Mubadalah.id – Saat ini, semakin banyak nama perempuan yang menghiasi panggung sejarah Nusantara. Beberapa yang sudah lama familiar di telinga kita, tentu ada Kartini, Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, Rahmah El Yunusiyyah, dan lainnya. Keadaan ini seakan membasahi dahaga her-storiography kita yang dahulu amat kering.
Maka, apakah kita sudah dapat menghentikan narasi menggiatkan penulisan sejarah perempuan sampai di sini, mengingat sudah semakin banyak nama perempuan yang menghiasi sejarah Nusantara?
Tentu, kalau kita benar-benar mengharapkan pembacaan sejarah perempuan Nusantara secara utuh, maka kita belum boleh berhenti, dan harus melanjutkan penelusuran terus-menerus. Banyak aspek dalam penulisan sejarah perempuan yang masih perlu didedahkan, agar sejarah kita tidak semata his-story, namun juga kaya her-story.
Penulisan sejarah perempuan Nusantara sendiri, sejauh ini, lebih banyak berkisah soal peranan perempuan di garis depan; sekitar kekuasaan, politik, dan peperangan. Nama-nama yang sudah banyak kita kenal, umumnya, adalah para perempuan yang berkiprah di garis depan. Sementara, sejarah perempuan di garis belakang belum banyak dilirik.
Resiko Ketidak-utuhan Sejarah Perempuan
Sebagaimana penjelasan Sartono Kartodirjo dalam Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, bahwa peristiwa-peristiwa seperti perang, diplomasi, dan kegiatan politik lainnya menarik perhatian sebagai peristiwa penting yang sangat memengaruhi jalannya sejarah.
Paradigma ini masih kuat terasa dalam penulisan sejarah Indonesia hingga saat ini. Bahkan, begitu amat mewarnai pandangan dasar tentang sejarah sebagai peristiwa penting yang terjadi pada masa lalu.
Ini menyebabkan terjadinya bias kesejarahan. Di mana sering kali yang terpandang sebagai peristiwa penting itu seputar aktivitas garis depan; siapa yang maju ke medan perang. Atau siapa yang tampil sebagai penguasa, siapa yang memengaruhi jalannya politik, dan sebagainya. Yakni aktivitas yang lebih dianggap memengaruhi jalannya peradaban manusia.
Sedangkan, aktivitas garis belakang; para perempuan yang tidak ikut berperang, perempuan pinggiran yang jauh dari lingkaran kekuasaan, perempuan yang tidak terlibat carut-marut perpolitikan, dan sebagainya. Kesejarahan mereka sekadar terpandang sebagai sesuatu yang remeh-temeh, alias bukan sejarah melainkan hanya “masa lalu” saja.
Maskulinitas Sejarah
Iklim sejarah konvensional yang demikian, sadar atau tidak, mendorong sejarah menjadi maskulin. Sejarah lebih banyak berkutat pada topik-topik seputar kekuasaan, perang, dan berbagai kegiatan politik yang dahulu itu menjadi arena hidup mayoritas laki-laki.
Sedangkan, aktivitas garis belakang yang dahulu, bahkan hingga saat ini, banyak terisi oleh perempuan menjadi terabaikan dalam sejarah. Oleh karena itu, meski semakin banyak nama perempuan yang tercatat dalam sejarah, namun historiografi kita terus menjadi his-story. Di mana hal itu lebih banyak menjustifikasi kepahlawan laki-laki, dan seakan terus meminggirkan her-story yang mengabadikan sosok serta kiprah kesejarahan perempuan.
Bahkan dalam lingkup sejarah perempuan sendiri, maskulinitas sejarah juga terbilang kental terasa. Paradigma kesetaraan gender, tanpa sadar, menjebak kita untuk terus mencari dan mengklaim kepahlawanan sosok-sosok perempuan yang kiprahnya berada di garis depan peradaban.
Pandangan kalau laki-laki bisa mengisi peran garis depan, maka perempuan juga bisa. Itu membuat kita terus mencari sosok-sosok perempuan dalam sejarah di arena yang dahulu banyak terisi oleh laki-laki. Bahkan, kita melupakan arena garis belakang yang “pada masa lalu” menjadi tempat eksistensi bagi banyak perempuan.
Perempuan di Garis Depan Peradaban
Ya, memang, bukan tidak mungkin menemukan perempuan yang berada di garis depan peradaban. Beberapa nama yang saya sebutkan di awal; Nyi Ageng Serang dan Cut Nyak Dien, serta masih banyak lagi sederet nama yang maju ke garis depan peperangan melawan penjajah.
Ada lagi Kartini dan Rahmah El Yunusiyyah, serta Nyi Hajar Dewantara, Sujatin Kartowijono, dan masih banyak lagi perempuan yang memengaruhi jalannya politik pada masa lalu. Dalam lingkup kekuasaan, ada Ratu Tribhuwana (Ratu Majapahit), Empat Sultanah Aceh, Ratu Kalinyamat (Reinha de Jepara), dan banyak lagi.
Namun kalau kita terus terjebak hanya mencari sejarah perempuan di garis depan, serta terus mengikuti arus sejarah konvensiona. Sebagaimana yang telah saya jelaskan, dan malah mengabaikan pendedahan sejarah perempuan di garis belakang. Sebab memandang kiprah mereka tidak penting-penting amat untuk kita dedahkan sebagai sejarah.
Maka, kita akan berakhir pada, apa yang dalam bahasa Bambang Purwanto dalam Menggugat Historiografi Indonesia disebut, “pengingkaran yang menjerumuskan.”
Kita terjerumus ke dalam sejarah yang memang banyak berisi kelampauan laki-laki, sambil berupaya mencari-cari sosok-sosok perempuan di dalamnya. Dan, malah melupakan sejarah yang sebenarnya banyak berisi kelampauan perempuan, sambil menutup mata tidak memedulikan kiprah peradaban perempuan di dalamnya. Alhasil, keterjerumusan ini membawa kita pada ketidak-utuhan dalam membaca sejarah perempuan Nusantara.
Melihat Kesejarahan Perempuan di Garis Belakang
Kesejarahan perempuan di garis belakang tidak boleh kita abaikan begitu saja. Oiya, yang ingin saya sampaikan ini bukan untuk menguatkan, apa yang dalam terminologi Betty Friedan disebut, feminine mystique; ...women were expected to return to the domestic spehere of society (perempuan diharapkan kembali ke lingkungan domestik masyarakat). Melainkan, ini merupakan upaya untuk melihat dengan lebih utuh eksistensi perempuan dalam sejarah.
Aktivitas garis belakang atau ranah domestik dalam paradigma gender modern, misalnya. Sebagaimana saya ambil paradigma Feminine Mystique-nya Friedan, sebagaimana dikutip dari Lindsey Blake Churchill; “Housework should not be seen as a ‘career’, but as something to finish as quickly as possible (Pekerjaan rumah (kerja garis belakang) tidak harus kita pandang sebagai karir, melainkan sebagai sesuatu (yang remeh) yang dapat selesai dengan cepat).
Pandangan semacam ini, dalam konteks kehidupan sosial yang sedang berlangsung, mungkin termasuk cara pandang progresif yang dapat memajukan eksistensi perempuan.
Namun, sebaliknya, kalau kita membawa pandangan ini dalam membaca sejarah perempuan, maka dapat berdampak pada ketidak-utuhan melihat eksistensi perempuan dalam sejarah. Sebab, akan ada banyak kesejarahan perempuan, baik sosok maupun kiprah, di garis belakang yang akan kita pandang sebagai peristiwa remeh, atau sebagai masa lalu saja dan bukan sejarah.
Peran Perempuan di Garis Belakang
Oleh karena itu, dalam konteks kesejarahan, kita tidak harus memandang aktivitas perempuan di garis belakang sebagai sesuatu yang remeh. Terlebih, secara historis, memang banyak aktivitas garis belakang perempuan Nusantara yang memberikan pengaruh dalam peradaban.
Misalnya, Nyai Solichah Wahid selain punya kiprah perpolitikan dan gerakan kemanusiaan (garis depan) yang luar biasa, kita juga tidak boleh mengabaikan kesejarahan garis belakangnya. Yakni sebagai ibu yang punya komitmen kuat mendidik anak-anaknya. Satu bukti nyata keberhasilan didikan Nyai Solichah itu adalah Gus Dur (Abdurrahman Wahid) yang tumbuh menjadi sosok toleran.
Contoh lain, misalnya, sosok Nyi Ageng Pandanaran. Di mana sejauh pengetahuan penulis, meski kiprah garis depannya masih terbilang buram, namun kita tidak lantas mengabaikan sosoknya dalam sejarah. Sebagai istri Ki Ageng Pandanaran (pendiri Semarang).
Jika kita mendasari pandangan pada relasi saling suami-istri dalam peradaban Islam Nusantara–maka dia punya peran garis belakang yang penting sebagai sosok yang menopang kesuksesan suaminya. Sehingga, keduanya terpandang bersama sebagai pembangun peradaban Islam di Semarang.
Perempuan Tanpa Nama Besar
Jadi, dalam membaca sejarah ini, kita tidak harus meremehkan eksistensi perempuan di garis belakang. Dan, tidak hanya melihat peran garis belakang dari sosok perempuan dengan nama besar yang menyertainya. Sebagaimana dua contoh di atas, namun juga melihat para perempuan yang “tanpa” nama besar. Serta, terminologi garis belakang tidak hanya sebatas pada ruang domestik, namun juga mencakup kiprah mereka yang sering kali masih kita remehkan.
Para perempuan yang “tanpa” nama besar di garis belakang yang sering kali eksistensi mereka masih kita remehkan; seperti sejarah para guru ngaji. Di mana umumnya sejarah ini adalah yang mempertahankan kampung halaman ketika para lelaki pergi berperang.
Bahkan termasuk sejarah budaya memasak para perempuan di kampung, itu semua bukan hal remeh. Melainkan, peristiwa penting yang perempuan lakukan untuk mewarnai jalannya peradaban manusia. Artinya, itu adalah sejarah, dan bukan sekadar masa lalu. []