Mubadalah.id – Negara melalui Kementerian Agama Republik Indonesia terus menggulirkan berbagai gebrakan akhir-akhir ini. Di tengah isu sosial dan tantangan keberagaman, Kemenag aktif menunjukkan kepeduliannya dengan langkah nyata yang memberi harapan bagi kelompok yang kerap terpinggirkan seperti penyandang disabilitas.
Salah satu gebrakan yang menuai respon positif adalah program “Ngaji Fashalatan dan 1.000 Masjid Ramah Disabilitas dan Lansia” yang diluncurkan menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H.
Program ini bukan sekadar simbolis, tapi hadir dengan pesan kuat bahwa rumah ibadah yang semestinya menjadi tempat paling ramah bagi semua kalangan harus benar-benar inklusif. Dari aksesibilitas fisik seperti jalur kursi roda, tempat wudhu ramah disabilitas, hingga pelatihan imam dan pengurus masjid agar mampu menyambut jamaah berkebutuhan khusus dengan empati dan layanan terbaik.
Tidak berhenti di situ, Kemenag juga menggulirkan program bantuan sosial bernilai besar yang menyasar lebih dari dua juta penerima manfaat. Melalui skema penyaluran bantuan senilai lebih dari Rp310 miliar bagi anak yatim dan penyandang disabilitas, negara inklusi hadir tidak hanya dalam bentuk kata-kata belas kasih, tetapi aksi nyata yang menyentuh langsung kebutuhan hidup sehari-hari.
Kedua program ini mencerminkan semangat baru di tubuh Kemenag, keberpihakan pada yang lemah sebagai bagian integral dari pengamalan nilai-nilai keagamaan. Islam, seperti halnya agama-agama lain di Indonesia, memuliakan orang-orang yang memberi perhatian lebih pada kelompok rentan. Kemenag mengambil sikap aktif, bukan sekadar reaktif.
Harapan Baru
Ada harapan baru yang mulai tumbuh di tengah-tengah kita. Satu per satu lembaga negara mulai membuka mata, melihat bahwa Indonesia bukan hanya milik mereka yang kuat dan sempurna secara fisik. Bahwa ada jutaan saudara kita yang selama ini berdiri di pinggir arena kehidupan, menanti ruang yang benar-benar bisa mereka akses, rasakan, dan nikmati secara utuh.
Selain Kemenag, kita juga bisa melihat langkah-langkah kecil serupa di kementerian lain. Kementerian Pendidikan, misalnya, kini mulai merancang kurikulum yang lebih adaptif untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Tanda-tanda ini memberi pesan kuat: Indonesia mulai bergerak.
Melek Inklusi
Namun mari jujur. Jalan menuju inklusi sejati masih panjang. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa ada sekitar 23 juta penyandang disabilitas di Indonesia. Dari jumlah itu, berapa persen yang benar-benar bisa mengakses layanan publik dengan setara?
Masih banyak kantor pemerintahan yang tidak punya lift atau ramp. Masih sedikit kendaraan umum yang aksesibel oleh pengguna kursi roda. Dan jangan lupa, masih ada pandangan usang di masyarakat yang menganggap disabilitas sebagai beban, bukan warga negara yang setara.
Karena itu, langkah Kemenag patut mendapat apresiasi bukan hanya sebagai program, tapi juga sebagai pemantik. Semoga menjadi inspirasi bagi kementerian dan lembaga lainnya, bahwa menjadi inklusif bukanlah soal pencitraan atau seremoni, tapi soal keadilan. Soal pengakuan bahwa semua orang, tanpa kecuali berhak beribadah, bersekolah, bekerja, berkumpul dan merasa menjadi bagian dari Indonesia.
Inklusi sejati tak bisa lahir dari satu keputusan. Ia tumbuh dari kesadaran yang dirawat, dari regulasi yang dijalankan, dan dari kemauan untuk mendengar. Maka ketika satu jalan sudah dibuka, mari kita bantu dorong jalan lainnya.
Ketika negara mulai melek inklusi, tugas kita bukan hanya bertepuk tangan, tapi ikut menjaga agar mata tetap terbuka dan tidak kembali terpejam oleh rutinitas birokrasi atau abai terhadap yang sunyi. Indonesia bisa menjadi negara besar bukan karena paling kuat, tapi karena semua warganya bergandengan untuk berjalan bersama. []