Mubadalah.id – Pergeseran budaya hidup di media sosial menjadi trend hidup baru yang di kalangan masyarakat. Banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Media sosial yang awalnya menjadi platform untuk komunikasi. Saat ini menjadi ruang kehidupan yang lain bagi sebagian orang. Termasuk gaya hidup yang kita ketahui bernama hustle culture.
Seluruh informasi tentang kehidupan, dan segala aktifitas sehari-hari rasanya menjadi wajib untuk kita beritahukan di beranda media sosial. Fenomena ini juga termasuk tentang pekerjaan, produktifitas bahkan segala kepemilikan barang, prestasi, seperti wajib untuk dibagikan di media sosial.
Budaya ini menjadi salah satu gaya hidup yang bisa menjadi motivasi, tantangan bagi masing-masing individu. Misalnya dalam dunia kerja. Banyak anak muda yang membagikan informasi tentang pekerjaannya, gaji, keberhasilan di waktu muda, yang menciptakan adanya makna bahwa, sukses di waktu muda adalah bebas finansial. Memiliki barang berasal dari brand terkenal, serta membagikan kerja keras yang selama ini kita lakukan untuk mencapai kesuksesannya tersebut.
Fenomena Media Sosial
Aktifitas hidup yang secara nyata kita lakukan di media sosial, membuat fenomena ini semakin mengakar. Sebab konten semacam itu menjadi konsumsi dari masing-masing pengguna media sosial dan sangat banyak pengguna media sosial juga membagikan tentang kehidupan, pencapaian serta kerja keras yang sudah mereka lakukan. Tidak jarang, seseorang yang tidak pernah membagikan kegiatannya di media sosial, seolah-olah tidak memiliki progress dalam hidupnya.
Fenomena ini membuat trend perbincangan hustle culture marak menjadi pembicaraan. Istilah ini kita artikan sebagai budaya gila kerja. Budaya ini dipercaya bahwa, seseorang akan berbanding lurus dengan kesuksesan dan meningkatkan profesionalitas. Budaya ini kita kenal sebagai bagian dari anak muda, terutama generasi millenial dan Gen Z.
Hal ini karena, mereka adalah generasi yang melakukan segala aktifitasnya di media sosial. Fenomena ini sejalan dengan bonus demograsi yang dialami oleh Indonesia pada tahun 2020 ini. Di mana sebagain besar komposisi penduduk adalah usia produktif hingga mencapai presentase 70,72% (BPS, 2021). Badan pusat Statistik, mencatat bahwa 25,87% dari total populasi penduduk, termasuk dalam kategori generasi millenial. Yakni generasi yang tercatat pada tahun kelahiran 1981-1996.
Tidak hanya itu, terbukanya lapangan kerja yang bisa kita lakukan di mana saja, hanya dengan modal media sosial, berpengaruh terhadap pekerjaan yang generasi tersebut lakukan. Banyak sekali di antara kita yang memiliki pekerjaan sampingan.
Aktifitas padat tersebut membuat para anak muda percaya bahwa, waktu yang mereka gunakan untuk melakukan pekerjaan sampingan, ditambah dengan pekerjaan utama, akan berbanding lurus dengan kesuksesan yang mereka raih pada waktu muda.
Hustle Culture, Salahkah?
Sebenarnya tidak ada yang salah dari hustle culture yang anak-anak muda alami ini. Akan tetapi, menurut Clark (2016), terdapat kepirbadian personal seseorang yang bisa masuk dalam kategori hustle culture. Yakni tipe orang yang cenderung perfeksionis dan berorientasi pada hasil, sehingga secara tidak sadar dapat menjebak dirinya sendiri. Perilaku perfeksionis ini bukan berdasarkan loyalist perusahaan atau organisasi. Namun hanya ingin mendapat imbalan dan menjadikan ketergantungan.
Berdasarkan pengertian ini, dampak dari hustle culture tidak lain adalah tekanan batin. Kesehatan mental, menjadi hal yang paling prioritas untuk kita perhatika. Karena, waktu yang seseorang miliki, hanya dihabiskan untuk bekerja dan mendapat imbalan dari pekerjaan yang ia lakukan.
Perilaku ini juga membuat seseorang akan merasa bermanfaat ketika mengganti waktu istirahatnya untuk bekerja dan melakukan aktifitas seperti biasanya. Dari sinilah, seseorang akan menerima banyak pekerjaan untuk menghabiskan waktu yang ia miliki.
Terobsesi Menjadi Orang Sukses
Dalam mengerjakan pekerjaan sampingan dan utama, budaya hustle culture tidak membuat seseorang loyal terhadap organisasi atau perusahaan. Akan tetapi, justru berorientasi pada hasil ketika melakukan pekerjaan tersebut. Berdasarkan penjelasan ini, kita memahami bahwa, hustle culture memiliki dampak yang cukup negatif terhadap anak muda dalam menjalani kehidupan sosial.
Meskipun demikian, hustle culture akan terus ada, melihat media sosial masih menjadi sarana utama dalam berinteraksi dan mendapatkan informasi. Setiap hari, kita memiliki ribuan informasi dari media sosial. Berapa banyak orang yang sudah membagikan kisah perjuangan berujung sukses dalam forum, media sosial, dan diskusi-diskusi.
Tanpa sadar, informasi tersebut juga membuat anak muda untuk meniru agar memiliki kesuksesan seperti orang lain. Kita semua terobsesi untuk sukses di waktu muda. Apalagi di dukung denngan terbukanya pekerjaan yang mudah menghasilkan uang dan bisa kita lakukan di mana saja, seperti: konten kreator, influencers, admin media sosial, web developer, dll. []