan harga yang paling tinggi setiap ia memberikan tubuhnya. Dengan uang tersebut Firdaus dapat hidup mewah dan mendapatkan kelas sosial yang tinggi di masyarakat.

Permasalahan yang digambarkan Nawal El Shaadawi melalui tokoh Firdaus ternyata tidak sesimple itu karena akhir cerita novel ini bukanlah happy ending. Masalah yang lebih rumit justru datang ketika seorang germo laki-laki bernama Marzouk memaksa ingin menikahi Firdaus demi keuntungan pribadi. Namun pembunuhan menjadi penutup penderitaan yang dialami Firdaus.

Pembunuhan yang dilakukan Firdaus terhadap Marzouk sebenarnya merupakan protes Nawal El Shaadawi, sang pengarang, atas ketidaksetaraan gender yang sering membuat kaum perempuan termarjinalkan. Selama ini perempuan dianggap sebagai makhluk lemah dan tidak mampu menjaga diri dan hartanya.

Seorang Firdaus yang digambarkan lemah, lembut, dan penurut tetapi mampu membunuh seorang laki-laki kasar seperti Marzouk, merepresentasikan kenyataan bahwa kekuatan, mental, dan keberanian perempuan sama dengan laki-laki. Akan tetapi, sistem patriarki yang berkolaborasi dengan sistem kapitalis di masyarakat yang menjadikan kapital simbolik laki-laki yang berupa otoritas seringkali membuat perempuan kalah dalam arena sosial di masyarakat seperti kasus yang dialami oleh Firdaus.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Nawal El Shaadawi dalam beberapa sumber bahwa sistem nilai yang menundukkan perempuan di bawah laki-laki membentuk suatu struktur dasar masyarakat patriarki, seperti yang terdapat di dalam kebudayaan Mesir.

Sebuah struktur yang kuat dikukuhkan untuk mempertahankan dan membela sistem patriarki melalui institusi politik dan sosial yang diperkuat dengan hukum dan sanksi yang berkaitan dengannya. Bersama dengan kapitalisme, sistem ini mencapai eksploitasi dan penindasan yang sangat dahsyat, khususnya diperkuat oleh imperialisme pada tingkat dunia dengan dominasi ekonomi global yang dimiliki. []

Tags: diskriminasi perempuankapitalismeNawal El ShaadawipatriarkiPenulis Perempuanperempuan di titik nolSastra Arab
Cut Novita Srikandi

Cut Novita Srikandi

Alumni Women Writers Conference Mubadalah tahun 2019, Dosen dan Peneliti Sastra

Terkait Posts

Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Kapan Menikah

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

29 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID