• Login
  • Register
Minggu, 6 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Menuju Fikih Kekerasan Seksual Part III

Hal ini tentu dengan tujuan menumbuhkan kesadaran kepada seluruh umat muslim bahwa isu kekerasan seksual bukanlah hal yang tabu atau kebarat-baratan, melainkan kasus yang syarat akan madharat. “La darara wala dirar“, tidak ada satupun kemudharatan atau bahaya yang dibenarkan oleh Islam.

Ayu Rikza Ayu Rikza
30/11/2020
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
363
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Sebagai agama yang kamil, Islam telah mengatur larangan melakukan kekerasan seksual. Larangan ini berlaku kepada seluruh gender pemeluknya dan tidak terbatas pada status yang disandangnya.

Allah menegaskan larangan berbuat kezaliman—di mana kekerasan seksual menjadi bagian darinya—pada sebuah hadis: “Wahai hamba-hamba-Ku, Aku haramkan kezaliaman terhadap diri-Ku,—dan Aku jadikan kezaliman itu juga haram di antara kamu,—maka janganlah kamu saling menzalimi satu sama lain.” (Hadits Qudsi, Sahih Muslim, kitab al-Birr wa ash-Shilah wa al-Adab, no. Hadits: 4674).

Allah begitu mengharamkan kezaliman atas zat-Nya dan amat membenci laku-laku kezaliman sehingga mengharamkannya kepada kita. Sebagai manifestasi atau tajalli Allah, hendaknya kita juga memiliki kesadaran bahwa, bertindak zalim seperti melakukan kekerasan seksual sama sekali tidak mencerminkan bentuk ketakwaan dari penghambaan kita.

Ketakwaan di sini berarti memelihara diri dari perbuatan yang membawa kita ke neraka atau melanggar larangan-larangan-Nya. Pemeliharaan ini adalah bentuk manifestasi keimanan seorang muslim sebagaimana firman Allah ‘Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Di dalamnya ada malaikat yang sangar dan keras. Mereka tidak pernah mendurhakai Allah. Justru, mereka selalu patuh menjalankan segala perintah Allah.” (QS At-Tahrim: 6).

Larangan bertindak zalim ini mengisyaratkan komitmen Islam untuk menghapus kekerasan seksual. Adapaun dalam aspek pencegahan kekerasan seksual—sebagaimana pencegahan berbuat zina, penulis melihat bahwa Islam menerapkan prinsip syariat dua arah. Pertama, ada pencegahan yang bersifat musytarok atau umum dikenakan kepada hamba laki-laki dan perempuan. Pencegahan musytarok ini berlaku pada larangan berbuat aniaya sebagaimana yang sudah penulis jelaskan dan perintah untuk menjaga pandangan dan memelihara kemaluan (hasrat seksual) masing-masing.

Baca Juga:

Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

Perintah menjaga kemaluan tidak dikhususkan kepada gender tertentu, tetapi secara keseluruhan. Kita bisa melihat perintah ini dalam teks untuk laki-laki dan perempuan sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nur ayat 30-31. “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS An-Nur ayat 30)

“Dan katakanlah kepada wanita beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki mereka, atau putera saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan –pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS An-Nur ayat 31)

Hikmah dari ayat di atas adalah bahwa potensi melakukan aniaya dalam orientasi seksual bisa saja dilakukan oleh gender manapun. Tentu kita tidak bisa melupakan bahwa laki-laki pun juga dapat menjadi korban kekerasan seksual sebagaimana perempuan.

Fenomena perdagangan manusia yang menargetkan laki-laki muda, mairil, nyampet, kasus-kasus Reynhard Sinaga di Inggris, hingga pemerkosaan dan pelecehan terhadap laki-laki jamak kita temui dewasa ini. Untuk itu, Islam begitu mewanti-wanti bahaya yang ditimbulkan dengan memerintahkan seluruh gender agar dapat menahan diri dari syahwat atau hawa nafsunya masing-masing.

Selain itu, terdapat perintah mukhtas yang dikhususkan kepada individu dengan fungsi yang penulis tilik dari konsep menarik milik mazhab Maliki, yakni “sadd ad-dara’I” (menutup jalan). Perintah mukhtas ini berfungs untuk menutup fungsi atau hal-hal yang mendorong ke arah sesuatu yang sifatnya mudharat dengan tujuan untuk menghindari kerusakan yang lebih besar.

