“Morality value dalam diri kita takbisa digantikan menjadi single morality value tapi kehidupan sebagai makhluk social harus meliputi plurality morality value.” Prof. H. M. Amin Abdullah dalam konferensi Sosiologi Agama di Yogyakarta.
Beberapa tahun terakhir, masalah intoleransi di Indonesia kerap terjadi. Mengutip dalam bukunya Charles Kimball berjudul Kala Agama Jadi Bencana, beberapa faktor salah satunya adalah mengklaim kebenaran agamanya dengan kebenaran tunggal. Klaim seperti ini bermula dengan ditandai sikap ekslusif dalam beragama. Sehingga orang yang tidak memiliki pemahaman keagamaan sepertinya harus dimusnahkan.
Dalam kata lain, orang yang memiliki kebenaran tunggal ini menolak nilai moral yang plural. Perlu ditegaskan kemungkinan terjadinya konflik dan kesalahpahaman semakin besar dalam suatu daerah yang ditinggali umat dari agama berbeda.
Dengan kondisi seperti itu maka dialog lintas iman yang egaliter, yang didasari persamaan sebagai insaniyah. Keterbukaan hati untuk mau mendengarkan menjadi sebuah kebutuhan demi menciptakan pemahaman, toleransi, sekaligus menjadi wadah bertukar pikiran untuk relasi yang baik tanpa kecurigaan atau prasangka.
Kita hidup dalam menggunakan nilai-nilai moral atau morality value, di mana dalam kehidupan kita tak bisa dengan single morality value, akan tetapi kita sebagai makhluk social harus memiliki plurality moral value. Jika kita menelisik lebih dalam dengan konteks sekarang fenomena truth claim rawan terjadi hermeneutika disaster. Tentu fenomena kerusakan hermeneutika ini berakibat rawan terhadap konflik.
Dalam Alquran juga dijelaskan bagaimana kita mengenal di dalam perbedaan, seperti dalam kata”lita’arofu” untuk saling mengenal akan perbedaan. Sebuah penggalan ayat 13 surat Al-Hujurat, sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kondisi yang dialami Indonesia ebagai negara yang multikulturalisme. Kesadaran saling mengenal ini juga didasarkan pada dorongan mutual yang bersifat setara, memiliki persamaan, dan kedamaian.
Di Indonesia terdiri berbagai actor dalam proses ini. Diantaranya Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan lembaga pendidikan. Masifnya pertemuan-pertemuan antaragama ini diharapkan menjadi titik utama dalam menjalin toleransi antaragama.
Sampai tahap ini akan berbagi cerita bagaimana peran aktor dialog antaragama. Salah satu yang menjadi fokus tulisan ini adalah aktor dialog dalam lembaga swadaya masyarakat. Di Yogyakarta, penulis berkembang dalam menjalin dialog antar agama.
Tepat bulan Juni lalu penulis menemani kunjungan ibu-ibu gereja Toraja Jakarta ke pondok pesantren Krapyak. Dalam acara ini pertemuan antara para pengurus pondok pesantren dan ibu-ibu gereja Toraja Jakarta ditemani DIAN/interfidei.
Elga Sarapung, sebagai direktur DIAN/InterfideiYogyakarta mengaku senang bisa mendampingi ibu-ibu gereja Toraja Jakarta dalam mendialogkan apa itu Islam, apa itu Pesantren. Kegiatan ini bisa menciptakan iklim kesadaran bersama akan pentingnya duduk dalam satu ruang saling bertukar pikiran tanpa melepas identitas agama masing-masing.
Antusiasme para ibu-ibu gereja Toraja Jakarta ini begitu sumringah dengan sambutan para pengurus pondok. Ada yang berbisik-bisik dengan yang lainnya.
“Eh kita pakai penutup rambut kan, sandalnya dilepas atau nggak nih?” Tanya seorang ibu ke teman-temannya,
Pemandangan yang menyenangkan melihat fenomena “kata bersama” atau kalimatussawa dalam aula pondok pesantren. Elga Sarapung, sebagai pendamping acara ini sekaligus perwakilan dari DIAN/Interfidei juga memberikan sambutan bagaimana toleransi ini ditegakkan. Ia berkali-kali menyebut Gusdur sebagai salah satu tokoh pembangun dialog antar agama-agama.
“Engkau tidak akan bisa mengenal agamamu sendiri jika belum mengenal agama yang lainnya” Ujar Elga Sarapung.
Dalam sambutannya Elga juga menjelaskan bagaimana kiprah tokoh-tokoh pondok pesantren merumuskan sila pertama dalam pancasila. Sehingga berdampak pada hubungan antar agama-agama di Indonesia menjadi hidup dan memiliki eksistensi secara baik. Menilik sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah menjadikan Indonesia sebagai negara Multikuturalisme. Sehingga eksistensi setiap agama memiliki rumah bersama yang toleran.
Pertemuan di atas juga menandakan bagaimana kebenaran mutlak atas agamanya dikesampingkan. Dialog seperti ini harus tumbuh di negara Multikulturalisme seperti Indonesia. Untuk merespon kasus-kasus intoleran dan prasangka-prasangka yang buruk antar agama. Dengan dialog maka kita akan mengenal, mengetahui, da menghargai atas perbedaan.
Tentu saja setiap agama mengamini kedamaian, kehidupan yang toleran di atas perbedaan-perbedaan yang ada. Kehidupan yang beragam rentan dengan adanya konflik horizontal. Sehingga duduk bersama dan berdialog adalah salah satu cara bersikap inklusif terhadap perbedaan. []