Mubadalah.id – Banyak yang telah membicarakan keterhubungan perempuan dengan alam. Di mana yang menjadi pondasi argumen bahwa, di alam yang rusak, perempuan lebih menderita dibandingkan laki-laki. Beberapa di antara yang mengkaji diskurus keterhubungan itu adalah Karen J. Warren, Vandana Shiva, Ariel Salleh, dan Dewi Candraningrum. Diskursus keterhubungan yang mereka kembangkan itu akhirnya mengarah pada argumen “kerusakan alam mendorong aktivisme ibu”.
Bentuk aktivisme ibu dapat kita lihat melalui berbagai kasus konflik lingkungan hidup di Indonesia. Rusaknya sistem lingkungan mengganggu aktivitas ibu yang memerankan gender tradisional. Sebagai catatan awal, Laporan Environmental Performance Index 2022 (EPI) menyatakan Indonesia berada di peringkat ke-164 dari 180 negara yang mereka riset dalam hal pelestarian lingkungan. Dalam skala regional, Indonesia menempati peringkat ke-22 dari 25 negara ASEAN (katadata.co.id).
Kerusakan itu bukan semata-mata karena aktivitas alamiah, melainkan aktivitas industrialisasi yang juga negara sponsori. Prioritas negara dalam mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi penyebab mundurnya pelestarian lingkungan. Selain itu, permisifnya pemerintah terhadap investasi di sektor ekstraksi sumber daya alam memotivasi degradasi alam.
Beberapa contoh, misalnya, konsesi tambang emas di Trenggalek yang mengancam mata air, proyek food estate yang gagal melihat potensi pangan lokal, dan aktivitas PLTU batubara yang mencemari lingkungan. Semua dampak yang industri hasilkan itu mengarah langsung ke aktivitas gender ibu, yakni memastikan kebutuhan domestik: air bersih, makanan, dan kebersihan rumah.
Apropriasi Ibuisme: aktivisme yang dekat dengan peran gender
Menurut Wening Udasmoro and Elisabeth Prügl dalam tulisannya ‘No Matter What— I’ve Got Rights’: Women’s Land Grab Protests in Banyuwangi, East Java (2021), ideologi gender state-ibuism yang orde baru konstruksi, direklaim oleh ibu untuk tampil dalam gerakan sosial. Jika orde baru mendomestikasi ibu/istri untuk mendukung kerja suami dalam pembangunan, maka dalam gerakan sosial ibu berusaha mendukung suami ketika aksi protes, demonstrasi, dan menghadapi preman.
Dalam kasus kerusakan lingkungan, terdapat epistem kekerasan yang kokoh dan tidak terbatas pada kekerasan yang bersifat fisik. Lebih dari itu, epistem kekerasan terhadap perempuan mewujud dalam kerentanan pangan, kehilangan ekonomi, dan kerusakan alam yang disponsori oleh negara dan industri kapitalis. Kondisi itu membentuk kesadaran ibu, sebagai sosok paling dekat dengan ruang domestik, dengan menanyakan “apa makanan yang bisa saya berikan ke anak saya jika pertanian dirampas?”
Udasmoro dan Prügl menunjukkan, para ibu di Banyuwangi digerakkan oleh moral mereka untuk bergabung dalam gerakan sosial. Ibu merasa bertanggung jawab atas ketersediaan makanan bagi keluarga. Sedangkan perampasan lahan pertanian akan menghambat pelaksanaan tanggung jawab tersebut. Atas dasar moral itu, ibu bergabung dalam aksi demonstrasi. Bukan hanya sekadar aksi, tapi ibu juga berkontribusi sebagai peacebuilder dalam aksi di saat laki-laki merencanakan aksi koersif.
Ada perbedaan motivasi antara ideologi ibuisme orde baru dengan maksud ibu dalam studi Udasmoro dan Prügl. Ketika orde baru memposisikan ibu di belakang laki-laki, ibu di Banyuwangi meretas itu dengan ikut andil dalam perencanaan aksi, menyabotasi industri, dan menghadapi preman yang perusahaan bayar. Aksi para ibu itu berhasil menghentikan industri kapuk di Banyuwangi sekaligus menyelamatkan pertanian mereka.
Ragam Cara Ibu Memimpin Aksi
Pengerahan aparat berlebih dalam kasus lingkungan sudah menjadi hal yang majemuk. Ambil saja contohnya kasus di penolakan tambang emas di Sangihe dan tambang quary di Wadas yang menyisakan trauma bagi masyarakat. Termasuk di Banyuwangi, pengerahan aparat bukan hanya “mengamakan” proyek, tapi juga mengintimisadi masyarakat hingga merepresi masa aksi.
Ibu merespon aksi represif itu dengan mengambil alih garis depan aksi dengan maksud meredam tindakan kekerasan. Dalam wawancara Udasmoro dan Prügl, seorang ibu mendapat ancaman penembakan oleh oknum polisi. Jika saja yang oknum tersebut hadapi adalah laki-laki, ia tidak segan langsung menembak. Itu merupakan sisi buruk stereotipe maskulin, di mana ia akan menjadi korban dari maskulinitas itu sendiri. Pengalaman itulah yang mendorong para ibu untuk berada di garis depan ketika aksi, untuk melindungi laki-laki mendapat kekerasan.
Cara ibu memimpin aksi sangat beragam. Seringkali terpengaruh unsur budaya. Misalnya yang Dewi Candraningrum tunjukkan dalam The Spiritual Politics of the Kendeng Mountains Versus the Global Cement Industry (2018), perempuan Kendeng memimpin masa aksi dengan melantunkan tembang dan ritual yang sangat spirituil. Aksi tersebut menyiratkan bahwa kelancaran peran ibu sangat bergantung dengan ketersediaan air bersih di pegunungan Kendeng. Sementara hadirnya industri semen berdampak sebaliknya, yakni sangat potensial menghancurkan sumber mata air yang ada di sana.
Model Kepemimpinan Ibu
Berbagai model kepemimpinan ibu dalam aksi di setiap konflik lingkungan menunjukkan kedekatan peran gendernya dengan alam. Ia memimpin dengan naluri femininitas: kepedulian dan pengasuhan. Demikian pula pergumulan ibu di ruang domestik bukan berarti terdomestikasi sebagaimana konsep housewifization-nya Maria Mies, melainkan ada benang penghubung antara publik dan domestik. Dalam diskursus ini, ibu perlu mengakses ruang publik untuk dapat memenuhi kebutuhan domestik.
Rusaknya alam telah mengganggu lintasan peran gender ibu: publik-domestik. Dari situ aktivisme ibu bermula, yakni melalui proses mengenali aktor-aktor yang mengganggu ruang domestik yang ternyata berasal dari ruang publik: industri kapitalis dan negara. Dengan demikian, aktivisme ibu merentang menembus batas-batas publik-domestik. [] (Bebarengan)