Mubadalah.id – “Apa yang ada di pikiran kita ketika mendengar kata ‘janda’? Apapun jawaban yang terlintas, adalah buah dari bagaimana otak kita selama ini merepresentasikan istilah dan cara pandang terhadap perempuan. Dalam rangka peringatan International Widows Day setiap 23 Juni, saya ingin menyoroti tentang bagaimana masyarakat (dan tentu saja media) memandang perempuan dengan status janda, baik cerai mati maupun cerai hidup.
Berkat ulah budaya patriarki, posisi perempuan kerap menempati kelas kaum marjinal. Sehingga memunculkan kesenjangan dan ketimpangan antara lelaki dan perempuan dalam bidang sosial, ekonomi, politik, bahkan intelektual.
Dengan segala pembatasan yang ada, perempuan terjebak menjadi objek diskriminasi karena konstruksi patriarki yang menjalar telah membuatnya dipandang sekadar sebagai manusia dengan peran domestik. Manusia yang hanya bisa menunggu, mengharapkan, dan menerima begitu saja apa yang telah terberi.
Tak pelak hal tersebut pun membuat perempuan janda turut mengalami stigma berlapis. Tak cukup hanya karena sebagai perempuan itu sendiri, tetapi juga sebagai perempuan yang pernah menikah lalu kemudian ditinggalkan. Seolah ia sendiri tak lagi bermakna tanpa ada lelaki di kehidupannya. Seolah menjadi ibu tunggal adalah sebuah kesalahan dalam sistem sosial.
Stigma Negatif Status Janda
Sayangnya, stereotip negatif tentang status janda juga turut dipertebal oleh narasi pemberitaan di media yang kerap mengobjektifikasi janda sebagai sosok yang erat dengan seksualitas.
Mahy, Winarnita, & Herriman (2016) dalam penelitiannya mengatakan bahwa janda muda dianggap lebih berpengalaman secara seksual dan penuh birahi. Penelitian dengan tajuk “Presumptions of promiscuity: reflections on being a widow or divorcee from three Indonesian communities” tersebut juga menyebutkan bahwa laki-laki cenderung menganggap janda sebagai sosok yang lemah dan dapat dimanfaatkan untuk memuaskan libidonya.
Sementara itu, beberapa perempuan menikah menganggap janda adalah ancaman serius bagi stabilitas pernikahan mereka karena berkaitan dengan kesetiaan suami. Alhasil, stereotip ini pun membuat para janda yang juga seorang ibu tunggal mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan bahkan ikut terpinggirkan di lingkungannya.
Menyandang status janda karena suami meninggal dunia masih terkesan terhormat ketimbang menjadi perempuan janda karena perceraian. Kemungkinan menjadi pergunjingan, mendapat perlakuan tidak adil, dianggap remeh bahkan menerima tuduhan macam-macam adalah bagian yang ditanggung perempuan bercerai. Selain itu mereka juga harus membesarkan anak-anaknya seorang diri.
Hidup sebagai janda merupakan hal yang sulit karena di satu sisi mereka harus bertanggung jawab untuk menjadi orang tua tunggal bagi anak-anaknya, dan di sisi lain mereka merasakan beban psikologis dari masyarakat yang umumnya menganggap kehidupan menjanda sebagai hal yang negatif.
Status Janda Bukan Posisi Menguntungkan
Menyandang status janda bukanlah posisi yang menguntungkan bagi perempuan secara biologis, psikologis, maupun sosiologis. Kondisi yang melingkupi diri kaum perempuan seringkali mengundang bargaining position kaum ini ketika berhadapan dengan kaum pria.
Penempatan kaum janda kadang sebagai perempuan pada posisi yang tidak berdaya, lemah, dan perlu kita kasihani sehingga dalam kondisi sosial budaya yang patriarki seringkali terjadi ketidakadilan terhadap kaum perempuan, khususnya kaum janda.
Mengutip Databoks Katadata, Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan terdapat 447.743 kasus perceraian selama 2021. Angka tersebut meroket drastis dibandingkan 2020 dengan 291.677 kasus perceraian. Sebagian besar penggugat cerai merupakan istri dengan alasan situasi ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, hingga poligami.
Dalam kehidupan bermasyarakat, konstruksi sosial sangat didominasi oleh pandangan laki-laki, dan cenderung menempatkan perempuan sebagai kelas dua atau subordinat, sehingga tak bisa bikin keputusan sendiri. Hal inilah yang melahirkan ketidakadilan gender.
Kimmel (1980) menyebutkan bahwa orang tua tunggal perempuan menghadapi kesulitan mendapatkan pendapatan yang cukup, mendapatkan pekerjaan yang layak, pembayaran biaya anak dan kebutuhan lainnya. Pernyataan itu kemudian menguak kebenaran mengapa kebanyakan janda di Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Hal itu yang kemudian menyebabkan banyak anak-anak terancam tidak mendapatkan pendidikan yang layak.
Mengapa stigma yang terbentuk di masyarakat terhadap ibu tunggal kerap mengarah pada hal buruk? Mengapa kelompok tersebut amat rentan menjadi bahan objektifikasi dan penyudutan dari media dan masyarakat sekitar?
Hal tersebut ternyata berkaitan dengan kegagalan media massa untuk merepresentasikan perempuan secara adil dan komperhensif. Hal tersebut tersampaikan pakar media Ott dan Mack dalam teori analisis feminis. Teori tersebut menekankan bagaimana media mengakomodir distribusi kekuasaan dan kekuatan yang tidak adil terhadap perempuan. Lambat laun, hal itu mendorong lahirnya objektifikasi terhadap perempuan sebagai turunan dari inferioritas yang media bangun ketika merepresentasikan sosok perempuan.
Objek Estetis
Objektifikasi secara seksual dan emosional tidak hanya menimpa kelompok janda dan para ibu tunggal. Perempuan secara umum juga turut menjadi sasaran hal tersebut. Hanya saja, kaum janda dan ibu tunggal kerap dianggap sebagai perempuan pada posisi yang lemah, tidak berdaya, dan perlu dikasihani sehingga sering kali terjadi ketidakadilan terhadap mereka.
Media massa juga memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan stigma tersebut untuk mengobjektifikasi status janda dan ibu tunggal secara seksual. Profesor Jurnalisme, Linda Steiner, dalam “New Approaches and Reconsiderations Feminist Media Theory” mengungkapkan bahwa media tidak bisa merepresentasikan perempuan secarara akurat.
Tidak ada media yang tidak tergiur untuk mengobjektifikasi perempuan dengan memfokuskan visualisasi pada bagian-bagian tubuh seperti bibir, dada (payudara), dan kaki untuk kepuasan para penonton laki-lakinya.
Pemilihan judul-judul berita yang sensasional mengenai janda dan ibu tunggal dilakukan media untuk memprovokasi perhatian atau membangkitkan respons emosional tertentu pada khalayak. Media turut menyumbang aspek pendukung objektifikasi terhadap perempuan.
Terdapat anggapan bahwa citra perempuan yang tersebar media massa mencerminkan dan mengekspresikan kepedulian laki-laki. Cara pandang semacam itu gagal untuk mengenali, baik unsur-unsur bahasa dalam representasi yang lebih kompleks, maupun kebutuhan untuk mengidentifikasi sebuah cara pandang perempuan yang spesifik dan estetik,
Diskriminasi budaya menyebabkan adanya kekerasan terhadap perempuan. Diskirminasi ini dapat teranalisa melalui bahasa dan seni yang menindas dan mendominasi perempuan.
Sudah banyak pakar bahasa dan ilmu-ilmu sosial lain yang mempermasalahkan adanya ketimpangan gender dalam penggunaan bahasa kita sehari-hari baik lisan maupun tulisan. Masyarakat juga sering melihat perempuan lebih seperti objek daripada subjek. Hal ini terlihat dalam bahasa yang terpakai untuk menggambarkan perempuan.
Male Gaze dalam Media
Di era digital, kebutuhan informasi tersedia dengan mudah melalui portal berita secara daring. Pada portal berita, beragam konten terproduksi dengan membawa tendensi tertentu. Merujuk pada teori konstruksi realitas sosial media massa, pihak media memproduksi berita berdasarkan tafsirnya terhadap realitas.
Media memiliki pengaruh dan kekuatan untuk membentuk realitas sosial karena media adalah aktor yang mengonstruksi realitas. Dengan demikian dapat kita pahami bahwa produk jurnalistik itu adalah konstruksi peristiwa berdasarkan fakta yang terpahami oleh awak media. Anggapan penting apapun oleh pihak media pada akhirnya akan dianggap penting penting pula oleh masyarakat.
Saya membaca beberapa literatur penelitan mengenai hal ini. Dan ternyata bisa kita tebak bahwa isu status janda mendapatkan pelabelan yang cenderung negatif. Baik dari lingkungan maupun media. Beberapa artikel ilmiah antara lain diskriminasi gender penamaan tanaman “Janda Bolong” oleh media (Dianto, 2021); representasi janda dalam film Indonesia (Millati, 2000); representasi janda dalam pemberitaan di portal berita (Sari, 2018); konstruksi sosial identitas janda muda (Septiani, Adnan & Mujianto, 2018).
Glorifikasi Janda
Penelitian-penelitian tersebut memperlihatkan bagaimana media turut memelihara aspek stigmatisasi janda. Bahkan penelitian Setyawan (2018) juga menunjukkan bahwa media televisi belum menciptakan kesetaraan dan keadilan gender yang terbukti dengan adanya kekerasan simbolik tentang janda dalam tayangan film televisi (FV).
Tak cukup sampai di situ. Pandangan laki-laki pun mereka praktikkan oleh media massa Indonesia ketika mereka melaporkan pembukaan “Bakmi Janda”, sebuah warung mie di Surabaya. Bukankah seharusnya bahasan genre kuliner menjelaskan tentang urusan produk dan prosesnya? Mengapa justru kata “janda” yang mereka gunakan sebagai komoditas oleh pemilik warung justru menjadi pembahasan utama?
Hasil temuan oleh Dewi dkk. (2018) yang melakukan penelitian tersebut, liputan di media malah membangun wacana tentang janda dan tawaran kenikmatan seksual. Tiga portal media daring tersebut menggunakan perspektif laki-laki (male gaze) dalam proses produksi berita yang pada akhirnya mengarah pada objektifikasi perempuan janda.
Media memiliki kuasa untuk melakukan konstruksi realita. Konstruksi media atas diri perempuan dari sisi ekonomi memang mampu membentuk economic capital, namun di sisi lain media justru semakin mengukuhkan diri sebagi representasi laki-laki.
Tanpa kita sadari sebenarnya media juga telah memperkuat struktur patriarkal melalui narasi yang tersusun. Ikatan tradisional perempuan dengan ranah privat, dengan segala atribut yang melekat pada sisi ‘kewanitaannya’ semakin mempertegas dan menguatkan penegasan orientasi pembedaan ikatan tradisional dengan laki-laki. Perempuan umumnya terposisikan sebagai korban, tertindas, teraniaya dan lemah.
Media Adil Gender
Di balik keprihatinan atas realita industri media yang terjadi saat ini, saya pun menemukan ada beberapa media alternatif yang mempraktikkan jurnalisme yang inklusif, beragam dan berorientasi solusi. Semua artikelnya yang membahas janda selalu menempatkan janda sebagai perempuan yang terhormat sekaligus berdaya.
Saya sangat berharap media arus utama pun bisa sama baiknya dalam membuat narasi yang tidak mendiskreditkan status sosial janda di tengah masyarakat. Semoga tidak ada lagi dominasi patriarkis yang menyelimuti alam pikiran jajaran keredaksian dan manajemen media. Media sebaiknya menjalankan fungsinya untuk turut mendukung kritik sosial atas sistem patriarki sekaligus memproduksi konten yang lebih ramah dan adil gender.
Sebagai anggota dari masyarakat, mari kita bersama mendisrupsi narasi dominan tentang viktimitas terkait status janda dan ibu tunggal! Mari kita tantang paradigma dominan tentang heteronormativitas yang selama ini merasuk dalam gagasan rumah tangga dan keluarga versi tradisional! Selamat Hari Janda Internasional!