Di samping itu, jika tugas-tugas menanam dan merawat tanaman disandarkan pada pihak laki-laki dan perempuan. Maka pengkotak-kotakan pekerjaan feminim dan maskulin tidak akan terus berkembang.
Dengan begitu pada akhirnya keduanya bisa saling bekerjasama dalam melakukan perawatan bumi, salah satunya menanam dan merawat padi.
Mubadalah.id – Beberapa hari yang lalu saya berkunjung ke Desa Pasawahan Kabupaten Kuningan. Kebetulan waktu itu saya hendak mengunjungi teman-teman mahasantriwa SUPI (Sarjana Ulama Perempuan Indonesia) ISIF yang tengah melaksanakan kegiatan mini riset.
Dari hasil obrolan sederhana dengan mereka, saya mendengar bahwa mayoritas masyarakat di sana ialah petani padi. Uniknya kegiatan ekonomi tersebut dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
Sehingga sekilas kita akan melihat bagaimana potret kebersamaan suami dan istri dalam mengelola tanah pertanian yang mereka miliki. Atau mungkin pemandangan yang menyenangkan ketika pekerjaan-pekerjaan di sawah dilakukan oleh buruh laki-laki dan perempuan.
Sebagai perempuan yang lahir dan besar di keluarga petani, saya sangat senang mendengarkan cerita mereka tentang kondisi masyarakat Desa Pasawahan tersebut. Sebab situasi seperti itu mengingatkan saya pada suasana di kampung Garut tempat saya lahir.
Namun dibalik cerita-cerita indah tersebut, ada satu hal yang cukup membuat saya merenung dan berpikir panjang. Yaitu soal tugas menanam padi yang hanya dilekatkan pada perempuan.
Petani Perempuan
Dari cerita para mahasiswa SUPI saya mendengar bahwa pekerjaan-pekerjaan di dunia pertanian juga ternyata masih ditentukan dengan jenis kelamin. Misalnya perempuan tugasnya menyemai benih padi, tebar atau menyebarkan benih ke sawah-sawah yang sudah dibajak, tandur menanam, ngarambet/ngoyos atau membersihkan rumput-rumput liar, dibuat atau bahasa Indonesianya panen dan mengeringkannya hingga bisa digiling menjadi beras.
Sedangkan tugas buruh laki-laki di sawah adalah mencangkul, nampingan atau membersihkan rumput di pematang sawah, mopok galeungan atau membuat batasan antara kotak sawah satu dengan yang lainnya dan membajak sawah dengan kerbau atau saat ini banyak juga menggunakan traktor.
Perbedaan jenis pekerjaan ini sebenarnya tidak masalah jika itu dilakukan karena kapasitas dan kemampuan masing-masing. Namun nyatanya pemisahan jenis pekerjaan di sawah tersebut tidak terlepas dari sistem patriarki.
Di mana perempuan selalu mereka anggap sebagai manusia feminim dan lemah lembut. Sehingga jenis-jenis pekerjaan yang diberikan pada perempuan selalu yang berhubungan dengan perawatan dan pemeliharaan. Salah satunya adalah merawat padi dari mulai penyemaian benih hingga proses panen dan bisa jadi beras.
Upah Buruh Tidak Adil
Hal ini juga ternyata berhubungan dengan pemberian upah buruh tani yang tidak adil. Perempuan karena meraka anggap lemah dan pekerjaan yang ia lakukan sangat feminim, maka ia hanya berikan upah 50 ribu setiap harinya.
Sedangkan laki-laki mendapatkan upah yang lebih tinggi, yaitu 75 ribu. Hal ini karena laki-laki sebagai pencari nafkah utama keluarga dan pekerjaan yang ia lakukan, termasuk pada pekerjaan yang maskulin.
Selain upah yang lebih tinggi, ternyata buruh tani laki-laki juga setiap hari, majikannya mengasih mereka rokok, kopi dan snack ringan.
Perbedaan upah ini lagi-lagi sangat erat kaitannya dengan kontruksi gender yang melekat dengan masyarakat di sekitar. Sehingga menimbulkan pemberian hak upah yang tidak setara. Padahal secara jam dan tenaga yang mereka berdua keluarkan sama. Keduanya berkerja mulai dari jam 7 pagi hingga jam 3 sore.
Adapun soal lebih capek mana, sebenarnya itu tergantung pada cara pandang. Sebab mencangkul dan menanam padi sebenarnya sama-sama pekerjaan yang cukup melelahkan.
Budaya Patriarki: Perempuan Identik dengan Alam
Melihat realitas sosial di masyarakat pertanian ini, saya jadi teringat dengan istilah “feminisasi alam” dalam buku “Asal-usul Ekofeminisme” karya Aurora Ponda.
Dalam buku tersebut, Aurora menyebutkan bahwa pandangan manusia yang kuat dan alam yang lemah tampak sama seperti anggapan budaya patriarki yang melihat laki-laki sebagai yang kuat dan perempuan yang lemah.
Jadi dalam budaya patriarki semacam terdapat identifikasi antara perempuan dan alam, yaitu sama-sama pihak yang lemah. Hal ini semakin kuat oleh pandangan bahwa perempuan yang selalu terpengaruhi emosi tampak seperti alam yang dapat tiba-tiba mengamuk dan menghancurkan peradaban.
Di sisi lain, dalam pengamatan ekofeminisme, budaya patriarki juga membangun anggapan bahwa perempuan sebagai pihak yang bertugas merawat alam. Contohnya kegiatan berkebun, menanam padi atau merawat bunga selalu identik dengan kegiatan perempuan.
Petani jawa, termasuk di Jawa Barat memberikan tugas perempuan untuk memilih benih dan menanam benih. Seperti halnya yang terjadi di masyarakat petani di Desa Pasawahan, Kabupaten Kuningan.
Perempuan Makhluk Lemah
Perempuan adalah pihak yang lemah sehingga banyak orang anggap sebelah mata dalam kemampuannya mengerjakan tugas-tugas yang berat. Seperti mencangkul atau mopok galeungan. Sedangkan tugas menanam dan merawat padi mereka pandang sebagai pekerjaan yang ringan, sehingga mampu perempuan lakukan.
Selain itu, dalam budaya patriarki sebagian orang meyakini bahwa setiap perempuan mempunyai naluri sebagai perawat. Sehingga ia menjadi pihak yang paling cocok dalam merawat alam. Dalam hal ini merawat padi, dari mulai menyemai benih hingga panen dan menjadi beras.
Padahal sebagai manusia, Ester Lianawati dalam buku “Akhir Pejantanan Dunia” menyebutkan bahwa naluri merawat itu bisa kita latih. Sehingga bisa laki-laki dan perempuan miliki. Sebab sifat-sifat feminim yang bisa mendorong seseorang untuk lebih empati dan penuh kasih tidak terjadi begitu saja. Namun itu sesuatu yang perlu pembiasaan.
Di samping itu, jika tugas-tugas menanam dan merawat tanaman kita sandarkan pada pihak laki-laki dan perempuan. Maka pengkotak-kotakan pekerjaan feminim dan maskulin tidak akan terus berkembang.
Dengan begitu pada akhirnya keduanya bisa saling bekerjasama dalam melakukan perawatan bumi, salah satunya menanam dan merawat padi. []