Akun instagram @jharnabhagwani turut bertisipasi dalam #Lathichallenge dengan mengunggah hasil riasan di wajahnya sebagai tutorial lip sync berupa video singkat. Banyak netizen yang terkagum-kagum dengan kreativitas Jharna, termasuk saya.
Rasa kagum itu, mengantar saya berselancar di YouTube mencari lagu yang ada di video tersebut. Dapatlah video “Lathi” lagu karya Weird Genius featuring Sara Fajira. Diunggah pertama kali pada 26 Maret 2020, dan sampai hari ini mencapai 40 juta lebih viewers.
Ramai-ramai orang membicarakanya, di jagat maya ataupun dunia nyata. Lagu yang menggunakan bahasa inggris, dengan selipan Basa Jawa, diiringi musik EDM serta konsep video yang memadukan budaya lokal dan editing yang tak tanggung-tanggung membuat pesan lagu ini sampai ke penonton.
Bagi penonton yang hanya melihat musik videonya, tanpa mencari lirik lagu seutuhnya akan langsung mengerti bahwa kisah dari lagu tersebut perihal relasi yang beracun atau toxic relationship. Iya, saya tak akan membicarakan bagaimana asimilasi budaya tari Jaipong dengan dance kontemporer.
Music Video Lathi itu dibuka dengan seorang perempuan bergaun putih, berdiri sendiri di sebuah ruangan yang berisi serakan dedaunan. Adegan itu diartikan sebagai hati seseorang yang telah lama sunyi dan merasa sepi. Istilah dalam bahasa jawa suwung.
Lalu ada laki-laki gondrong yang datang. Ia memberikan sentuhan dengan kemesraannya dan mengatakan “I love you” di detik 00.41. Tetapi kalimat tersebut justru menjadi rantai yang mengikat perempuan – tokoh utama dalam lagu ini. Ditandai dengan scene sang tokoh utama yang hanya diam, kebingungan dan tubuhnya penuh rantai.
Asap-asap hitam muncul di sekitar kepalanya, sebagai bentuk munculnya kesadaran bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. Ia merasa harus membebaskan dirinya dari hubungan yang abusive .
Kita tentu boleh beranggapan apa saja. Toh, ketika karya sudah dilempar ke publik, karya bebas untuk dinilai. Entah mengapresiasi, mengkritik atau memaknai sendiri maksud dari karya tersebut, pun dengan lagu. Barangkali ada yang mengartikan bahwa asap hitam adalah jelmaan dari roh jahat. Lalu roh itu memasuki tubuh sang tokoh utama. Membuat ia memiliki kekuatan petir sehingga di menit-menit menjelang akhir, ia “membunuh” kekasihnya.
Narasi itu muncul bukan begitu saja datang dari langit. Ada kultur yang mempengaruhi, tanpa sadar tertanam di kepala bahkan ketika melihat hal-hal yang nampak sepele. Kultur patriarki, yang sulit dibayangkan, ia bisa benar-benar runtuh. Perempuan terlihat aneh ketika memiliki kekuatan dan membalas dendam. Konstruksi sosial memosisikan untuk pasif dan bersikap “baik, lemah lembut” dan sudah sepantasnya mengalah. Padahal definisi dari dua kata ajektiva tersebut sangat luas. Dan tentu bias.
Saya mengartikan transformasi dari tokoh utama, adalah manifestasi kesadaran akan diri dan tubuhnya. Sebagai perempuan yang otonom, sah-sah saja keluar dari relasi yang membuat dirinya jauh dari kata nyaman, aman, membahagiakan dan membebaskan. Sulit menumbuhkan kesadaran semacam itu apalagi kalau sudah terlanjur cinta.
Kita pasti tak asing dengan kalimat “aku sayang banget sama dia, aku yakin dia berubah” sementara selama menjalin hubungan terdapat kekerasan fisik, verbal dan psikis. Cinta macam apa yang mengamini kekerasan? Tapi kita memilih diam untuk bertanya perihal cinta, bahkan definisi dari cinta itu sendiri sangat relatif.