Salah satunya ialah dengan perintah menutup aurat bagi perempuan sebagaimana perintah dalam Surat An-Nur ayat 31 di atas dan kepada laki-laki sebagaimana hadis dari Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi radhiallahu’anhu.

“Wahai Rasulullah, mengenai aurat kami, kepada siapa boleh kami tampakkan dan kepada siapa tidak boleh ditampakkan?

Rasulullah menjawab: “tutuplah auratmu kecuali kepada istrimu atau budak wanitamu.”

Mu’awiyah berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang berada di tengah orang banyak yang saling melihat?

Rasulullah menjawab: “Jika engkau mampu untuk menjaga auratmu agar tidak terlihat, maka hendaknya lalukanlah. Yaitu engkau tidak melihat aurat orang lain, dan orang lain tidak melihat auratmu.”

Mu’awiyah berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana jika seseorang sedang sendirian?

Rasulullah menjawab:’Allah lebih berhak untuk malu kepada-Nya daripada kepada manusia.’”(HR. Tirmidzi no. 2794, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Secara khusus, dalam aurat sendiri, Islam melarang setiap individu melihat aurat individu lain. Dalam hadits dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Seorang lelaki tidak boleh melihat aurat lelaki lain, dan wanita tidak boleh melihat aurat wanita lain” (HR. Muslim no. 338).

Menyikapi aksi-aksi kekerasan seksual yang terjadi, hendaklah kepada setiap pelaku kekerasan seksual melakukan taubat atas perbuatan zalim yang dilakukannya dengan mengetahui, menyadari, dan mengakui bahwa kekerasan seksual adalah sebuah dosa, menyesali kekerasan seksual yang telah dilakukannya, dan yang paling penting meya

Namun, pertaubatan sendiri tidak boleh hanya berhenti pada ranah reflektif. Hal ini dikarenakan pada dasarnya pertaubatan akan sebuah dosa (permintaan maaf) tidak menghilangkan konsekuensi hukuman yang meliputinya. Dalam fikih, memang belum ada had pasti mengenai hukuman bagi pelaku kekerasan seksual. Akan tetapi, yang perlu dijadikan dasar adalah bahwa hukuman ditetapkan berdasarkan besar dan kecilnya kesalahan pelaku. Untuk itulah, urgensi kategorisasi kekerasan seksual  dalam fikih telah penulis munculkan dalam tulisan sebelumnya.

Terakhir, pelaku kekerasan seksual memiliki hak untuk diterima kembali di masyarakat setelah usai menjalani pertaubatan dan hukuman. Namun, oleh sebab manusia adalah tempat salah dan lupa, bukan tidak mungkin ia tidak akan mengulangi lagi tindakannya.

Yang dapat kita lakukan kini adalah meneguhkan komitmen tinggi dalam menghapus kekerasan seksual dengan terus mendorong disahkannya RUU P-KS sembari menguatkan pendidikan seksualitas dan keadilan gender Islam. Hal ini tentu dengan tujuan menumbuhkan kesadaran kepada seluruh umat muslim bahwa isu kekerasan seksual bukanlah hal yang tabu atau kebarat-baratan, melainkan kasus yang syarat akan madharat. “La darara wala dirar“, tidak ada satupun kemudharatan atau bahaya yang dibenarkan oleh Islam. Wallahu a’lam bissawab, wailaihil marji’ wal maab.

Tags: Hadits NabiislamKekerasan seksualKesalinganKesetaraanRUU P-KSTafsir AlQur'an
Ayu Rikza

Ayu Rikza

A herdswoman in the savannah of knowledge—but more likely a full time daughter and part time academia.

Terkait Posts

Ancaman Intoleransi

Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi

5 Juli 2025
Gerakan KUPI

Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

4 Juli 2025
Ruang Aman, Dunia Digital

Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

3 Juli 2025
Kebencian Berbasis Agama

Egoisme dan Benih Kebencian Berbasis Agama

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Gerakan KUPI

    Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kholidin, Disabilitas, dan Emas : Satu Tangan Seribu Panah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bekerja itu Ibadah
  • Menemukan Wajah Sejati Islam di Tengah Ancaman Intoleransi dan Diskriminasi
  • Jangan Malu Bekerja
  • Yang Benar-benar Seram Itu Bukan Hidup Tanpa Nikah, Tapi Hidup Tanpa Diri Sendiri
  • Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID