Judul : Kekasih yang Tak Bahagia; Lima Cerita Pendek Perempuan Dunia
Penerjemah : A Elwiq Pr
Penerbit : Pelangi Sastra
Tahun Terbit : 2017
Tebal : 82 halaman
“A women must have money and a room of her own, if she is to write fiction.” (A Room of One’s Own – 1929).
Mubadalah.id – Kutipan kalimat itu adalah milik pengarang perempuan asal London, Virginia Woolf. Kalimat yang kemudian dikenal sebagai kritik tajam yang disampaikan Virginia terkait konstruksi sosial dalam masyarakat, menyangkut posisi dan suara penulis perempuan yang sangat jarang mendapat tempat layak di dunia sastra.
Hal itu pula yang saya kira juga mendorong seorang A Elwiq Pr dalam menerjemahkan lima cerpen karya lima perempuan munsyi sastra dunia. Dalam pengantar buku kumcer terjemahannya, A Elwiq memperkenalkan kelima penulis tersebut. Masing-masing memiliki latar belakang yang unik. Dari keunikan itu pula terdapat cara pandang yang bisa dipakai untuk membaca persoalan-persoalan menyangkut hajat hidup perempuan dalam konteks saat ini.
Sebagaimana dikatakan oleh Elwiq, bahwa apa-apa yang disampaikan oleh para penulis perempuan dalam masing-masing cerpennya lebih dari sekadar memperdebatkan posisi perempuan dan laki-laki. Cerpen-cerpen dalam buku ini seakan menyentil para aktivis perempuan untuk tak hanya menyoal situasi publik-domestik, akan tetapi lebih mendalam soal olah rasa dan sastra, bagaimana perempuan menulis dengan bahasa perempuan dan mengutarakan pengalaman khas perempuan sebagai manusia (hlm. xiii).
Marguerite de Navarre menjadi nama pertama yang diperkenalkan oleh Elwiq. Kekasih yang Tak Bahagia merupakan judul cerpen karangan Marguerite yang juga dijadikan sebagai judul buku kumpulan cerpen ini. Elwiq menerjemahkan cerpen ini pada 2008 di Turen. Cerpen Marguerite sendiri mengisahkan perjalanan cinta laki-laki dan perempuan yang dibalut penghormatan, pengorbanan dan kesetiaan.
Dalam cerpen itu Marguerite membuat narasi sastra yang apik tentang puncak cinta seorang laki-laki terhadap perempuan. Bahwa selama sisa hidupnya, hanya ada cinta yang murni. Cinta yang tidak ada ruang di dalamnya bagi hasrat memiliki atau menguasai diri perempuan yang dikasihinya. Sehingga ketika harapan mendapatkan cinta mesti kandas karena perjodohan, demi menghormati si perempuan, laki-laki tersebut memilih menyimpan perasaannya.
Letak ketidakbahagiaan dalam cerpen ini ditampilkan pada bagian akhir, di mana si laki-laki baru dapat menyatakan seluruh perasaannya di saat-saat terakhir sebelum ajal. Sementara si gadis yang merasa begitu dicintai, di sisi lain harus merelakan, kehilangan kegembiraan setelah laki-laki yang memuliakannya sedemikian rupa wafat. “Bahwa segala yang ditawarkan padanya, yakni seorang suami yang menghibur hati sekalipun, si gadis yang tak pernah lagi tahu kegembiraan yang sesungguhnya.” (hlm. 8).
Nama kedua yang disebutkan oleh Elwiq adalah Virginia Woolf. Sosok ini lebih tidak asing karena tidak hanya berkontribusi besar dalam dunia sastra, akan tetapi juga dalam pembahasan sejarah gerakan perempuan. Di mana secara konsisten Virginia menggunakan sastra sebagai kanal untuk mengkritik persoalan yang dialami perempuan, termasuk lewat pengalaman pribadi.
