• Login
  • Register
Rabu, 29 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Merebut Tafsir: Seminar Poligami

Di seluruh dunia, apapun latar belakang agama dan keyakinannya poligami adalah praktik dengan ragam penyebab dan dampak, terkait dengan aspek-aspek relasi yang rumit dalam keluarga dan masyarakat.

Lies Marcoes Natsir Lies Marcoes Natsir
17/02/2021
in Publik, Rekomendasi
0
Seminar Poligami

Seminar Poligami

132
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Untuk kedua kali, jagat medsos disinggahi poster aneh, iklan seminar “kiat sukses berpoligami”. Iklan ini tampaknya mengulang jualan tahun lalu. Mungkin karena tak laku, sekarang paket seminar poligami itu mereka obral separuh harga dari tahun lalu.

Ya namanya juga usaha, penjual itu berusaha jual dagangan di waktu yang tepat. Maka ia pun jualan di hari Valentine. Aneh juga, sementara perayaan Hari Valentine mereka tolak, tapi jualan rupa-rupa atribut ungkapan kasih sayang dijual juga. Masalahnya, bagaimana menghubungkan poligami dengan Hari Kasih Sayang? Padahal penyelenggaranya sendiri mengakui seminar ini untuk ngebengkelin hubungan yang salah jalan yang artinya perkawinan poligami jelas bukan lapak untuk urusan kasih sayang.

Pernah saya tulis di Islami.co, Juni 2020, bahwa “seminar” ini cuma jualan “masker penutup malu”. Siapa tak malu berpoligami? Bahkan ustadz kondang pun sampai salman slumun sembunyi-sembunyi sebelum tercium istri tua, atau terendus pemburu berita sensasi infotainment dan menjadi bulan-bulanan pemberitaan, bahkan hingga kini.

Namun melampaui isu recehan seperti ini, soal poligami adalah problem sepanjang masa yang dari kajian apapun, terutama dalam tradisi Islam, bukanlah masalah yang nyaman untuk dibahas. Mau ditolak, terdapat artefak budaya yang berasal dari masa Jahiliyah dan secara normatif kemudian dikoreksi oleh Islam dengan menawarkan keadilan bagi perempuan, janda dan anak yatim piatu. Mau diterima, nyatanya seluruh pembicaraan keagamaan selalu bermuara pada larangan di lihat dari frasa “kalau bisa satu saja, karena untuk berbuat adil itu sulit meskipun kamu menghendaki”.

Dalam pembahasan soal poligami kita dapat mengenali bahwa imajinasi yang terbangun- baik yang setuju (terpaksa setuju) maupun yang menolak, selalu berpusat kepada konsep patriarkal maskulin: bagaimana menanggulangi rasa kebelet naik ke ranjang ke dua, dan seterusnya tanpa mau melepaskan ranjang pertama dan tanpa merasa salah secara syar’i.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Bagaimana Menghentikan Perceraian di Luar Pengadilan?
  • Prinsip Perkawinan Menjadi Norma Dasar Bagi Pasangan Suami Istri
  • Marital Rape itu Haram, Kok Bisa?
  • Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

Baca Juga:

Bagaimana Menghentikan Perceraian di Luar Pengadilan?

Prinsip Perkawinan Menjadi Norma Dasar Bagi Pasangan Suami Istri

Marital Rape itu Haram, Kok Bisa?

Pengalaman Dinafkahi Istri, Perlukah Merasa Malu?

Artinya diskursus poligami ini melulu berpusat kepada problem lelaki yang kehilangan kendali atas kewarasannya ketika tak sanggup menguasai birahinya.  Dan alih-alih berpuasa, sebagaimana dianjurkan, atau memperbaiki bahtera rumah tangga yang oleng,  mereka minta jalan darurat dari agama.

Namun jalan darurat itu  tampaknya tidak mengukur apakah jalan darurat ini aman, nyaman bagi semua yang terseret kedalamnya.  Sebab check list yang tersedia hanya berdasar kepada yang butuh jalan darurat tanpa menimbang penumpang lain yang dipaksa masuk ke gerobak perkawinan poligami itu.

Terpikirkah anak-anak? anak perempuan yang kehilangan kebanggaannya kepada ayahnya? Anak perempuan yang malu bapaknya menyeleweng dari janji perkawinan dengan ibunya?, atau anak lelaki yang merasa tak (lagi) punya teladan sekaligus tak dapat membela ibunya. Terpikirkah perasaan anak-anak itu sebelum mengurus kawin sirri (kebanyakan begitu) dengan istri kedua, ketiga dan seterusnya?

Seminar poligami jualan kue basi ini jelas menyederhanakan aspek rumit dari hubungan-hubungan sosial antar anggota keluarga yang tak bakal dimengerti oleh seminar seperti itu. Penderitaan lahir batin anak-anak dan istri tak dapat diterjemahkan dengan tolok ukur material ketika prasyaratnya bukan bagi yang dikorbankan seperti istri dan anak-anak melainkan untuk si pelaku.

Seminar poligami ini sepertinya membidik peserta perempuan dan laki-laki yang punya masalah dengan perkawinan poligaminya. Bagi perempuan, boleh jadi seminar ini menawarkan kiat-kiat penguat batin dengan mengkapitalisasikan rumus ikhlas dan sabar. Sementara bagi lelaki, dugaan saya, mereka disuguhi kiat kiat cara poligami dengan pakai “masker penutup malu”. Keduanya mungkin juga ditawari “manajemen konflik” tingkat rumah tangga.

Pada kenyataannya, dengan mudah orang dapat bersaksi, pada kebanyakan kasus, poligami adalah sebentuk perkawinan tak normal, baik secara etik, moral, maupun dilihat dari cita-cita terbangunnya keluarga “mawaddah wa rahmah”. Apapun alasannya, praktik itu niscaya memunculkan masalah. Bahwa masing-masing dapat menemukan “hikmah’ itu jelas sebuah ikhtiar batin yang tak mungkin diseragamkan apalagi dalam kiat-kiat seminar.

Dalam kata lain, meskipun perkawinan poligami (dalam Islam) dinilai halal, mereka juga tahu bahwa akal sehat publik dan pertimbangan-pertimbangan etis manusia serta buki-bukti riset empiris menunjukkan perkawinan serupa itu bukanlah hal yang layak dirayakan, apalagi dirayakan sebagai bentuk kasih sayang.

Di luar argumentasi agama, poligami kecil sekali fungsinya untuk mengatasi kemiskinan. Paling jauh ini menjadi pintu darurat untuk menghindari maksiat sambil bertahan ingin tetap menjadi imam. Di seluruh dunia, apapun latar belakang agama dan keyakinannya poligami adalah praktik dengan ragam penyebab dan dampak, terkait dengan aspek-aspek relasi yang rumit dalam keluarga dan masyarakat.

Kerumitan itu kalau hendak diakui secara jujur nyaris tak berpola alias unik. Berjuta kejadian poligami, berjuta pula pola bangunan relasi serta akibat-akibat yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, menyederhanakan kerumitan perkawinan gandeng ke dalam bingkai seminar kiat sukses berpoligami itu menyederhanakan penderitaan.

Banyak perempuan, dengan menimbang anak-anak, menimbang beratnya status janda atau alasan ketergantungan ekonomi, terpaksa menerima perkawinan poligami. Tapi ada pula perempuan yang menganggap poligami adalah jalan pembebasannya agar tak lagi meladeni sang suami, meski dengan itu antar perempuan kemudian saling mengeksploitasi demi sang imam wannabe.

Tak sedikit perempuan dalam perkawinan poligami berjangka lama, berhasil membangun teologi keimanannya tersendiri: belajar ikhlas, sabar semoga penderitaannya menjadi pahala kebaikan bagi dirinya dan anak-anaknya. Akankah juga doa-doa dipanjatkan bagi si pembuat masalah? Wallahu’alam, yang jelas seminar kiat sukses berpoligami serupa itu tak akan sanggup menjawabnya. []

Source: https://rumahkitab.com/merebut-tafsir-seminar-poligami/
Via: https://rumahkitab.com/merebut-tafsir-seminar-poligami/
Tags: lies marcoesMerebut TafsirMonogamiperkawinanpoligami
Lies Marcoes Natsir

Lies Marcoes Natsir

Direktur Rumah Kitab Jakarta

Terkait Posts

Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

28 Maret 2023
Tradisi di Bulan Ramadan

Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

28 Maret 2023
Flexing Ibadah

Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?

28 Maret 2023
Propaganda Intoleransi

Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

27 Maret 2023
Akhlak dan perilaku yang baik

Pentingnya Memiliki Akhlak dan Perilaku yang Baik Kepada Semua Umat Manusia

26 Maret 2023
kitab Sittin al-‘Adliyah

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan

26 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sittin al-‘Adliyah

    Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Islam Pada Awalnya Asing

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Pada Awalnya Asing
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist