Mubadalah.id – Pada beberapa tulisan sebelumnya, saya sering kali menyuarakan untuk mempribumikan feminisme, atau menggali konsep kesetaraan gender dari khazanah Nusantara. Upaya ini bisa dibilang sebagai kerja membincang feminisme, dan mendiskusikan konsep “feminisme Nusantara”.
Tentu saja pembaca bisa bertanya, meragukan, bahkan bersikap kebe(a)ratan dengan pemikiran ini: “Mungkinkah menggali relasi kesetaraan gender dari khazanah Nusantara dan merumuskan konsep feminisme Nusantara?”
Ah, kalau pun mungkin: “Memangnya untuk apa ada konsep feminisme Nusantara?”
Dalam tulisan ini, saya akan coba menjawab pertanyaan pertama, dan untuk pertanyaan kedua akan coba saya jawab pada tulisan selanjutnya. Meski, sebenarnya jawaban dua pertanyaan tersebut sudah saya tuangkan dalam tulisan-tulisan sebelumnya, dan tentu juga masih akan saya bahas pada tulisan berikutnya, seputar mempribumikan feminisme. Sebab, satu esai jelas belum cukup untuk mendiskusikan feminisme Nusantara.
Menggagas dan Membincang Feminisme Nusantara
Membincang feminisme Nusantara merupakan upaya untuk mempribumikan feminisme dan juga melihat relasi gender dari kacamata Nusantara. Sehingga, tetap menjadi pribumi yang maju dengan pemikiran kesetaraan tanpa harus meninggalkan nilai-nilai ke-Nusantara-an.
Kalau dalam feminisme Islam, sebagaimana Hasanatul Jannah dalam Ulama Perempuan Madura menjelaskan, feminis Muslim dengan spirit kesetaraan mengkaji ulang ajaran Islam dengan merujuk pada sumber-sumber utama Islam. Maka, dalam feminisme Nusantara kajian kesetaraan gender merujuk pada sumber khazanah Nusantara.
Apakah hal ini mungkin dilakukan? Mengingat kebudayaan Nusantara sering melekat dengan stigma sebagai setting sosial yang patriarki, tidak memberi ruang terhadap perempuan, dan berbagai stigma lain yang seakan meragukan Nusantara punya khazanah kesetaraan gender.
Memang tidak dapat kita pungkiri kalau ada kebiasaan di Nusantara yang tidak ramah perempuan. Kebiasaan yang lekat dengan patriarki. Misalnya, kebiasaan pelanggengan nikah dini oleh sebagian oknum di negeri ini. Praktik ini jelas tidak baik, dan perlu ada upaya pencegahan. Saya menyebut ini kebiasaan, bukan budaya maupun tradisi Nusantara, sebab sikap seperti ini lebih tepat kita sebut sebagai perilaku “oknum” dan bukan budaya masyarakat Nusantara.
Patriarki bukan Tradisi Nusantara
Adanya kebiasaan oknum yang tidak ramah perempuan, itu bukan berarti kita bisa men-cap bahwa setiap budaya Nusantara pasti ujug-ujug adalah patriarki. Sebab, jika menelik sejarah dan coba memahami berbagai budaya Nusantara dengan lebih mendalam, maka akan nampak kalau sosial budaya Nusantara sejatinya memberi ruang, menghargai, dan memuliakan perempuan.
Sehingga tidak heran jika banyak perempuan Nusantara yang tampil sebagai sosok pemimpin seperti Sultanah Safiatuddin Tajul Alam Syah, sebagai ulama layaknya Rangkayo Rahmah El Yunusiyah, sebagai pejuang dan pemikir misalnya Sujatin Kartowijono, dan perempuan lain yang mewarnai bidang penting dalam perjalanan bangsa ini.
Ini tentu menggambarkan kalau sejatinya sosial budaya Nusantara tidak membatasi ruang gerak perempuan. Ada kesetaraan gender dalam budaya Nusantara. Perspektif budaya Nusantara tidak memandang perempuan sebagai the second sex atau makhluk yang kita pandang sekadar alat untuk memproduksi manusia, melainkan memosisikan dan menghargai perempuan sebagai manusia layaknya laki-laki sehingga punya peluang setara untuk berkarya.
Selain itu, sebagaimana penjelasan Nadya Karima Melati dalam Membicarakan Feminisme, bahwa tujuan feminisme sederhana adalah untuk memanusiakan perempuan. Hal ini membuat feminisme sangat mungkin dipribumikan. Sebab, pada dasarnya budaya dan tradisi Nusantara terkait perempuan adalah ingin memuliakan, menghargai, dan memberi ruang untuk perempuan.
Budaya Nusantara Memuliakan Perempuan
Misalnya, dalam masyarakat Bolaang Mongondow terdapat tradisi Momoton yang merupakan tradisi memingit perempuan selama beberapa hari pada fase haid pertama. Sekilas tradisi ini nampak seperti budaya patriarki yang membelenggu perempuan. Namun, jika kita telusuri lebih dalam dan melakukan reinterpretasi makna dengan spirit feminisme, maka dapat kita pahami bahwa Momoton merupakan tradisi edukasi bagi perempuan Bolaang Mongondow.
Sebagaimana yang pernah saya sampaikan dalam esai berjudul “Momoton, Tradisi Perempuan Bolaang Mongondow pada Saat Haid Pertama,” bahwa tradisi Momoton pada dasarnya bukan bertujuan untuk membelenggu perempuan. Melainkan, satu upaya edukasi bagi perempuan pada saat haid pertama, agar dapat memahami tubuhnya dengan baik. Selain itu, ia menjadi pribadi yang mampu mengontrol diri dalam menjalani kehidupan.
Sampai di sini, sudah dapat kita pahami bahwa sangat mungkin membincang feminisme Nusantara. Upaya ini adalah kerja untuk menggali konsep relasi kesetaraan gender dari khazanah Nusantara, dan mempribumikan feminisme ke dalam budaya Nusantara. Sehingga, lahir satu konsep pemikiran kesetaraan gender dan feminisme yang tidak mengabaikan karakter budaya masyarakat Nusantara. []