Mubadalah.id – Perempuan pembela hak asasi manusia yaitu semua perempuan dan anak perempuan yang bekerja pada isu HAM dan orang-orang dari semua gender yang bekerja untuk mempromosikan hak-hak perempuan serta hak-hak yang terkait dengan kesetaraan gender. Terutama pada momentum 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP).
Masyarakat sipil yang mungkin juga tidak mau mengidentifikasi diri sebagai pembela HAM. Atau mereka yang bekerja di bidang HAM non-tradisional seperti jurnalis, pekerja kesehatan, aktivis lingkungan, aktor pembangunan dan kemanusiaan dan lain sebagainya.
Pembatasan dan serangan terhadap ruang sipil mempengaruhi semua pembela HAM. Namun kelompok ini kerap menajdi target dan menghadapi hambatan, risiko, pelanggaran. Selain itu dampak tambahan dan spesifik yang terbentuk oleh latar belakang suatu kelompok, dan identifikasi. Atau berafiliasi dengan kelompok apa serta isu apa yang sedang mereka perjuangkan.
Mengenal Istilah Perempuan Pembela HAM
Peran perempuan pembela HAM adalah hal yang penting dalam pendampingan dan pemenuhan akses layanan keadilan. Namun sayangnya, perlindungan terhadap PPHAM sampai saat ini belum terpenuhi. Selain perlindungan dari ancaman, perlindungan terhadap hak-hak PPHAM seperti hak atas ekosob dan hak sipol juga merupakan salah satu hal yang penting untuk kita perhatikan. Oleh karena itu kita membutuhkan adanya mekanisme perlindungan bagi PPHAM dari negara.
Beragam bentuk tantangan yang mereka hadapi di antaranya diskriminasi berbasis gender, kekerasan berbasis gender, menargetkan anggota keluarga dan orang yang dicintai, kampanye pencemaran nama baik, stigmatisasi dan pengucilan hingga kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang sedang marak terjadi sekarang ini. Sepanjang 2022, wacana dan diskusi mengenai kekerasan berbasis gender online terus berkembang di Indonesia.
Berbagai macam kajian terkait dengan jenis kekerasan online ini dirilis pada tahun ini. Termasuk terkait dengan kekerasan seksual berbasis elektronik yang termuat di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Di sisi lain, upaya untuk meningkatkan aksesibilitas informasi terhadap isu ini untuk kelompok marginal seperti komunitas disabilitas netra dan tuli juga mereka lakukan.
16 HAKTG
Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Berbasis Gender (HAKTG) merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan berbasis gender di seluruh dunia. Gerakan ini pertama kali digagas oleh Women’s Global Leadership Institute pada tahun 1991 yang disponsori oleh Center for Women’s Global Leadership di Inggris.
Pada 25 November terpilih sebagai tanggal dimulainya 16 HAKBG, sebagai penghormatan terhadap meninggalnya Mirabal bersaudara (Patria, Minerva dan Maria Teresa) di tahun 1960. Mereka merupakan seorang intelektual yang memperjuangkan demokrasi dan keadilan.
Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung selama 2 minggu hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Rentang waktu tersebut terpilih dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan berbasis gender dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan berbasis gender merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Polemik yang terjadi sekarang yakni karena sudah adanya payung hukum yang memiliki perspektif korban. Namun belum terimplementasi secara baik di kalangan masyarakat. Kesadaran perempuan untuk melaporkan kekerasan yang ia alami terus meningkat. Dan akan semakin meningkat dengan disahkannya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Sayangnya, kemampuan dan sumber daya untuk menangani pengaduan tersebut masih kurang. Hambatan penanganan kasus kerap lembaga layanan maupun Komnas Perempuan keluhkan. Hal ini akibat keterbatasan sumber daya, akses ke teknologi informasi, fasilitas rumah aman hingga ketersediaan anggaran. Padahal seharusnya kita butuh respon cepat atas setiap pengaduan kasus yang masuk.
Strategi Kampanye
Penerapan strategi dalam kegiatan kampanye 16 HAKTG tentu sangat beragam di setiap tempat. Hal ini karena terpengaruh oleh temuan di masing-masing tempat atas kondisi ekonomi, sosial, dan budaya serta situasi politik setempat. Strategi apa yang bisa kita laksanakan?
Misalnya dengan meningkatkan pemahaman mengenai kekerasan berbasis gender sebagai isu hak asasi manusia di tingkat lokal maupun nasional. Memperkuat kerja-kerja di tingkat lokal dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Membangun Kerjasama yang lebih solid untuk mengupayakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di tingkat lokal dan internasional.
Lalu, mengembangkan metode-metode yang efektif dalam upaya peningkatan pemahaman publik sebagai strategi perlawanan dalam gerakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Menunjukkan solidaritas kelompok perempuan dalam melakukan upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Kemudian, membangun gerakan anti kekerasan terhadap perempuan untuk memperkuat tekanan dari kepentingan tertentu. Tujuannya agar melaksanakan dan mengupayakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Mengaitkan dengan Situasi Sekarang
Hingga saat ini, kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi dan mewujud dalam berbagai bentuk. Berangkat dari sudut pandang kaum perempuan sebagai pekerja maupun sebagai pegiat sosial. Misalnya saja berbicara soal kekerasan dan pelecehan yang menyasar seksualitas dan tubuh. Ataupun dengan situasi kerja lingkungan di tempat tinggal yang menjerat perempuan.
Dalam situasi krisis yang kita tandai salah satunya dengan menurunnya daya beli masyarakat. Lalu lesunya ekonomi akibat pandemi dan lain sebagainya. Sehingga menghantam sektor padat karya maupun sektor usaha lainnya yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan. Kondisi di tahun depan kita perkirakan akan mengalami PHK besar-besaran karena menurunnya permintaan barang tersebut.
Faktanya, PHK telah terjadi secara massif melalui beragam bentuk. Salah satu diantaranya dengan mengikis atau menghilangkan status kerja sebagai karyawan tetap. Di mana sering kita kenal sebagai istilah pemutihan dan pemendekan kontrak kerja. Kebutuhan untuk tetap mempertahankan pekerjaan di tengah pandemi tidaklah memberi banyak pilihan untuk menerima tawaran tersebut.
Dalam situasi krisis di mana jurang kemiskinan semakin melebar, kaum perempuan sebagai kelompok yang sedari dulu sudah dimiskinkan. Adalah kelompok pertama yang akan kehilangan pekerjaan dan terakhir mendapatkannya kembali. Pertanyaan refleksi di akhir tulisan ini, bagaimana kita bisa menjawab dampak krisis global yang nyata masyarakat alami. Khususnya bagi kaum perempuan yang paling terkena imbasnya? []