Pola yang sama juga kerap ditemukan pada perilaku cemburu, posesif, obsesif dan control sehingga kita tidak mengharaginya sebagai manusia. Sebagai individu yang juga memiliki konsensus. Perilaku cemburu memang perlu dihormati tapi tentu dengan batasan-batasan yang telah disepakati dan rasional.
Kembali ke lagu, ada lirik “kowe ra iso mlayu saka kesalahan / ajining diri saka ing lathi (kamu tidak bisa lari dari kesalahan/ harga diri ada di ucapan” dengan kostum yang sudah berganti, sang tokoh utama terlihat sangat ekspresif. Ia seolah mengungkapkan kemarahannya melalui raut muka dan gerak bibir khas orang memendam amarah.
Tak hanya tokoh utama dalam lagu tersebut. Tetapi ada pula tiga penari perempuan yang mengenakan celana pendek dan baju pendek putih. Tentu saja bukan itu fokus utamanya, tetapi pada make up yang ada pada wajah mereka. Mengingatkan saya pada tokoh Ahmanet dalam film The Mummy. Sekian ratus tahun dimumikan lalu ia bangun dari tidurnya dan membangun kekuatan perlahan-lahan. Mereka memiliki kesamaan cerita: kesadaran akan balas dendam.
Director tak mungkin memasukkan asal-asalan scene pendukung dalam videonya. Semua itu simbolis dan memiliki makna. Sebagaimana perempuan yang tengah menari Jaipong, orang sedang Debus, orang menari kuda lumping bahkan efek visual semacam petir juga menyampaikan pesan.
Dalam pengakuannya di kanal Youtube Tim2One-Chandra Liao, salah satu director karya ini Creamypandaxx memandang, menari Jaipong diasosiasikan sebagai simbol kelembutan perempuan. Tari Jaipong sendiri berasal dari tanah Sunda, Jawa Barat. Ia muncul untuk melawan stereotipe bahwa orang Sunda malas, tidak mandiri, mudah menyerah dan hal negative lainnya. Sementara, dalam tari Jaipong gerakannya enerjik, lincah, ramah, berani dan pantang menyerah.
Creamypandaxx tak menyebut maksud dari debus dan kuda lumping. Tapi saya interpretasikan itu merupakan bentuk keberanian, kekuatan, kegigihan dan sisi liar tiap manusia. Bukan saja perempuan, tetapi juga laki-laki.
Di sela-sela remuk-redam, kedilematisan tokoh utama, sang kekasih datang lagi. Tapi kali ini, tak ada kesempatan kedua. Ia tak mau terus-menerus di bawah kontrol kekasihnya. Petir yang sengaja disambarkan kepada kekasihnya, menunjukkan tokoh utama di lagu ini – dalam hal ini perempuan mampu menunjukkan kekuatannya. Petir tersebut adalah cara, sikap, atau buah laku dari pikirannya selama ini. Bentuk dalam dunia nyata tentu beraneka rupa. Bisa merupakan tindakan tegas untuk mengakhiri hubungan.
Setelah itu, ada adegan perempuan di bawah rintik hujan. Bahwa betul patah hati tidak ada yang sederhana, meski berpisah dengan kesepakatan bersama atau hal lain yang lebih menyakitkan. Dan tidak ada kehilangan yang biasa. Sedih, tangis sudah pasti ada, barang satu atau dua Minggu. Dunia dalam diri tengah runtuh, tapi tenang saja selepas melewati fase yang penuh badai, kehidupan bisa berjalan sebagaimana biasanya.
Di akhir tokoh utama hanya berdiri di sebalah kekasihnya yang telah mati. Hal yang sama, yakni perasaan yang sudah mati terhadapnya. Cinta seharusnya membahagiakan bukan rela memaksakan diri menjalin relasi yang tidak membahagiakan. Kita juga tak perlu tunduk pada maskulinitas heternormatif. Tentu cinta dibangun dengan kesalingan dan relasi yang setara. []