‘Rumah Angker’ adalah cerpen Virginia yang ikut diterjemahkan Elwiq pada buku ini. Sekilas berisi kisah cinta dua manusia yang lagi-lagi tidak terbatas pada ruang fisik. Sebagaimana judulnya, cerpen ini menceritakan kegaduhan yang diakibatkan oleh dua arwah manusia yang saling bernostalgia atas kenangan-kenangan yang berhasil mereka ciptakan semasa hidup dalam rumah tersebut. Sehingga meski keduanya wafat, ada harta karun yang tetap kekal dan menjadi penanda keberadaan keduanya, yakni cinta.
Nama ketiga diisi oleh Edna Ferber, sang penulis asal Amerika yang beberapa karyanya berhasil diangkat ke layar lebar pada 1950-an. Cerpennya berjudul ‘Perempuan yang Ingin Menjadi Baik’ menjelma kisah kontekstual yang begitu relevan di era ini. Edna menggambarkan satu tokoh perempuan dengan karakter kuat bernama Blance Devine, yang selalu menjadi pergunjingan para tetangga, hanya karena ia janda.
Setiap hal baik yang coba dilakukan oleh si perempuan, seperti memberi makan anjing, menjenguk tetangga yang kesusahan, dianggap memiliki niat buruk terselubung. Blance Devine bahkan harus berkali-kali pindah rumah hanya agar orang-orang yang ditemui sebelumnya bisa terhindar dari kehabisan energi karena terus menggunjingkannya. Dalam cerita ini, Edna ingin membongkar secara halus nalar berpikir masyarakat mainstream yang cenderung memberi stigma pada orang lain, khususnya janda dan perempuan yang memilih lajang seperti dirinya.
Nama keempat adalah Doris Lesing. Ia pernah mendapatkan Nobel Sastra pada 2007. Cerpennya berjudul ‘Menembus Gorong-gorong’ secara umum berbicara tentang relasi orang tua tunggal yakni ibu dengan anak laki-lakinya. Lebih dalam, cerpen ini mengangkat ambisi seorang anak laki-laki berusia 11 tahun bernama Jerry yang ingin menyelam ke kedalaman laut.
Keberadaan tokoh ibu digambarkan sebagai orang tua yang tidak ingin terlalu memaksakan kehendak pada anaknya. Ia tidak ingin mengekang kebebasan sang anak yang selalu ingin mencari tahu.”si ibu membatasi diri agar tidak menjadi keterlaluan rasa kepemilikannya atau juga tidak menjadi kekurangan kasih sayang.” (hlm. 37).
Kemudian penulis sastra terakhir adalah Alice Munro, dikenal karena cerpen-cerpennya yang unik dan tendensius. Dalam cerpennya ‘Anak-anak Lelaki dan Anak-anak Perempuan’ Alice menceritakan kehidupan peternak serigala dengan dua anaknya, perempuan dan laki-laki. Di mana si anak perempuan yang lebih suka berada di kandang membantu ayahnya, dituntut oleh sang ibu untuk selalu di dapur. Bagi sang ibu, anak perempuan tidak ditakdirkan untuk mengurus kandang, sebab kandang adalah urusan laki-laki.
Cerpen Alice tersebut nyatanya memang lebih nyata, sebab di masyarakat kita saat ini pun, budaya patriarki masih melenggang bebas di kehidupan sehari-hari. Bahwa peran-peran yang seharusnya bisa dipertukarkan tersebut masih menjadi milik jenis kelamin tertentu. Bahkan perempuan tidak mendapatkan kesempatan memilih dan memutuskan untuk dirinya sendiri.
Dan dari kelima cerpen yang diterjemahkan Elwiq tersebut kita belajar bahwa sejak dulu hingga sekarang, perjuangan perempuan untuk mendapatkan ruang bersuara masih berlanjut dan belum bisa dikatakan selesai. Perjuangan kali ini ditampilkan lewat produksi karya sastra, yang ditulis dengan menggunakan bahasa perempuan. Bahasa yang diharapkan bisa mewakili pikiran perempuan dan pengalaman khas perempuan. []