Mubadalah.id – Sejarah perempuan dalam Islam kerapkali terabaikan, bahkan sengaja ditenggelamkan di balik kabut pikiran publik. Tak banyak umat Muslim yang tahu bahwa sejumlah ulama terkemuka justru menimba ilmu dari para cendekiawan perempuan. Padahal, rekam jejak itu nyata dan terang benderang dalam literatur Islam klasik.
Lihatlah Aisyah ra., istri Nabi Muhammad Saw., yang oleh para sahabat laki-laki dijadikan rujukan utama dalam banyak persoalan agama. Bersama ummahat al-mu’minin lainnya (para istri Nabi), Aisyah berperan sebagai guru besar yang membimbing generasi awal Islam. Sukainah binti Husain, cicit Nabi, bahkan dikenal sebagai sastrawan dan kritikus sastra tajam pada masanya.
Tak hanya itu. Dalam catatan Imam as-Sakhawi (w. 1497 M), ada tak kurang dari 1.075 perempuan terkemuka, 405 di antaranya ahli hadis dan fikih. Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 1449 M) juga mendata 191 perempuan alim, 168 di antaranya guru besar hadis dan fikih.
Menariknya, Ibnu Hajar sendiri belajar kepada 53 orang perempuan, sementara as-Sakhawi kepada 46 perempuan, dan as-Suyuthi (w. 1505 M) kepada 33 perempuan. Ini fakta sejarah yang terlupa: ulama-ulama besar itu menimba ilmu dari para guru perempuan.
Rabi’ah al-Adawiyah
Dalam tradisi tasawuf, sosok perempuan juga tak kalah bersinar. Siapa tak kenal Rabi’ah al-Adawiyah (w. 801 M), sang sufi agung yang menjadi ikon mahabbah (cinta ilahi)? Puisi-puisi cintanya menembus zaman dan memberi inspirasi mendalam bagi para sufi setelahnya.
Fariduddin Attar bahkan menegaskan, “Ketika seorang perempuan menjadi laki-laki di jalan Tuhan, ia setara dengan laki-laki, dan tak bisa lagi dipandang sekadar perempuan.”
Sementara itu, Imam Syafi’i, pendiri mazhab fikih terbesar, pernah menjadi murid Sayyidah Nafisah, seorang alim perempuan terkemuka di Madinah. Begitu pula sufi besar Muhyiddin Ibn Arabi, yang belajar kepada dua perempuan bijak di Makkah.
Sayang, sejarah seperti ini jarang diangkat dalam diskursus publik kita hari ini. Padahal, sebagaimana dalam catatan KH. Husein Muhammad dalam buku Spiritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren (2022), narasi-narasi tersebut penting untuk meruntuhkan stigma bahwa perempuan hanya berperan sebagai “pengikut” dalam sejarah Islam.
Dengan menggali kembali jejak-jejak sejarah para ulama perempuan, kita belajar bahwa Islam sejak awal memberi ruang luas bagi perempuan untuk menjadi ilmuwan, guru, pemikir, bahkan penentu arah peradaban. []