• Login
  • Register
Rabu, 2 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Membaca Ulang Relasi Manusia dan Alam

Perspektif mubādalah membantu dalam menginterpretasi teks agama dan menemukan fakta-fakta baru mengenai relasi manusia dan alam.

Rizka Umami Rizka Umami
02/02/2021
in Publik, Rekomendasi
1
Manusia dan Alam

Manusia dan Alam

690
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Duka mendalam dirasakan bertubi oleh masyarakat Indonesia. Belum selesai dengan pandemi Covid-19, pergantian tahun 2020 menuju 2021 masih dibuka dengan rentetan kejadian dan bencana, mulai dari jatuhnya pesawat Sriwijaya 182, tanah longsor, hingga banjir bandang di daerah yang sebelumnya bukan merupakan titik rawan bencana. Kondisi tersebut membuat kita harus membaca ulang, bagaimana relasi manusia dan alam.

Dan mengenai banjir, percayakah jika luapan air bah tersebut terjadi hanya karena curah hujan ekstrem? Tentu saya tidak. Bukankah curah hujan yang semakin tinggi pun memiliki sebab? Saya justru sepakat dengan temuan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bahwa ada faktor utama yang menyebabkan banjir dan tanah longsor, yakni kerusakan ekosistem.

Di mana hutan mengalami pengurangan luas akibat penggundulan. Jika membaca ulang data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) total luas hutan di Indonesia memang telah banyak berkurang dalam kurun 2014-2018, yakni sebanyak 1.40%. Penanda bahwa ada relasi yang salah antara manusia dan alam.

Deforestasi besar-besaran yang terjadi beberapa dekade terakhir ini, tidak bisa dipungkiri telah mempercepat krisis. Cara pandang manusia yang merasa superior dan mendominasi alam serta merasa bukan bagian dari alam, membuat pengerukan sumber daya alam bebas dilakukan tanpa batas. Alam, dalam hal ini hutan seakan tidak memiliki hak untuk melakukan jeda produksi atau melakukan restorasi. Sehingga keberadaannya kian susut untuk memenuhi kegiatan ekonomi manusia.

Sementara dampak dari krisis ekologi secara massif terlihat saat ini, dengan adanya ledakan epidemi yang berasal dari virus kategori baru, yakni Covid-19. Ancaman penyakit zoonosis ini tidak hanya membawa perubahan pada laju hidup manusia, akan tetapi juga membuat banyak nyawa manusia melayang. Di Indonesia, total keterpaparan bahkan telah tembus satu juta kasus. Hal ini tentu menjadi isu global yang mendesak ditanggulangi oleh seluruh elemen.

Baca Juga:

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

Apa Kepentingan Kita Menjaga Ekosistem?

Fiqh Al Usrah: Menemukan Sepotong Puzzle yang Hilang dalam Kajian Fiqh Kontemporer

Melihat Istri Marah, Benarkah Suami Cukup Berdiam dan Sabar agar Berpahala?

Sebenarnya, dalam berbagai ajaran agama, isu lingkungan telah mendapat ruang pembahasan yang cukup serius. Di Islam, ada Fiqh Lingkungan yang juga membahas secara kompleks mengenai problem lingkungan hidup yang diakibatkan oleh tindakan manusia. Muhammad Gufron dalam artikelnya juga menjelaskan bahwa cara hidup manusia modern yang hedonis dan egosentris membuat manusia kehilangan rasa tanggung jawab dalam pemeliharaan alam dan lingkungan sekitar.

Dalam menanggapi persoalan krisis tersebut, Gufron menawarkan fiqh al-bi’ah sebagai bahan pertimbangan untuk dikembangkan pada konteks saat ini. Menurutnya, krisis ekologi adalah persoalan darurat manusia dan alam yang sudah menjadi bagian dari maqasid al-syari’ah al-dharuriyah. Maka sudah seharusnya isu tersebut mendapatkan perhatian serius dari seluruh pihak.

Selain itu, para sarjana juga menggaungkan adanya eko-spiritualitas, eko-teologi, green Islam, dan konsep-konsep lain yang diharapkan dapat menggerakkan masyarakat beragama untuk ikut serta mengurai persoalan krisis lingkungan yang tengah terjadi. Secara umum, konsep dan gerakan yang dibangun oleh para sarjana tersebut sesuai dengan apa yang kemudian digagas dalam Konferensi Perubahan Iklim yang dilaksanakan pada November 2015.

Konferensi yang dihadiri oleh perwakilan dari seluruh pemuka agama dan penganut kepercayaan tersebut menghasilkan sebuah Kesepakatan Paris, berisi 29 pasal tentang perubahan iklim dan sekaligus komitmen untuk mengimplementasikan hasil kesepakatan, guna memecahkan persoalan terkait perubahan yang mengakibatkan krisis ekologi.

Saya kira, satu hal mendasar yang perlu dilakukan untuk memulai perubahan tersebut adalah dengan mengubah cara pandang manusia tentang relasinya dengan alam. Sebagaimana dipaparkan Doglas John Hall dalam The Steward a Biblical Symbol Come of Age bahwa ada tiga konsep hubungan manusia dengan alam, yakni manusia di atas alam, manusia di dalam alam dan manusia bersama alam.

Menurut saya dari ketiga konsep tersebut, yang mesti segera dilakukan adalah mengedepankan konsep ‘manusia bersama alam’. Di mana dalam konsep itu manusia dan alam melakukan kerja kesalingan, yakni saling membantu, saling melengkapi dan saling memerlukan.

Gagasan yang sama dan bisa dijadikan perspektif dalam melihat persoalan ekologi sesuai konsep tersebut adalah mubādalah. Kata ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dimaknai sama dengan kata reciprocity atau kesalingan. Faqihuddin Abdul Kodir memperkenalkan mubādalah sebagai sebuah pisau analisis dalam menafsirkan teks-teks Al- Qur’an dan Hadits, untuk diketahui adanya makna timbal balik di dalam teks-teks tersebut.

Istilah-istilah dalam bahasa Indonesia yang digunakan antara lain adalah kesalingan, kemitraan dan kerja sama. Prinsip resiprokal yang digaungkan tidak sekadar berkutat pada relasi manusia dengan manusia, akan tetapi juga berupa komitmen manusia menjalankan relasi yang mufā’alah dengan lingkungan.

Perspektif mubādalah membantu dalam menginterpretasi teks agama dan menemukan fakta-fakta baru mengenai relasi manusia dan alam. Manusia dan alam bisa menjadi mitra yang saling memberi manfaat. Alam memberi sumber daya yang dibutuhkan oleh manusia dan manusia membantu merawat kelestarian alam.

Perspektif mubādalah pada perkembangannya nanti juga bisa membantu masyarakat untuk membongkar nalar berpikir yang egosentris, tidak sekadar dengan mengemukakan dalil-dalil progresif tentang etika lingkungan yang berkeadilan, akan tetapi mengaktualisasikan perannya dalam konservasi. []

Tags: Bencana AlamKeadilan EkologisLingkungan Hidupperspektif mubadalah
Rizka Umami

Rizka Umami

Alumni Pascasarjana, Konsentrasi Islam dan Kajian Gender.

Terkait Posts

Gaji Pejabat

Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?

1 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Pacaran

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

30 Juni 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Pisangan Ciputat

Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

30 Juni 2025
Kesetaraan Disabilitas

Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID