Mubadalah.id – Dalam sejarah panjang Islam, nama-nama perempuan nyaris tak terdengar. Mereka seperti hilang dari panggung sejarah, seolah tidak pernah hadir dalam urusan politik, ilmu pengetahuan, atau kebudayaan. Padahal mereka ada. Namun, karena budaya patriarki, perempuan sering dikerdilkan, bahkan dilupakan.
Ahmad Syauqi, penyair besar Arab, pernah mencoba mengangkat kembali sejarah perempuan dalam Islam lewat puisinya. Ia menulis dengan takzim tentang para perempuan di sekitar Nabi, yang ia gambarkan sebagai cahaya pengetahuan dan fondasi peradaban.
Muhammad, sang Nabi, tak pernah memangkas hak-hak perempuan beriman.
Ilmu pengetahuan adalah jalan hidup.
Para istri Nabi yang cerdas-cerdas.
Perempuan-perempuan di sekitar Nabi, betapa tulus mencari nafkah, membangun bumi manusia.
Berkat putri-putri cantik sang Nabi, cahaya pengetahuan berpendar menjulang tinggi.
Puisi itu bukan sekadar pujian. Ia menyentuh kenyataan sejarah bahwa di sekitar Nabi Muhammad Saw. hadir perempuan-perempuan luar biasa seperti Khadijah, pengusaha sukses dan Aisyah, istri Nabi yang cerdas dan menjadi sumber rujukan hadis.
Lalu ada juga Ummu Salamah, Zainab binti Jahsy, Fatimah az-Zahra sang putri kesayangan, hingga Sukainah, cicit Nabi yang dikenal sebagai perempuan cendekia.
Perempuan-perempuan ini bukan hanya pendamping Nabi, tetapi juga guru bagi para sahabat dan ulama laki-laki. Mereka dikenal sebagai ahli sastra, penyair, sejarawan, bahkan juga tenaga medis dan juru bicara umat.
Dalam beberapa peristiwa, mereka juga berani mengkritik struktur sosial patriarkis dan menuntut kesetaraan. Bahkan mengambil inisiatif untuk membantah otoritas laki-laki yang tidak adil.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, jejak mereka tenggelam oleh penafsiran-penafsiran keagamaan yang bias gender. Tradisi yang menghilangkan peran perempuan itu justru berkembang dalam kehidupan keagamaan umat Muslim hari ini.
KH. Husein Muhammad, salah satu ulama progresif Indonesia, dalam bukunya Spiritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren, mengingatkan bahwa fakta sejarah ini seharusnya menyadarkan kita untuk membangun kembali ruang yang seluas-luasnya bagi aktualisasi kaum perempuan. Bukan justru menyingkirkan mereka dari ruang publik. Melainkan merangkul mereka sebagai mitra sejajar dalam membangun peradaban yang adil dan berkeadaban. []