Mubadalah.id – Dalam perspektif mubadalah, dengan merujuk pada lima pilar pernikahan: nafkah maupun seks adalah hak dan sekaligus kewajiban bersama. Dengan pilar zawaj dan mu’asyarah bil ma’ruf, di mana segala kebutuhan keluarga menjadi tanggung jawab bersama suami-istri, maka nafkah pun menjadi kewajiban bersama.
Harta yang dihasilkan mereka berdua, atau salah satunya, adalah milik bersama. Suami tidak boleh memonopoli dengan menguasai seluruh harta yang dihasilkannya atau oleh istrinya, begitu pun istri tidak boleh memonopoli harta yang dihasilkannya atau oleh suaminya.
Dengan perspektif mubadalah ini, ayat-ayat yang berbicara mengenai pencarian rezeki dan nafkah sudah seharusnya kepada laki-laki dan perempuan. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan, Islam anjurkan untuk bekerja mencari rezeki. Terutama dalam memenuhi kebutuhan mereka dan keluarga mereka.
Sekalipun secara bahasa Arab, ayat-ayat itu untuk laki-laki, tetapi sebagaimana ayat-ayat lain, ayat dengan bentuk laki-laki juga berlaku bagi perempuan. Sehingga, tidak ada alasan memberlakukan ayat-ayat rezeki dan nafkah hanya untuk laki-laki semata.
Tentu saja, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, kita masih tetap memperhatikan norma-norma sosial, ketika lapangan dan kesempatan kerja lebih banyak terbuka bagi laki-laki.
Dan waktu luang biologis (karena tidak mengalami beban reproduksi) yang lebih banyak tersedia bagi mereka. Serta dukungan sosial yang cukup (seperti bagian waris lebih banyak).
Perempuan, karena amanah reproduksi yang dijalaninya, memilih untuk tidak bekerja secara produktif di luar rumah, maka laki-laki menjadi tulang punggung utama keluarga. Demikianlah makna kontekstual dari inspirasi qiwamah dan kewajiban nafkah dalam QS. an-Nisa’ [4]: 34 dan QS. al-Baqarah [2]: 233.
Dengan demikian, dalam tafsir mubadalah, ayat-ayat tentang kewajiban memberi nafkah adalah bukan sedang menegaskan kepemimpinan atau tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan, dengan basis jenis kelamin. Sebab, makna ini sama sekali tidak bisa mubadalah dan tidak sesuai dengan prinsip Islam.
Dalam Islam, seseorang tidak diberikan beban tanggung jawab hanya karena memiliki jenis kelamin semata. Tetapi karena kemampuan dan pencapaian yang dimiliki.
Tafsir Mubadalah
Tafsir mubadalah menegaskan bahwa ayat sedang berbicara mengenai tuntutan terhadap mereka yang memiliki keutamaan (fadhl) dan harta (nafaqah) untuk bertanggung jawab menopang mereka yang tidak mampu dan tidak memiliki harta. Inilah gagasan utama dalam ayat tersebut.
Laki-laki disebutkan secara eksplisit karena kondisi riil saat ayat turun. Dan juga kondisi umum sampai saat ini, mereka memiliki harta dan mampu (menafkahi). Tetapi ayat ini, secara substansi, sesungguhnya menyasar siapa yang memiliki harta untuk menanggung anggota keluarga yang memiliki harta.
Melalui penjelasan di atas, maka dapat kita pahami bahwa konsep nafkah bukan lagi berbicara mengenai kewajiban suami terhadap istri. Tetapi menyasar kepada keduanya secara bersamaan. []