Mubadalah.id – Budaya patriarki merupakan budaya yang membuat perempuan menjadi kaum yang kita anggap sebelah mata di lingkungan sosial. Masih banyak masyarakat Indonesia yang menganut budaya itu. Hal ini bisa teridentifikasi dari masih banyaknya kekerasan-kekerasan yang perempuan alami. Entah kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain.
Kekerasan-kekerasan itu menjadi bukti bahwa masih banyak masyarakat yang mengabaikan hak-hak kaum perempuan. Baik haknya di lingkungan sosial, keluarga bahkan politik. Namun, tidak sedikit juga masyarakat yang memang melihat keadilan atau kesetaraan hak dalam peran politik perempuan itu penting.
Di lingkungan cendekiawan muslim Indonesia, ada nama KH. Husein Muhammad, KH. Faqihuddin Abdul Kadir, dan termasuk guru saya, Mamang Haerudin yang menjadi garda terdepan pembela hak-hak kaum perempuan.
Perempuan di Ranah Politik
Di lingkungan politik Indonesia, kita perlu menyambut gembira adanya peraturan yang menganjurkan agar keterwakilan kaum perempuan di lembaga legislatif mencapai 30 persen.
Meski dalam ajang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 kemarin keterwakilan itu masih jauh dari harapan, setidaknya aturannya telah mencerminkan bahwa pemerintah memang serius untuk melibatkan kaum perempuan dalam berbagai ranah kenegaraan termasuk politik.
Keterwakilan kaum perempuan dalam ranah politik sangat penting. Ada empat hal yang melatarbelakanginya, Pertama, supaya prinsip keadilan bagi laki-laki dan perempuan dalam suatu negara bisa terwujud. Kedua, menawarkan model peran keberhasilan politisi perempuan.
Ketiga, guna mengidentifikasi kepentingan-kepentingan khusus perempuan yang tidak terlihat. Terakhir, untuk menekankan adanya perbedaan hubungan perempuan dengan politik sekaligus menunjukkan kehadirannya dalam meningkatkan kualitas perpolitikan.
Kepemimpinan Politik Perempuan
Ada banyak contoh yang bisa meyakinkan kita bahwa keterlibatan perempuan di lingkungan politik memang penting dan terbukti bisa menciptakan perubahan yang positif. Kita bisa melihat bagaimana mantan Perdana Menteri (PM) Selandia Baru, Jacinda Ardern, berhasil membuat negaranya aman dari dampak negatif pandemi Covid-19.
Di Indonesia, kita bisa melihat Megawati Soekarno Putri dalam urusan kepemimpinan politik. Megawati merupakan satu-satunya presiden perempuan Indonesia. Ada banyak pencapaiannya ketika menjadi presiden. Di samping itu, dalam urusan ini kita bisa melihat Khofifah Indar Parawansa selama menjadi Gubernur Jawa Timur.
Khofifah merupakan Ketua Umum Muslimat. Salah satu Badan Otonom (Banon) organisasi masyarakat Islam Nahdatul Ulama (NU). Dalam Pilkada bulan November 2024 nanti, Khofifah akan kembali maju menjadi calon gubernur bersama Emil Dardak.
Dalam sejarah Islam, banyak juga tokoh-tokoh perempuan yang memiliki peran penting dalam urusan politik, penyebaran dan tradisi keilmuan Islam. Misalnya saja Siti Aisyah, istri Nabi Muhammad Saw. Dia pernah memimpin pasukan dalam peperangan melawan Ali bin Abi Thalib. Siti Asiyah juga menjadi guru dari para ulama terkemuka lain. Mereka diantaranya Ibrahim al-Taimi, Thawus, al-Sya’bi, Sa’id bin al-Musayyab, Sulaiman bin Yasar, Ikrimah dan lain-lain.
Selain Siti Aisyah, sejumlah perempuan yang juga ulama adalah Ummu Salamah binti Abi Umayyah, Hafshah binti Umar, Asma binti Abu Bakar, Ramlah binti Abi Sufyan, Fatimah binti Qais dan lain-lain.
