Mubadalah.id – Dalam sejarah panjang Islam, nama-nama tokoh besar seperti Hasan al-Bashri, Washil bin Atha’, atau para pendiri mazhab dan tarekat sufi sering disebut sebagai peletak dasar pemikiran Islam klasik. Namun jarang yang tahu, di balik nama-nama itu, terdapat sosok perempuan yang turut membentuk jalan spiritual mereka. Ia adalah Mu’adzah binti Abdullah al-Adawiyah, seorang ahli ibadah dari Kota Basrah yang menjadi guru spiritual Imam Hasan al-Bashri—salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah sufisme Islam.
Basrah, kota yang menjadi pusat intelektual dan spiritual Islam di abad pertengahan, memang dikenal melahirkan banyak tokoh besar. Di kota yang kini masuk wilayah Irak itu, pemikiran rasional Islam sempat tumbuh subur melalui tokoh-tokoh seperti Washil bin Atha’, pendiri aliran Mu’tazilah. Washil sendiri adalah murid Hasan al-Bashri, dan Hasan al-Bashri adalah murid dari seorang perempuan ahli ibadah yaitu Mu’adzah al-Adawiyah.
Dalam buku Spiritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren, KH. Husein Muhammad—ulama dan cendekiawan Muslim Indonesia—mengangkat nama Mu’adzah sebagai figur penting dalam spiritualitas Islam awal. Ia terkenal bukan hanya karena kedalaman ilmunya, tapi juga karena ketekunan dalam beribadah.
Kisah Hidup Mu’adzah
Sejarawan dan ulama klasik Ibnu al-Jauzi menceritakan, Mu’adzah menjalani hidup dengan penuh kesadaran akan kematian. Saat siang tiba, ia berkata, “Ini hariku telah datang, saat aku mungkin akan mati,” maka ia tidak tidur sampai sore.
Ketika malam tiba, ia bergumam, “Ini malamku telah tiba, saat aku mungkin akan mati,” maka ia pun berjaga hingga pagi.
Bahkan pada musim dingin, ia sengaja mengenakan pakaian tipis agar tetap terjaga karena kedinginan. “Aku heran mengapa orang suka tidur, padahal ia tahu bahwa akan ada tidur panjang di ruang tanah yang amat gelap,” ucapnya.
Kisah-kisah seperti ini menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya objek dalam sejarah Islam. Tetapi juga subjek yang aktif membentuk pemikiran dan praktik keagamaan.
Mu’adzah al-Adawiyah adalah satu dari sedikit nama yang tercatat. Namun kemungkinan besar ada banyak perempuan lain yang jejaknya tidak sempat dituliskan sejarah karena budaya patriarki yang mengakar kuat.
Penelusuran sejarah tokoh perempuan penting untuk terus kita lakukan. Hal ini untuk membuka mata kita bahwa otoritas keilmuan dan spiritual dalam Islam tidak hanya milik laki-laki. Tetapi perempuan juga.
Bahkan, di tengah perdebatan soal peran perempuan dalam agama saat ini, kisah Mu’adzah bisa menjadi pengingat bahwa sejak abad-abad awal Islam. Perempuan telah memiliki tempat terhormat sebagai guru bagi para sufi. []