Mubadalah.id – Bagi kaum santri yang berada di pesantren, tentu tidaklah asing lagi dengan kitab Alfiyah karangan Imam Ibnu Malik. Kitab yang sangat mashur ini sering kali menjadi tolak ukur tertinggi bagi para santri agar bisa menguasai ilmu gramatika bahasa Arab. Kajiannya tidak hanya di pesantren yang tersebar di pelosok negeri ini. Melainkan di berbagai lembaga pendidikan Islam yang berada di penjuru dunia pun turut mengkajinya.
Kitab Alfiyah Ibnu Malik memuat tentang kaidah-kaidah bahasa Arab berupa Nahwu dan Sharaf. Dua keilmuan tersebut menjadi pondasi awal dalam rangka memahami Al-Qur’an dan Hadist. Seperti halnya yang Syaikh Syarofuddin Yahya sampaikan di dalam muqodimah kitab Imrithi.
والنحو اولى اولا ان يعلما # اذ الكلام دونه لن يفهم
“Ilmu nahwu lebih berhak pertama kali untuk dipelajari. Karena kalam (Arab) tanpa Nahwu maka akan sulit dipahami.”
Sekilas Tentang Imam Ibnu Malik
Sang pengarang kitab Alfiyah Ibnu Malik yaitu Syaikh Muhammad Jamaluddin ibnu Abdillah ibnu Malik al-Thay. Seorang ahli bahasa yang lahir di salah satu kota kecil: Jayyan yang berada di Andalusia (Spanyol) bagian selatan. Ia lahir pada tahun 1203 M atau bulan Sya’ban tahun 600 H.
Waktu itu Andalusia menjadi tempat berkembang pesatnya keilmuan Islam, para penduduknya sangat mencintai ilmu pengetahuan. Tidak heran jika mereka disibukkan untuk saling berlomba dalam meciptakan sebuah karya ilmiah.
Sejak kecil Imam Ibnu Malik sudah menghafal Al-Qur’an dan ribuan Hadits. Semangatnya dalam menekuni sebuah keilmuan begitu besar. Ia pernah belajar kepada para ulama tersohor di daerahnya sendiri, seperti Syaikh Tsabit bin Khiyar, Syaikh Ahmad bin Nawwar dan Syaikh Al-Syalaubini.
Setelah beranjak dewasa, ia pergi ke Makkah dalam rangka menunaikan ibadah haji. Ketika tujuan utamanya dalam menunaikan haji sudah selesai, lalu ia pergi ke Damaskus untuk menimba ilmu pengetahuan. Di Damaskus ia belajar kepada banyak ulama, salah satunya yaitu Al-Sakhawi.
Setelah dari Damaskus, ia pergi ke kota Hallab (Aleppo, Syiria Utara), dan menimba ilmu kepada Syaikh Ibnu Ya’isy al-Halaby dan Syaikh Ibnu Amri’un al-Hallabi. Sebenarnya keilmuan Islam yang ingin Ibnu Malik perdalam yaitu Hadist dan Tafsir.
Namun setelah melakukan pengembaraan keilmuannya, ia lebih cenderung untuk mendalami ilmu Nahwu dan Shorof. Kecendurangannya ini berawal dari rasa ingin tahunya mengenai struktur bahasa Arab yang berbeda-beda dari masing-masing daerah.
Sang Taj’ulama an-Nuhat (Mahkota Ilmu Nahwu)
Bekat kecerdasannya dalam mengkomparasikan teori Nahwu-Sharaf Iraq, Syam (Masyriq) dan Andalusia (Maghrib), yaitu bisa kita katakan suatu metode atau teori baru. Di mana dalam keilmuan nahwu yang jarang orang-orang Syiria ketahui pada waktu itu. Teori nahwunya ini diikuti oleh para muridnya seperti, Imam Nawawi, Ibnu al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat ibn Jama’ah.
Guna menguatkan teorinya ini, ia mengambil bukti atau landasan dari teks-teks Al-Qur’an dan juga menyajikan teks-teks Hadist. Selain itu, ia juga mengambil bukti dari syair-syair sastrawan ternama Arab. Semua pemikirannya tersebut bisa kita nikmati sekarang melalui karya-karyanya yang berbentuk nadhom (syair puisi) atau berbentuk natsar (prosa).
Sesungguhnya, karangan beliau telah mengungguli para tokoh pendahulunya. Seperti yang sudah disampaikannya di dalam muqoddimah kitab Alfiyah Ibnu Malik. Meskipun begitu, Ibnu Malik sangat menghormati Ibnu Mu’thi, karena beliau-lah yang telah memperkasai terlebih dahulu kitab Alfiyah, sudah sepatutnya mendapat penghormatan dan kedudukan yang lebih tinggi.
Karir itelektualnya semakin diperhitungkan oleh para ulama atau tokoh sezamannya. Ia dinobatkan sebagai Taj’ulama an-Nuhat (Mahkota Ilmu Nahwu). Namanya yang semakin tersohor itu, membuat Sultan al-Maliku Shaleh Najmuddin al-Ayyubi, penguasa Mesir waktu itu, meminta agar Ibnu Malik mengajar di Kairo Mesir.
Ia menetap di sana dalam beberapa tahun hingga akhirnya kembali lagi ke Damaskus. Di kota ini sampai akhir hayatnya, Ibnu Malik mendidik para murid-muridnya, seperti Muhammad Badruddin Ibnu Malik, Ibnu Jama’ah, Abu Hasan al-Yunaini, Ibnu Nahhas, dan Imam Nawawi.
Alfiyah Ibnu Malik
Karya monumental Ibnu Malik selain kitab Alfiyah Ibnu Malik yaitu, al-Nuwashal fi Nadzm al-Mufashsal, Sabk al-Mandzum wa-Fakk al-Makhtum, Ikmal al-‘Alam bi Mutslats al-Kalam, Lamiyah al-Afal wa-Syarhuha, al-Muqoddimah al-Asadiyah, ‘Iddah al-Lafidz wa-‘umdah al-Hafidz, al-‘Itidha fi az-Zha wa ad-Dhad dan ‘Irab Musyil al Bukari. Kebanyakan karangannya membahas tentang bahasa.
Karya beliau yang sampai hari ini masih sangat mashur berbagai lembaga pendidikan kaji, yaitu Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini awalnya yaitu bernama Nadzam al-Kafiyah al-Syafiyah yang terdiri dari 2.757 bait. Di dalamnya menyajikan semua informasi mengenai ilmu Nahwu dan Shorof beserta dengan tanggapan (syarah-nya).
Kemudian kitab ini ia ringkas menjadi seribu bait yang kita kenal dengan nama Alfiyah Ibnu Malik. Kitab ini juga bisa kita sebut Al-Khulashah (ringkasan) karena isinya mengutip inti uraian dari al-Kafiyah. Isinya terdiri dari delapan puluh bab, pada setiap babnya terisi oleh puluhan bait dengan narasi yang sangat indah.
Bab yang terpendek berisi dua bait yaitu bab Al-Ikhtishash dan bab yang terpanjang yaitu bab Jama’ Taktsir yang berisi empat puluh dua bait. Berawal dari kitab Alfiyah Ibnu Malik ini pelajaran nahwu dan shorof semakin banyak peminatnya. Bahkan sampai ke pelosok-pelosok desa terpencil pun, kitab ini tidaklah asing bagi mereka.
Maka tidak heran banyaknya gorasan tinta para ulama atau cendekiawan yang menulis syarah Alfiyah Ibnu Malik. Tidak kurang dari empat puluh orang yang mensyarahi kitab tersebut.
Syarah Kitab Alfiyah Ibnu Malik
Pertama, syarah dari kitab Alfiyah Ibnu Malik ditulis langsung oleh putranya, yaitu Muhammad Badruddin. Karangan ini banyak mengkritik kitab karya ayahnya, seperti kritik rentang uraian maf’ul multaq, tanazu’ dan sifat mutasyabihat. Badruddin juga turut mengarang bait Alfiyah tandingan yang ia ambil dari ayat Al-Qur’an.
Melihat karya Badraddin tersebut banyak juga ulama ahli nahwu yang tidak setuju. Artinya menurut mereka tidak semua teks Al-Qur’an bisa kita sesuaikan dengan kaidah ilmu nahwu yang sudah dianggap baku oleh para ulama. Namun terlepas dari itu, banyak pula ulama yang menulis hasyiyah untuk menanggapi syarah kitab Badruddin tersebut, seperti karya Ibnu Jama’ah, Al-Ainy, Zakaria al-Anshary, Al-Suyuthi, Ibnu Qosim al-Abbadi, dan Qadli Taqiyuddin ibn Abdulqadir al-Tamimy.
Selain Badruddin, ada juga ulama yang menyarahi kitab Alfiyah Ibnu Malik, yaitu Al-Muradi, Ibn Hisyam, Ibnu Aqil, dan Al-Asymuni. Di antara ulama di atas yang men-syarahi kitab Alfiyah Ibnu Malik, nama Ibnu Aqil tidaklah asing lagi bagi para santri. Ibnu Aqil adalah ulama ahli nahwu yang lahir di Aleppo dan pernah menjabat sebagai penghulu besar di Mesir, karya tulisnya sangat banyak, tetapi yang terkenal adalah Syarah Alfiyah Ibnu Aqil.
Syarah ini sangat sederhana dan mudah terpahami oleh orang pemula dalam mempelajari ilmu Nahwu dan Sharaf. Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyah secara metodologis, sehingga dapat terungkap apa yang sudah Ibnu Malik sampaikan di dalam kitabnya.
Kitab Syarah Alfiyah Ibnu Aqil banyak dikaji oleh para santri yang tersebar di seluruh pesantren yang ada di Indonesia. Terhadap kitab syarah ini, ada para ulama yang berusaha menulis hasyiyahnya, seperti Hasyiyah ibnu al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri, Hasyiyah al-Suja’I, dan Hasyiyah al-Khudlariy.
Kitab Alfiyah Ibnu Malik memang sangat sakral dan banyak mengandung hikmah, barokah tersendiri bagi siapa saja yang mengkajinya. Maka tidak heran sampai sekarang kitab tersebut masih sangat mashur. []