Ada juga nama Sayyidah Nafisah, Sayyidah Nizam, Fakhr al Nisa dan Qurrah al ‘Ain yang dikenal sebagai ulama perempuan yang cerdas dan alim. Lalu ada seorang ulama perempuan paling populer di kalangan para sufi, Rabî’ah al-Adawiyah (801 M) yang kemudian menjadi icon mazhab ‘cinta’ dalam sufisme.
Meningkatkan Peran Politik Perempuan
Lalu bagaimana caranya supaya keterwakilan dan keterlibatan perempuan di lingkungan politik Indonesia bisa meningkatkan dan optimal (sampai 30 persen)? Aturan yang membuka akses ke lingkungan politik sudah ada, jadi, hal ini menjadi tugas pemerintah dan partai politik untuk berusaha mewujudkannya.
Bagi individu perempuan di lingkungan masyarakat, meningkatnya kesadaran sebagian masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender dan adanya akses yang memudahkan mereka masuk ke ruang publik harus dimanfaatkan dengan baik.
Kaum perempuan harus bisa membuat dirinya layak dan berkualitas. Akses ke dunia pendidikan harus digunakan dengan maksimal untuk meningkatkan wawasan dan meningkatkan kualitas diri. Yang jelas, keterlibatan perempuan di ruang publik, di lingkungan politik dan seterusnya sangat penting.
Saya merupakan orang yang setuju dengan anggapan itu dan juga mendorong kaum perempuan yang ada di desa untuk terlibat di ruang publik. Saya anjurkan teman-teman muda perempuan di desa untuk semangat menimba ilmu di lembaga pendidikan sampai setinggi mungkin, mendorong mereka ikut organisasi dan berprestasi.
Peran politik tidak hanya bisa dilakukan oleh kaum laki-laki. Pemimpin juga tidak menjadi hak laki-laki saja. Perempuan pun bisa dan berhak. Tapi bagaimana dengan keterangan-keterangan agama yang terkesan membatasi pergerakan kaum perempuan di ruang publik bahkan menempatkannya sebagai bawahan laki-laki?
Fikih Perempuan
Terkait teks agama yang membatasi peran perempuan misalnya dalam hadis Bukhari nomor 4425, diriwayatkan dari Abu Bakrah berkata:
“Allah menjagaku dengan sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah SAW pada perang Jamal yakni tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang kuda guna berperang bersama mereka”.
Abu Bakroh meneruskan: Saat Kaisar Persia mati, Rasul bersabda: “Siapa yang menjadi penggantinya?” Mereka menjawab: Putrinya. Lalu Nabi pun bersabda: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang perempuan.”
Sebetulnya ini hanya urusan konteks waktu dan keadaan. Dalam bukunya yang berjudul “Fikih Perempuan”, KH. Husein Muhammad mengatakan bahwa fikih merupakan aspek paling praktis dalam mengatur tata kehidupan masyarakat beragama, baik dalam hubungan personal antara manusia dengan Tuhannya (ubudiyah), hingga hubungan yang lebih luas, seperti hubungan sosial kemasyarakatan (muamalah).
Oleh karena itu fikih tidak lepas dari aspek sosial masyarakat, baik secara budaya, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Sehingga tidak ada hukum yang absolut dalam fikih, serta memungkinkan fikih untuk berubah sesuai perkembangan kehidupan masyarakat.
Dahulu, budaya patriarki dan akses ke dunia pendidikan sangat terbatas. Hal ini membuat perempuan menjadi kaum yang tentu saja kurang layak diamanahi tanggung jawab di ranah-ranah yang memerlukan kecerdasan dan seterusnya.
Namun, eranya kini sudah berbeda, kesadaran akan kesetaraan gender dan kemudahan akses pendidikan bagi kaum perempuan membuat kesempatan mereka menjadi pribadi yang lebih berkualitas dan layak menjadi pemimpin sama seperti kesempatan yang didapatkan laki-laki. []