Pada akhir bulan Mei, aktor kawakan Dwi Sasono tertangkap Polres Jakarta Selatan akibat penyalahgunaan obat terlarang jenis ganja. Istrinya, Widi Mulia sempat diam, karena merasa tidak tahu dengan apa yang telah dilakukan Dwi, namun akhirnya Widi pun angkat bicara.
Di laman instagramnya, Widi mengatakan sebagai ibu pekerja ia ingin terus berkarya, demi ketiga anaknya dan juga kesembuhan lahir batin Dwi. Widi berharap, agar Allah senantiasa memberinya kebahagiaan dan mampu melewati cobaan hidup.
Sementara itu, saat menjadi tamu di kanal youtube “Close The Door Corbuzier” milik Deddy Corbuzier edisi 18 Juni 2020, Widi mengungkapkan jika apa yang tengah menimpa keluarganya kini tak lepas dari situasi pandemic covid 19. Di mana sebagai seniman, mereka berdua harus menjalani protokol kesehatan selama pandemi, dengan di rumah saja, tanpa pekerjaan pasti, dan berkurangnya penghasilan, sehingga terganggu secara kesehatan mental.
Apa yang menimpa keluarga Dwi dan Widi mungkin juga banyak dialami oleh pasutri dan keluarga lain di dunia, termasuk Indonesia. Karena pandemic covid 19 ini bersifat global, sehingga relasi pasutri perlu banyak menyesuaikan diri, dan bagaimana mengatur waktu, serta keuangan keluarga. Mau tidak mau, ketentraman dan kebahagiaan keluarga akhirnya dipertaruhkan.
Ketika pasutri tak mampu mengelola emosi dan menyelesaikan masalah, maka perceraian menjadi solusi akhir. Sehingga tak heran, menurut data di Pengadilan Agama 1A Kota Semarang, sebagaimana yang dilansir cnnindonesia.com, tercatat kenaikan drastis kasus perceraian selama masa pandemi. Kenaikan kasus hingga 3x lipat itu disinyalir disebabkan oleh masalah ekonomi dalam rumah tangga.
Jika menilik kasus Dwi dan Widi, atau kasus serupa yang dialami oleh pasutri lain, akan mengingatkan kembali pada tujuan pernikahan, sebagaimana yang tertulis dalam Buku Qiraah Mubadalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, bahwa kebahagiaan dalam perkawinan itu terkait dengan hal-hal biologis (jamal), ekonomi (mal), sosial (hasab), keluarga (nasab), dan moral-spiritual (din).
Empat hal pertama adalah lumrah menjadi tujuan pernikahan bagi setiap orang, tetapi level kualitas dan kuantitasnya naik turun dan bisa timbul tenggelam, tergantung pada usia, kesehatan, kesempatan, pengalaman, dan juga terkadang pada nasib.
Seseorang yang awalnya di usia muda, terlihat cantik dan ganteng, seiring bertambah usia, mulai ada perubahan, apalagi jika diterpa musibah sakit dan kecelakaan. Bisa juga sebaliknya, seseorang yang pada awalnya terlihat biasa, seiring dengan kemajuan kondisi ekonomi, ia terlihat semakin menarik.
Begitu pula dengan kepemilikan harta dan materi, kedudukan sosial, dan keluarga, bisa naik turun, atau biasa saja. Jika tujuan ketentraman pernikahan hanya dikaitkan pada empat hal di atas, yang ia bisa timbul tenggelam, maka ikatan nikah akan mudah goyah jika terjadi penurunan dan kekurangan pada hal-hal tersebut.
Untuk itu, menurut Dr. Faqih, diperlukan ikatan penguat yang lebih fundamental yang bersifat komitmen moral spiritual (din) yang mengejawantah dalam perilaku dan akhlak mulia. Ikatan penguat ini diharapkan bisa memperkuat tali pernikahan dan komitmen berumah tangga agar tetap kokoh, sekalipun empat hal tujuan dari pernikahan, yakni biologis, harta, keluarga dan kedudukan sosial mengalami penurunan.
Empat hal tujuan ini, ditambahkan Dr. Faqih, tentu saja baik dan bisa memudahkan hidup memperoleh ketenangan dan kebahagiaan dalam berumah tangga. Tetapi jika tidak ditopang oleh komitmen moral spiritual (din), ia bisa mudah rapuh, dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi boomerang di tengah perjalanan kehidupan perkawinan.
Dwi dan Widi tengah dalam kondisi masa penurunan dari tujuan pernikahan ini. Bisa jadi, kita dan anda semua yang menjalani kehidupan rumah tangga, pun pernah atau sedang mengalaminya. Sebelum mengambil keputusan penting, terus bersama mempertahankan keluarga, atau pergi meninggalkan dan memilih berpisah, ada baiknya merefleksikan diri dan memaknai kembali relasi pasutri yang selama ini sudah dijalani.
Widi Mulia memilih tetap berada di samping Dwi Sasono, menerimanya kembali karena cinta, dan tahun-tahun yang telah dilewati bersama. 13 tahun usia pernikahan dan kehadiran tiga buah hati menjadi alasan, untuk tetap mempertahankan keluarga. Karena hidup tak selamanya manis, begitu rasa pahit datang, nikmatilah anggap sebagai obat yang akan menjadi penguat untuk langkah baru di kehidupan selanjutnya. []