• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Menolak Poligami: Ibadah kok Harus Menyakitkan Kita, Sih?

Dengan memiliki pekerjaan dan independensi, maka seorang perempuan tidak akan bergantung secara ekonomi terhadap suami. Karena kabarnya banyak istri “terpaksa” menerima poligami dengan alasan terpojok pada masalah ketergantungan secara ekonomi.

Maylitha Luciona Demorezza Maylitha Luciona Demorezza
15/03/2021
in Keluarga
0
Poligami

Poligami

452
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Dari pada berselingkuh atau zina, lebih baik poligami.”

Mubadalah.id – Seringkali para pelaku poligami atau perempuan yang menerima pernikahan poligami menjadikan dalih tersebut untuk mengesahkan praktek poligami. Dan menjadikannya argumen untuk mengubah perspektif negatif mengenai poligami. Tanpa disadari ungkapan tersebut mensejajarkan pernikahan yang dimaknai sebagai peristiwa sakral dengan perselingkuhan dan perzinaan yang jelas-jelas melanggar syariat agama.

Kita perlu menelaah lebih dalam apakah dengan dilonggarkannya hukum poligami, angka perzinaan, pelacuran, prostitusi, dan perselingkuhan menurun? Nampaknya, belum kita temui adanya data statistik atau laporan penelitian yang memperkuat ungkapan tersebut.

Baik dalam konsep maupun penerapannya, poligami masih menjadi topik yang kontroversial hingga sekarang. Sebagian masyarakat yang mendukung poligami berkelit dengan menganggap poligami sebagai hal yang paling vital dalam mencapai derajat kesholihan seseorang. Lantas ia menjadikan dalil-dalil agama sebagai landasan legitimasi terhadap praktik poligami.

“Poligami adalah sunnah Nabi” adalah dalil yang umum dijadikan argumen oleh mereka yang setuju dengan praktik poligami. Tumpuannya adalah nash al- Qur’an dalam surat al- Nisa ayat 3 “Wa in khiftum allaa tuqstuu fil yataamaa fankihuu maa taaba lakum minan nisaaa’i matsnaa wa tsulasaa wa ruba’aa”

Padahal argumen ini adalah satu-satunya ayat yang membahas poligami, yang konteks sebenarnya bukan dalam rangka memotivasi ataupun mengapresiasi. Ayat ini justru meletakkan poligami sebagai konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

Beberapa orang menganggap membolehkan poligami dengan mengambil dasar dalil tersebut. Akan tetapi hal yang perlu diingat adalah bahwa poligami bukan sekedar persoalan teologis, di dalamnya termasuk juga persoalan sosial. Persoalan sosial yang urgent dan krusial yang menyinggung keadilan, tidak ada kekerasan fisik ataupun psikis, dan tidak berbuat dzalim kepada para istri dan anak-anak.

Dalam keadaan dan situasi masyarakat yang dinamis, dalil sunnah memang perlu dibaca dan dikaji ulang. Praktik poligami yang dihubungkan kepada Nabi kala itu merupakan suatu upaya menangani permasalahan sosial, perlindungan anak yatim, janda, dan korban perang. Peristiwa sejarah membuktikan bahwa yang dinikahi Nabi kebanyakan adalah janda yang ditinggal mati suaminya ketika berperang, kecuali Aisyah putri Abu Bakar ra.

Jika kita lihat fakta masa kini, alih-alih melindungi anak yatim dan mempraktikkan sunnah Nabi, perempuan yang dinikahi umumnya masih berstatus gadis. Dari sinilah terlihat adanya distorsi pemahaman ajaran Islam hingga terlahir pemahaman yang keliru dan salah kaprah mengenai ibrah, hikmah, dan tujuan sebenarnya dari suatu ajaran dalam beragama.

Dalam Islam, belum ada kesepakatan para ulama mengenai kedudukan poligami. Ulama al- madzhib al-arba’ah hanya cenderung mengakui keberadaan poligami. Dan berbeda pendapat mengenai persyaratan poligami. Ada ulama yang membolehkan dan ada pula yang melarang, serta ada pula yang membolehkan akan tetapi dengan persyaratan yang amat ketat.

Dalam bukunya Poligami: Sebuah Kajian Kritis Kontemporer Seorang Kiai, Kiai Husein Muhammad menyatakan bahwa praktik poligami selain melahirkan dampak buruk pada istri, juga berdampak pada psikologis anak. Selain tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang penuh dari sosok ayahnya, dia juga akan merasa tidak memiliki pegangan hidup dari kedua orang tuanya, sehingga bukan tidak mungkin berdampak pada moral dan berpengaruh ketika mereka dewasa.

Seksolog, dr. H. Boyke Dian Nugraha, Sp.OG, MARS, menerangkan dari sisi medis, bahwa poligami juga berdampak pada kesehatan organ reproduksi perempuan. Hasil penelitian medis menerangkan bahwa seorang laki-laki yang kerap bergonta-ganti pasangan dapat beresiko pada kesehatan rahim pasangannya. Resiko penularannya lebih cepat dibanding suami yang hanya beristri satu.

Sebagaimana yang dituliskan Anik Farida pada Menimbang Dalil Poligami, bahwa salah satu di antara faktor terjadinya poligami adalah tingkat pendidikan seorang perempuan, meskipun bukan tidak mungkin seorang laki-laki tetap melakukannya. Dengan tingginya tingkat pendidikan seorang perempuan, maka dia akan semakin berperan dalam meningkatkan ekonomi keluarga. Semakin tinggi pendidikan perempuan, semakin luas juga peluang dia untuk terlibat dalam peningkatan ekonomi dan lingkup kerja.

Dengan memiliki pekerjaan dan independensi, maka seorang perempuan tidak akan bergantung secara ekonomi terhadap suami. Karena kabarnya banyak istri “terpaksa” menerima poligami dengan alasan terpojok pada masalah ketergantungan secara ekonomi.

Singkat penulis, membuka peluang dan kesempatan luas bagi perempuan dalam mengakses pendidikan dan karir merupakan salah satu cara menekan angka poligami di lingkungan masyarakat. Upaya yang seperti ini harus terus menerus berkelanjutan. Kendati demikian, tidak akan selesai dengan waktu yang singkat. Tetapi perlu ada kebijakan tegas yang dapat memperkecil kemungkinan keberlangsungan hidup yang tidak bertanggung jawab. []

Tags: Hukum IslamkeluargaKesalinganMonogamiperkawinanpoligami
Maylitha Luciona Demorezza

Maylitha Luciona Demorezza

Seorang Pembelajar dan Anggota Puan Menulis

Terkait Posts

Kekerasan Seksual Sedarah

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

19 Mei 2025
Keberhasilan Anak

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

17 Mei 2025
Pendidikan Seks

Pendidikan Seks bagi Remaja adalah Niscaya, Bagaimana Mubadalah Bicara?

14 Mei 2025
Mengirim Anak ke Barak Militer

Mengirim Anak ke Barak Militer, Efektifkah?

10 Mei 2025
Menjaga Kehamilan

Menguatkan Peran Suami dalam Menjaga Kesehatan Kehamilan Istri

8 Mei 2025
Ibu Hamil

Perhatian Islam kepada Ibu Hamil dan Menyusui

2 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version